Ada yang beda dengan cerita lebaran saya dan keluarga pada tahun ini. Jika pada tahun sebelumnya, sehari sebelum lebaran kami sudah mudik entah itu ke Seulimum, Aceh Besar, kampung Bang Tunis, atau ke Tangse, Pidie, kampung halaman saya. Tetapi kali ini kami memutuskan untuk menyambut lebaran pertama di rumah kontrakan kami saja di Banda Aceh. Maklum, jika keluarga lain memanfaatkan lebaran untuk berkumpul bersama keluarga besar, maka saya dan suami yang masih LDR-an menjadikan momen ini untuk berkumpul bersama keluarga kecil kami (Baca juga: LDR Setelah Menikah). Baru, ketika sore hari tiba, kami pulang ke Seulimum untuk bersilaturahmi dengan keluarga dari pihak Bang Tunis dan menghadiri kenduri jeurat.
Keesokan paginya, suara ayam berkokok dari kandang belakang rumah terdengar begitu nyaring. Matahari masih malu-malu di ufuk timur menyebabkan hari ke-2 lebaran Idul Fitri di Seulimum masih terlihat gelap. Namun demikian, aktivitas di dapur rumah mertuaku sudah terdengar riuh. Nyanyak, ibu mertuaku terlihat begitu sibuk mengukur kepala dengan alat kukur manual kebanggaannya, memerah santan, dan memasak sie reuboh (daging rebus khas Aceh Besar) serta aneka makanan lainnya. Selain memasak untuk sarapan, beliau juga sedang menyiapkan aneka hidangan untuk kenduri jeurat.
Lebih Dekat dengan Tradisi Kenduri Jeurat
Kenduri jeurat telah menjadi tradisi masyarakat Aceh saat menyambut bulan Ramadhan atau ketika lebaran Idul Fitri dan Idul Adha tiba. Jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kenduri bermakna perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Sedangkan jeurat adalah kata dalam Bahasa Aceh yang berarti kuburan atau makam. Bisa disimpulkan bahwa kenduri jeurat merupakan perjamuan makan di kuburan sambil mendoakan sanak famili yang telah meninggal.
Pukul sepuluh pagi, saya, Bang Thunis, Naqiya, nyanyak, dan ayah mertua telah siap untuk berangkat ke kuburan yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah. Dengan menggunakan Kijang Pick Up biru, kami pun beranjak kesana. Makanan berupa nasi dan beraneka ragam lauk pauknya telah dimasukkan ke dalam rantang oleh nyanyak. Pun demikian dengan buku Yasin, tidak lupa kami bawa serta.
Kompleks pemakaman keluarga suami yang akan kami ziarahi terletak di tengah-tengah persawahan. Untuk sampai ke sana kami harus melalui jalanan yang penuh dengan tanjakan dan bebatuan. Jalan yang biasanya dilalui oleh petani itu berukuran kecil dan hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Ketika tiba di atas bukit yang tidak begitu tinggi, Bang Tunis yang memegang kemudi pun menghentikan mobil. Tidak jauh dari bukit yang ditumbuhi oleh rerumputan liar tersebut, tumbuh pohon angsana berukuran besar dengan daunnya yang rindang. Di bawahnya telah berkumpul warga Desa Seuneubok, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Di antara mereka ada yang membersihkan tanah kuburan dari semak belukar, ada juga yang sedang khusyuk membacakan Surat Yasin.
Baca juga: Jeurat Puteh, Persinggahan Terakhir Sang Penggagas Dayah Tanoh Abee
Setelah bersalaman dengan warga yang telah lebih dahulu tiba, saya, nyanyak, dan Naqiya mengambil posisi di samping kuburan keluarga. Sedangkan Bang Tunis dan ayah mertua bergabung dengan kaum Adam lainnya di tengah-tengah kompleks kuburan.
Tradisi kenduri jeurat ini diawali dengan kegiatan membacakan dzikir seperti tasbih, tahlil, dan tahmid kepada Sang Khalik yang dipimpin oleh seorang teungku dan diakhiri dengan berdoa bersama untuk arwah yang dikuburkan.
