Alam Jogja seolah enggan bersahabat denganku. Sejak hari pertama hingga malam terakhir aku di kota Gudeg ini, hujan terus turun dengan derasnya. Bahkan di beberapa wilayah dirundung banjir karena luapan air yang tak terbendung. Pun demikian dengan kesehatanku, rhinitis alergi yang kuderita kambuh karena cuaca yang tak menentu. Ditambah lagi dengan tubuhku yang sempat kuyup saat berjalan-jalan ke kawasan Malioboro pada malam hari. Walhasil, demam, batuk, dan pilek menjadi temanku selama 3 hari di Jogja.
Padahal, ingin sekali rasanya berjalan-jalan ke tempat wisata di Yogyakarta, berfoto di palang nama Malioboro sambil membeli batik Jogja yang terkenal, menikmati pasar malam yang meriah, berputar-putar di Taman Sari. Ah, semuanya hanya angan belaka. Hujan dan tubuhku yang ringkih membuatku hanya mampu menghabiskan waktu di penginapan sambil mengikuti acara dari kantorku.
Selain ingin menghabiskan waktu di pusat kota Jogja, aku juga hendak melihat dengan mataku sendiri dan memegang langsung dengan jemariku candi-candi yang ada di sana. Tidak perlu ke Borobudur yang terletak di Jawa Tengah karena waktuku di Jogja sangat sempit. Cukup ke Candi Prambanan saja yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari hotel tempatku menginap, Eastpark Hotel Yogyakarta.
Lokasi hotel bintang lima yang terletak di Jalan Kapas No. 1, Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta membuatku dengan mudah menjangkau Candi Prambanan. Hanya butuh waktu 20 menit untuk tiba ke candi dari hotel ini.
Baca juga : 5 Alasan Eastparc Hotel Yogyakarta Cocok Untuk Staycation Keluarga
Untuk menginap di Eastpark Hotel kita bisa memesannya lewat Pegipegi, tempat booking tiket pesawat, hotel, dan kereta api melalui situs web atau lewat aplikasi di smartphone android/IOS.
Alam Jogja sepertinya kasihan melihat kegundah gulanaanku yang tidak bisa menikmati keindahannya. Ia juga seperti ingin membuktikan kepadaku kalau dirinya sebenarnya sangat ingin menjalin pertemanan dengan inong Aceh dan berujar dengan lantang, “Wahai Inong Aceh, jangan sedih, kita ini teman dan kita sama-sama istimewa.”
Dan di pagi hari sebelum kepulanganku, langit yang biasanya ditutupi awan kelabu kini terlihat biru. Rinai hujan yang biasanya terdengar lewat balkon hotel kini senyap. Hanya ada beberapa tetesan air yang tersisa di daun palm yang tumbuh di sepanjang restoran Verandah, restoran hotel tempatku sarapan, sisa hujan semalam. Aku pun tersenyum sumringah.
Segera aku hubungi seorang teman yang sedang menempuh pendidikannya di Kota Pelajar ini. Lalu dengan sepeda motornya kami beranjak menuju salah satu situs Wisata Indonesia yang ada di Jogja, Candi Prambanan.
Pagi hari di Jogja lumayan ramai, jalanan penuh dengan kendaraan. Seperti kata teman, Jogja yang sepi sudah tidak dapat ditemukan lagi kecuali di desa-desa. Sepanjang jalan aku melihat wilayah yang kutempuh untuk tiba ke Prambanan. Kuperhatikan bangunan-bangunananya yang mirip dengan perkotaan pada umumnya. Melewati tempat produksi bakpia yang menjadi makanan oleh-oleh dari Jogja, tumpukan salak pondoh di pinggir jalan yang merupakan buah kesukaanku, sampai akhirnya kami pun tiba di Prambanan.
Pagi itu, candi terlihat sepi. Mungkin karena aku berkunjung pada jam kerja sehingga aktivitas di sana tidak ramai. Setelah membayar tiket masuk seharga tiga puluh ribu rupiah, aku pun melangkah ke dalam.
