Penghujung Oktober adalah hari-hari yang basah di Kuala Lumpur. Pasalnya, ketika siang menjelang, hujan bersama kilat dan halilintar serentak menghiasi bumi Melayu ini. Langit pagi hari yang begitu biru bertemankan awan putih nan berarak ceria seketika berubah menjadi kelabu. Hari yang cerah berubah menjadi mendung. Kilatan cahaya di angkasa begitu menyilaukan mata, begitu pula dengan suara halilintar, menggelegar, menggetarkan tiang yang tinggi menjulang.
Hujan membuat penduduk negara yang terdiri dari etnis Melayu, Cina, dan India itu memilih untuk mendekam di dalam rumah. Kalaupun sedang berada di luar, mereka pasti mencari tempat berteduh. Mereka yang membawa payung bisa langsung melanjutkan perjalanan, sedangkan yang bertangan kosong harus menunggu hujan reda. Namun, itu tidak berlaku bagi saya dan suami. Walaupun hujan sedang deras-derasnya kami tetap berjalan menelusuri kota Kuala Lumpur.
Seperti penulis yang dikejar deadline tulisan, begitulah perasaan kami saat itu. Kami seakan dikejar tenggat waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di negeri bekas jajahan Inggris ini. Waktu yang kami miliki tinggal sedikit sedangkan tempat yang kami kunjungi baru segelintir. Hanya tiga malam dua hari kami berada di Malaya. Malam pertama lewat begitu saja karena kami sampai ketika malam mulai larut. Keesokan hari kami hanya mengunjungi menara Petronas. Sayangnya, langit sedang mendung sehingga Twin Tower ini tidak seindah foto-foto yang kerap kami saksikan. Tak lama kemudian, ketika hendak beranjak dari KLCC, hujan deras membasahi Kuala Lumpur. Terpaksa kami menunggu hujan reda hingga malam hari.
Hari berikutnya, kami hanya menyantap Kuliner Kelantan di Midvalley Megamall. Lagi-lagi hujan menyambut kami ketika keluar dari salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Malaysia itu. Namun, karena hari itu adalah hari terakhir kami di Kuala Lumpur dan esok paginya Bang Thunis akan berangkat ke Berlin begitu pula saya akan pulang ke Aceh, maka kamipun nekad menembus hujan.
Sangat banyak tempat wisata di Kuala Lumpur yang belum kami kunjungi seperti Istana Negara, National Monument, Kuala Lumpur Bird Park, National Mosque, Kuala Lumpur City Gallery, dan lain-lain. Kami juga belum ke Chowkit, kawasan yang katanya banyak orang Aceh di sana. Waktu terus berjalan sedangkan hujan tak kunjung reda. Mustahil rasanya kami keluar dari terminal MRT dan menembus hujan yang kian lebat.
Senja pun tiba, sedangkan tak satu tempat pun berhasil kami kunjungi. Kami hanya berganti satu MRT ke MRT lainnya. Ketika tiba di Chowkit, kami pun turun. Malam telah menjelang kala itu. Hujan masih saja mengguyur meski tidak sederas sebelumnya.
“Kita nikmati saja jalan-jalan malam ini. Lagian nggak mungkin lagi kita sampai ke tempat wisata itu,” ajak suamiku. Saya pun mengiyakan. Ya, mau bagaimana lagi. Dari pada pusing tidak sampai ke mana-mana, lebih baik kami menikmati saja perjalanan sebelum kepulangan kami.
Chowkit begitu lenggang malam itu. Hujan sepertinya membuat aktivitas masyarakat terhenti. Hanya di beberapa warung nasi yang terlihat ramai. Kami pun berjalan menelusuri pertokoan Chowkit. Di tengah perjalanan, kami menemukan beberapa kuliner Indonesia di sana. Toko-toko CD dan DVD nya pun memutarkan lagu dangdut.
“ABG tua tinggahmu semakin gila. Kau menjerat semua wanita…” Lagu ABG Tua yang dipopulerkan Fitri Karlina terdengar begitu bersemarak di tengah-tengah hujan
Karena belum makan malam, kami lalu singgah di sebuah swalayan dan membeli dua potong roti, air mineral 1 liter, dan kuaci. Ketika lapar mendera, kami pun singgah di emperan toko dan mencomot potongan roti dan menggigit biji bunga matahari. Ah, kami benar-benar menikmati malam itu.
Hujan kini berubah menjadi gerimis. Kami terus berjalan tanpa sadar sudah seberapa jauh kaki melangkah. Tiba-tiba dari kejauhan tampak menara Petronas bersinar dengan indahnya. Begitu pula Menara Malaysia. Sangat indah. Kekecewaanku ketika berada di KLCC waktu siang terobati sudah saat melihat kerlipan lampu dari menara kebanggan rakyat Malaysia ini.
Perjalanan terus kami lanjutkan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Menara Petronas terasa semakin dekat. Ah, apakah kami hampir tiba lagi ke KLCC? Langkah kami teruskan. Ketika jalan tikus terlihat, kami pun melewatinya sambil berharap itu adalah jalan pintas. Aha! Kami ternyata telah sampai ke Kampung Baru. Itu kami ketahui ketika kami tiba di jalan yang disepanjangnya terdapat penjual nasi Lemak dan nasi Kandar.
Menara kembar itu semakin jelas terlihat di balik tembok salah satu restoran di Kampung Baru itu. Kami pun mencari jalan pintas, dan syukur Alhamdulillah ada pintu kecil yang terdapat di tembok tersebut sehingga kami bisa melihat Petronas dari dekat.
Malam semakin larut. Kuala Lumpur semakin sepi. Hanya satu-dua kendaran yang terlihat berlalu lalang. Kami pun memutuskan untuk kembali ke penginapan dan membereskan semua barang-barang. Keesokan paginya, kami harus cepat keluar dari hostel dan menuju Kuala Lumpur International Airport (KLIA) untuk kembali ke peraduan.
tazaemjayy says
Indah banget menara kembar di malam hari
Liza Fathia says
Yup dek. Indah
Muna Sungkar says
Berarti kl ke KL jgn oktober ya.. Noted!. Btw Kalo malam menara Petronas jd makin cantik ya non, ishh… Jd ngiri nih aku blm sampe sana 🙁
Liza Fathia says
Yup. Oktober n November disana hujan terus kak. Semoga lain waktu bisa sampai ke negeri ipin dan upin ya kak
lisa tjut ali says
kalau ke Chowkit terasa kayak di Aceh aja ya,tap klo ke batu cave kayak lagi di india
lisa tjut ali says
Kalau ke Chowkit terasa kayak di Aceh aja ya, tapi klo ke batu cave kayak lagi di india
Liza Fathia says
Iya kak lisa, tapi kemarin ga sempat ke batu.cave karena hujan deras
Liza Fathia says
Colorful and beautiful
cumilebay.com says
Petronas mmg megah sekali kalo malam hari. Kalo gw suka banget nongkrong siang2 di taman nya yg tertata rapi 🙂
iChal Zen says
Belum nyampe ke sana … 🙂