Mempererat Tali Silaturahmi
Setelah selesai memanjatkan doa, kaum ibu menyiapkan hidangan di atas piring lalu dibagi-bagikan kepada kaum bapak. Makanan yang disantap pada kenduri jeurat bukanlah makanan dari rumahnya sendiri melainkan makanan yang dibawa oleh keluarga lainnya. Semua makanan tersebut ditukar agar masing-masing warga bisa merasakan nikmatnya masakan warga lainnya.
“Biasanya hampir seluruh warga kampung hadir di kenduri jeurat ini. Tapi lebaran kali ini sedikit sekali yang datang,” keluh Ayah. Menurutnya, tradisi kenduri jeurat harus terus dilestarikan jika tidak tradisi ini lama kelamaan akan punah.
“Kenduri jeurat bukan hanya sekadar tradisi perjamuan makan-makan sambil berdoa kepada arwah yang telah mendahului kita, tetapi juga menjadi ajang untuk mempererat tali silaturrahmi antar warga,”jelasnya.
“Warga yang tidak sempat bersilaturahmi ke rumah, bisa silaturrahmi di sini. Di jeurat ini juga kita bisa bertemu dengan warga yang telah lama merantau dan baru pulang saat lebaran.” Tambah nyanyak.
Doa kepada arwah telah dipanjatkan dan hidangan kenduri jeurat pun sudah habis disantap. Satu persatu warga mulai meninggalkan kompleks pemakaman. Begitu pula dengan kami, sambil berjalan pulang, tidak lupa kami menghampiri setiap warga yang belum kami salami saat tiba tadi.[]
kopertraveler says
sebuah tradisis yang harus dijaga dan dipertahankan sampai nanti ke anak cucuk kakak. tiap daerah mempunyai keuinikan masing masing
Liza Fathia says
benar banget kokoh, tradisi ini harus dilestarikan
novaviolita says
unik..banget tradisinya… , makanannya juga khas..
Liza Fathia says
makannya sebenarnya biasa aja mbak nova, cuma tradisi ini memang unik menurutku
April Hamsa says
Baru tau tradisi ini mbak.
Semoga tetap lestari ya, eman2 kalau sampai tdk ada yg melanjutkan TFS
yelli says
Di tempat yel Samadua Asel gx ada lagi tradisi ini kak, tapi pas waktu balik kemarin dr Asel dlm perjalanan, di daerah Abdya, nagan raya, meulaboh dan calang, bnyk org2 ke kuburan, kayak a lgi kenduri jirat kak ya!
Liza Fathia says
ohya? kalo di abdya memang masih kental yell, kemarin sampai 30 syawal masih ada yang kenduri jeurat
Naqiyyah Syam says
Seru banget ya
Liza Fathia says
iya kak naqiyyah, seru
zilko says
Ah, tradisinya memang unik ya, perjamuan makan di kuburan untuk mendoakan yang sudah meninggal.
Liza Fathia says
iya mas Zilko.. tradisi ini memang hanya di beberapa tempat saja
Shine says
Di kampung saya juga ada tradisi begini mba, tapi makan2 nya pas di rumah. Ziarah ya mba bahasa lainnya. Eh ya mohon maaf lahir batin jg ya mba. Btw, kemaren ke Palembang ya mba? Saya dikasi tau Mas Deddy Huang dan Om ndut di grup, pengen ikut meet up cuman takutnya mba Liza ga kenal saya, haha, kan maluuu tar pas ketemu “siapa elo?” hihi, udah su’udzon duluan, hihi…
Liza Fathia says
itulah, perasaaan banyaklah blogger perempuan yang dari palembang tapi ga ingat kalo mbak shona di sana juga. kalo dikampungku sendiri juga ziarah aja mbak, nah kalo di kampung suami pake kenduri juga
Maria Soraya says
tradisi yg unik, klo di jakarta dan sekitarnya ziarah kuburan itu ya nyekar … bersih2 kuburan + yasinan … awal ramadhan dan abis lebaran biasanya pemakaman penuh sama orang nyekar
Liza Fathia says
kalo kenduri di kuburan jarang ya mbakl
Maria Soraya says
memang gak ada tradisi itu di jakarta, klo ada orang bawa makanan ke kuburan itu biasanya bawa sesajen hehehehe
blognet99 says
tradisi harus tetap dijaga, semoga menjadi tali silaturahmi
Liza Fathia says
benar banget
Yosfiqar Iqbal (@kening_lebar) says
Berbeda dengan tradisi ziarah kubur biasa, ya. Kalau saya sih paling yasinan saja di makam keluarga selum puasa dan ketika Idul Fitri.