Kawasan Candi Prambanan sangat bersih, tampak para perempuan dan laki-laki paro baya sedang mengayunkan sapu lidinya dan mengumpulkan dedaunan yang berjatuhan. Ketika memasuki kawasan candi, irama gamelan menyambutku. Pukulan gamelan itu diiringi dengan informasi tentang Candi Prambanan yang diucapkan oleh seorang laki-laki memandu kedatanganku. Sepertinya musik dan suara itu adalah rekaman karena pukulan gamelan dan desahan nafas sang orator tidak terdengar nyata.
Hal pertama yang aku lakukan ketika melihat candi dari kejauahan adalah mengambil gambar. Entah itu gambar candi atau gambar diri. Mengikuti pakem para milenial akan no pic hoax, maka foto yang kuabadikan lewat ponselku menjadi bukti nyata jika aku sudah bertandang ke Candi Prambanan.
Rerumputan di selasar candi masih tampak basah karena sisa hujan semalam. Aroma tanah basah juga terasa menyejukkan. Di tambah lagi di seluruh area masuk candi ditumbuhi pepohonan besar nan rimbun sehingga semakin menyejukkan suasana. Langit yang sebelumnya biru kini mulai tampak abu-abu. Tapi belum ada tanda-tanda akan turun hujan sehingga kekhawatiranku sama sekali tidak bermakna. Aku pun menuju kompleks candi prambanan itu, dari batu prasasti yang terpajang di depan pintu masuk aku jadi tahu jika Candi aprambanan ini juga dinamakan Candi Roro Jongrang.
Beragam kisah lahir dan menjadi asal muasal berdirinya bangunan dari bebeatuan nan megah ini. Aku berdecak kagum akan mahakarya di depanku itu. Sungguh, arsitekturnya sangat mencengangkan. Memikirkan bagaimana candi ini dibangun membuatku menggelengkan kepala, tidak sampai pikiranku ke sana. Pun demikian dengan para arkeolog yang menemukan candi ini lalu membangunnya hingga berdiri kembali seperti semula, ah hebat sekali mereka.
Selain Candi Roro Jongrang, ternyata masih terdapat beberapa candi lain di dalam komplek tersebut seperti Kalasan dan Sewu. Dengan menumpang kereta golf yang dikemudikan oleh seorang laki-laki muda dengan kulit albino, aku pun mengelilingi kompleks candi tersebut dan berhenti pada setiap candi yang kutemui. Sambil mengemudikan kereta, sang pemuda mengisahkan kepadaku sejarah candi-candi tersebut.
Ada dua hal yang menarik perhatianku selama mengunjungi candi tersebut. Aku memang tercengang dengan kemegahan mahakarya yang pikiranku tidak sanggup menjangkaunya, tapi rasa miris mendera ketika aku melihat laki-laki tua di balik tumpukan bebeatuan. Dengan peralatan sedanya ia terlihat sedang membersihkan batu-batu tersebut dari lumut yang mulai menyelimutinya. Di bawah matahari yang kian terik, perlahan dan penuh kelembutan ia membuang lumut tersebut. Hatiku mulai mengiba melihat pekerjaannya yang sudah tidak sesuai untuk usianya yang kian renta.
Perhatianku pun tak bisa kualihkan dari pemanjat candi yang sedang membersikan bebatuan paling atas dari lumut. Awalnya aku berpikir para pembersih candi ini menggunakan perlengkapan layaknya para atlet panjat tebing. Sayangnya, pikiranku keliru. Dari pengemudi kereta itu aku tahu jika mereka tidak dilengkapi dengan pengamanan yang sesuai standar. Ditakutkan hal itu bisa merusak bebatuan candi. Sungguh pekerjaan yang sangat berisiko. Apakah mereka dilindungi oleh asuransi ketenagakerjaan yang menjadi pelindung mereka saat terjadi kecelakaan kerja? Tanyaku dalam hati.