Liza Fathia says
kalo dikampung saya gitu juga. ini di kampung misua jadi agak beda
Atanasia Rian says
Tradisi yang harus dilestarikan banget ini. Apalagi disana bisa banyak silaturahmi. Kalau ditempatlu gak ada, tapi beberapa daerah lain ada sich
Liza Fathia says
kalo di kampung memang seperti itu mbak rian
fania surya says
Tradisi di Aceh ini unik ya. Saya baru tahu. Mudah-mudahan terus lestari dan gak hilang dimakan jaman ya.
Tomi Purba (@tomipurba) says
Tradisinya bagus itu mba.. jadi di hari lebaran malah kumpul dengan keluarga bahkan sama masyarakat umum .. apalagi sambil berdoa kepada arwah²
Makanannya walaupun sederhana tapi kalau dinikmati bersama pasti enakkkk banget rasanya
Liza Fathia says
bener banget bang tomi
Tomi Purba (@tomipurba) says
Eh komentar saya gak masuk ya mba?
Fandhy Achmad Romadhon says
Oh namanya kalo di aceh ini kenduri jeurat, di daerah Jawa tengah bagian Selatan, kebudayaan tukar makanan di hari raya pun masih sering berlangsung. Di daerah Cilacap misalnya, bedanya mungkin adalah lokasi diadakannya acara tukar makanan.
Acara kayak gini, tentu saja banyak manfaatnya. Selain makin mengenal antar keluarga, juga membuat kedekatan antar keluarga dalam satu kampung itu semakin rekat, silaturahmi semakin terjaga, sama rasa sama rata, semua bisa menyicipi makanan dari berbeda keluarga..
Liza Fathia says
betul banget fandy…
Nurul Fitri Fatkhani says
Setiap daerah memiliki tradisi masing-masing dalam menyambut hari Raya. Tradisi kenduri jeurt dari Aceh ini, sangat unik menurut saya, karena tidak pernah saya temukan di daerah yang pernah saya kunjungi.
Semoga tradisi ini tetap ada ya…agar silaturahmi tetap terjaga.
Liza Fathia says
benar mbak nurul. tradisi ini memang hanya di daerah tertentu aja di aceh
tukangjalanjajan says
semoga terus terjaga. Paling senang dengan acara lokal yang terus ada dan dikenalkan kepada yang muda semoga tradisi terus terjaga. Pelestarian tradisi harus selalu terjaga
Liza Fathia says
iya bang Den, pelestarian kebudayaan ini memang harus terus dijaga
Ilham Hamtiar says
Menarik ya tradisi-tradisi di negeri ini. Variasinya itu nggak ada habisnya kalau mau ditelusuri. Di tempatku (Solo) sih ada juga yang seperti ini. Tapi tidak pakai makan bersama. Sedangkan di keluargaku justru kebalikannya. Ada makan bersamanya saja, tapi ziarahnya tidak ada.
Perempuan November says
baru ini tau tentang kenduri Jeurat ini mbak. memang harus dilestarikan, bukan hanya karena tradisi. tapi juga untuk mengingatkan kita akan mati, juga silaturahmi ke yang masih hidup yang juga hadir ke acara tersebut.
William Giovanni says
Tradisi yang unik dan menarik, perlu terus dilestarikan terus. Apalagi bisa saling bertemu dan bersilahturahmi dengan orang lain juga.
Liza Fathia says
bener banget kooh
Noni Rosliyani says
Menu kendurinya apa aja tuh… Kayaknya kok enak yaa… ?
Liza Fathia says
menunya nasi sama lauk aja sih
Timothy W Pawiro says
Oh aku baru tau ada tradisi ini. Awalnya aku pikir hanya keluarga sendiri aja, tp ternyata rame ya yg hadir, bisa dijadiin silaturahmi jg. Yg menarik itu makanan yg kita makan, ternyata hasil tukeran dr makanan dr yg lain hehe.
Ngomong2 makanan Aceh, aku suka banget, krn rempahnya. Jd penasaran sama sie reuboh hehe.
Liza Fathia says
iya, tradisi ini memang unik kak timo dan enggak semua daerah ada. paling kan cuma ziarah dan nyekar aja
Pertiwi Yuliana says
Aku kok agak anu ya sama tradisinya. Ehehe baru tau tentang kenduri jeurat ini. Kalau di daerahku sini, biasanya habis salat ied warna yang sanak familinya ada yang sudah meninggal akan nyekar dulu ke makan. Hanya yasinan aja, lalu pulang dan halal bihalal sama warga lain keliling kampung. Kalau itu ramai-ramai gitu, ya. Baru tau beneran kalau ada tradisi ginian. Wah. Oh iya, tahun ini aku pertama kalinya ke makam setelah salat ied. Karena kakakku baru meninggal Januari lalu. Ramai sekali orang-orang yang mendoakan saudaranya yang sudah tiada. Pengalaman baru banget tahun ini lihat adegan itu.
Liza Fathia says
iya mbak susi, biasanya memang cuma ziarah, yasinan dan nyekar. tapi di beberapa daerah di aceh ada kenduri dan doa bermasa juga
Dikki Cantona Putra says
Itu sama saja kaya ziarah bukan sih? Mendoakan bersama yang sudah meninggal gitu? Wah seru juga ya ada aceh masih tradisional banget
Liza Fathia says
sama aja sebenarnya diki, tapi ini pakai doa bersama dan kenduri
mahadewishaleh says
Benar sekali, tradisi Kenduri Jeurat ini harus dilestarikan agar bisa menjadi warisan buat anak-cucu nantinya, walaupun saya baru pertama kali baca mengenai hal ini. Apalagi tradisi ini juga memiliki nilai positif berdoa bersama dan silaturahmi.
Liza Fathia says
iya, ssisi silaturahminya memang mantapo
erinajulia says
baru tau tradisi ini
wah harus dilestarikan banget nih
menunya juga menu yang sederhana dan mudah dan pastinya mengandung filosofi2 yang ngga semua org tau ya?
unik banget
Liza Fathia says
betul mbak arinaa
Bulan says
Believe it or not, di budaya Cina Portugis yang aku dapat pas main ke Filipina ada juga kenduri di makam begini. Aku pas diceritakan bengong, kendurian kok di makam. Hehe.
Sampai tadi baca tulisan Kenduri Jeurat Kak Liza ini baru nggak bengong lagi karena baru sadar, iya juga ya benar, ini acara silaturahmi aja gitu. Cuma tempatnya aja yang di makam. Hehe.
Liza Fathia says
waah rupanya ada juga ya
Ngopi Santai says
keren.. lewat tulisan ini jadi makin mengenal tradisi masyarakat Aceh yang terkenal cukup religius…
Liza Fathia says
terima kasih atas apresiasinya
Matius Teguh Nugroho says
Hampir sama dengan yang ada di Jawa, tiap lebaran juga mendoakan leluhur yang sudah lebih dulu meninggal. Cuma bedanya nggak ada acara makan-makan hehe
Liza Fathia says
bener banget kak nugi. biasanya kan cuma nyekar tapi ini pake kenduri juga
titialfakhairia says
di Jawa juga ada tradisi ini namanya nyekar
Liza Fathia says
kalo nyekar ga pake kenduri ya
Noer Ima Kaltsum says
Sekali datang di acara ini, ketemu banyak orang. Tradisi yang perlu dilestarikan (Silaturahmi)
Liza Fathia says
benar mbak noer
Liza Fathia says
benar mbak april, jangan dilihat dari bid’ah2 dllnya menurutku, tapi lihatlah dari sisi positifnya
Cut Inong Mutia says
Wah, walaupun kampung ortu di Seulimum, kok aku baru tahu ada tradisi ini ya…Seingat aku dulu waktu Lebaran di Seulimum pas kecil, keluarga disana gak ada yang ikut acara kayak gini soalnya…