Usai mengelilingi kompleks Candi Prambanan, aku pun segera kembali ke penginapan. Siang hari pesawat yang membawaku kembali ke Tanah Rencong akan lepas landas. Sebenarnya Bandara Adji Soecipto bisa langsung kusinggahi saat kembali dari candi karena ia terletak di tengah-tengah antara hotel tempatku menginap dan Candi Prambanan. Namun, karena masih ada keperluan lain yang harus kuselesaikan, aku pun kembali ke Eastpark baru kemudian berangkat menuju bandara.
Suatu hari nanti, aku ingin kembali lagi ke Jogja dan pengalamanku kali ini seharusnya menjadi pelajaran jika aku bertandang lagi. Ya, bulan-bulan menjelang akhir tahun bukanlah saat yang tepat jika aku ingin menikmati Jogja. Hujan akan menjadikanku terjebak di dalam penginapan dan tidak bisa menikmati keindahan kota nan istimewa ini.
Nathalia DP says
Saya jg dulu pernah ke jogja pas hujan, jd ke mana2 pakai payung 😀
Evi says
Kalau gua kasih hotelnya dekat destinasi wisata, sangat membantu dalam hal transportasi ya Mbak. Tiba-tiba membuat aku kangen pada Prambanan
Evi says
Duh typo maaf. Maksudnya kalau lokasi hotelnya dekat destinasi….
Diah Kusumastuti says
Indah sekali ya Mbak candinya.. begitu juga candi-candi lain selain Prambanan. Pasti bikin kangen nih ya, apalagi pas ke situ suasana basahnya kelihatan bikin sendu gimanaaa gitu. Hihihi. Sok tau saya ?
Marfa says
Waaaah udah lama.banget aku ke Prambanan, terakhir smp skrg udah tingkat akhiran dong 🙂 kalau di candi gitu rasanya kaya di alam lain di film2 iya nggak siiih wkwkwk. Daaan lekas sehat kembali Kak Liza biar bisa jalan2 jauh dan menikmati wisataaa :3
dinilint says
Serunya keliling Candi Prambanan & Candi Sewu. Aku jadi pengen juga gara-gara baca artikel ini.
Hahaha,, dasar anaknya gampang kepingin.
Masirwin says
Meski sering ke Jogja, tapi lum pernah ke candi yang megah diatas.. Semoga liburan awal tahun nanti bisa kesampaian tanpa Jogja yang basah hahaha
Rhoshandha says
Wuah jogja hujan duluan ya
Lumajang baru kemarin sore hujannya
Aku dulu pernah ke prambanan. Foto2. Terus lupa fotonya ada dimana
Omith says
Baca ini mengingatkan aku wkt april th ini pernah ikut half marathon di area prambanan, mendut candi sewu juga. Tempatnya indah banget ketika pagi hari, matahari mulai bersinar. Udaranya jg sejuk. Yg msh penasaran pingin dtg ke acara diprambanan, blom kesampean.
Jalan-Jalan KeNai says
Saya belum pernah ke Prambanan. Tiap kali ke Jogja dan sekitarnya, pasti ke Borobudur melulu hahaha. Wajib nih suatu saat nanti saya megunjungi Prambanan
aisyahfichapucino says
Aku sering tuh pakai pegi pegi.. enak banget.. simple.. mudah Atur Dan Cari hotel maupun tiket pesawat. Prambanan terakhir April tahun ini. Duh jadi pengen jalan jalan lagi ke Jogja.. ngangenin ya soalnya
Dikki Cantona Putra says
Jogja mengingatkanku pada sebuah makanan yang snagat murah murah. Dan penginapan hotel pun skrng tidak perlu ribet lagi ya karena udh visa pesan secara online di pegipegi.com dan harganya oun bisa bersaing dan cukup murah
Reh Atemalem says
Prambanan ini cantik banget ya.
Aku pernah ajak anak main ke sini, trus dia nagih lagi, katanya kemarin belum puas. 🙂
Asad Agus Saputra says
wah jogja lagi menangis alias mendung dan hujan tapi nginep di Hotel keceh gitu ya tetep asik ya kak hehe, leyeh2 di Hotel. Dan prambanan yg bikin kangen main kesana
evrinasp says
Prambanannya sekarang lebih hijau, waktu saya ke Sana agak geesang dan panas