Gua di Aceh Batee Meucanang, sudah lama saya mendengar nama objek wisata gua di Aceh Selatan itu tepatnya ketika mencari tahu tempat-tempat wisata menarik di kabupaten yang langsung berbatasan dengan tempat tinggal saya saat ini, Aceh Barat Daya. Gua yang namanya memiliki makna batu yang menghasilkan bunyi seperti canang atau gong. Namun, baru beberapa waktu yang lalu saya sampai di lubang besar yang terletak lereng gunung yang termasuk ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu. Gua Batee Meucanang ini tepatnya terletak di Desa Batee Meucanang, Labuhan Haji Barat, Aceh Selatan. Untuk sampai kesana, kamu bisa menggunakan transportasi umum seperti mobil penumpang L300 sampai ke Labuhan Haji. Ohya, saat ini kamu bisa unduh Moovit, aplikasi di smartphone yang memudahkan kita untuk berjalan kemanapun dengan angkutan umum di negeri ini.
Hari itu, kami memang tidak memiliki itenary khusus saat memutuskan traveling ke Aceh Selatan. Berawal dari pemadaman listrik dari pagi sampai sore oleh PLN sehingga tak ada yang bisa saya lakukan di rumah, maka bersepakatlah saya dan Naiza, teman saya untuk jalan-jalan ke Kota Naga, sebutan lain untuk kabupaten itu. “Jalan aja, kalau ada tempat menarik, kita singgahi.” Begitu ucapku kepada Naiza ketika ia bertanya hendak kemanakah kami.
Baca juga: Bermain di Pantai Jilbab Abdya
Dengan menggunakan motor matic, kami berjalan santai menuju kabupaten tetangga. Tatkala gapura yang bertuliskan Selamat Datang di Kota Tasawuf tepat berada di depan kami, itu bermakna bahwa kami telah tiba di perbatasan kabupaten. Sesuai dengan julukannya, di sepanjang jalan, kami melihat puluhan pesantren tradisional tempat orang-orang belajar ilmu sufi didirikan. Labuhan Haji Barat nama wilayah itu, sebuah kecamatan yang beribukotakan Blang Kejeuren.
Batee Meucanang : Batu yang berbunyi seperti gong
Tidak berapa jauh kami berjalan, pasar Blang Kejeuren yang menjadi pusat keramaian pun kami temukan. Di sana terdapat persimpangan jalan yang jika kami berbelok ke kiri, ada papan petunjuk arah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (Disbudpar Aceh) yang bertuliskan Objek Wisata Gua Batee Meucanang. Tidak ketinggalan logo Visit Aceh dengan sulur Bungong Jeumpa di sudut bawahnya. Namun, jika kami berbelok ke kanan, sebuah spanduk besar dengan wajah ulama Aceh yang terkenal dan baru meninggal beberapa waktu silam terpampang. Beliau adalah almarhum Jamaludin Waly mertua ustad Arifin Ilham, yang tidak lain adalah pimpinan pondok Pesantren Darussalam yang letaknya tidak jauh dari persimpangan jalan itu.
Kami pun memilih jalan ke kiri, menelusuri letak Gua Batee Meucanang yang sudah lama menimbulkan rasa penasaran.
Saat pertama sekali mendengar nama gua di Aceh Selatan ini, saya langsung penasaran dengan makna Batee Meucanang yang menjadi julukannya . Jika batee berarti batu dalam bahasa Indonesia, maka meucanang bisa jadi dia ambil dari kata canang yang bermakna gong. Ketika canang diberikan imbuhan meu maka ia telah berubah menjadi kata kerja. Imbuhan meu dalam bahasa Aceh sama seperti imbuhan ber dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi arti meucanang itu adalah berbunyi seperti gong dan batee meucanang merupakan batu yang bisa menghasilkan bunyi seperti gong/canang, simpul saya.
“Ikuti saja jalan ini. Nanti setelah jalanan beraspal akan ada hutan dan jalan berbatu yang sudah mengalami pengerasan. Jalannya sudah bagus walau belum beraspal. Tidak jauh dari sana gua itu berada,” jelas seorang ibu yang sedang menjaga kedai ketika kami dimana letak gua tersebut.
Kami lalu berjalan memasuki Desa Batee Meucanang, perkampungan penduduk yang namanya diambil dari nama gua tersebut, sampai akhirnya kami tiba di jalan berbatu yang penuh dengan tanjakan dan turunan.
Hawa dingin mulai merasuk pori-pori kulit ketika kami memasuki hutan yang di dalamnya tumbuh pohon durian, pohon pala, karet, dan beraneka tanaman tropis lainnya. Hutan belantara yang kami masuki ini adalah Kawasan Ekosistem Leuser. Sayangnya, hutan ini tidak lepas dari moral hazzard yang dilakukan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Penebangan pohon dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan juga terjadi di daerah ini.
Tidak jauh kami berjalan, kami menemukan kebun warga yang telah ditanami sawit di dalamnya. Tanjakan dan turunan terus kami lewati sampai akhirnya kami mendengar gemercik air sungai yang bergesekan dengan bebatuan.
Baca juga: Ketika Air Terjun dan Lautan Saling Berhadapan di Samadua, Aceh Selatan
“Kak, keren kali pemandangannya, kayak di drama Korea gitu,” seru Naiza saat melihat sungai kecil yang jernih dengan bebatuan besar di sekitarnya tepat di pinggir jalan yang kami lalui. Rimbunya pepohonan di sekitar membuat teriknya matahari sama sekali tidak terasa.
Menurut Naiza, situasi seperti ini mengingatkan dirinya akan kondisi Dinasti Joseon yang kerap ditayangkan dalam drama Korea. Ah, bisa-bisa aja.
Suasana di sekitar kami tampak sepi. Hanya ada satu – dua warga yang sedang membersihkan kebun mereka. Rasa takut sempat menyelinap ketika kami berhenti di pinggir sungai, takut ada orang yang hendak berbuat iseng, tapi buru-buru kami tepis dengan mencoba berpikir positif.
Kami terus berjalan, tapi tidak ada petunjuk di mana Gua Batee Meucanang itu berada. Memang, di pinggir jalan yang kami lalui, ada sebuah mushalla. Namun, jika dilihat dari kondisi tempat ibadah tersebut yang penuh dengan kayu dan kotoran binatang, sepertinya bangunan ini sudah tidak berfungsi lagi. Pun demikian dengan kamar mandi di sampingnya, sudah tidak bisa digunakan. Hanya saja sungai di dekatnya terlihat sangat bersih. Gradasi warna pada air sungai ini sungguh memikat. Jernihnya air sungai dan hijaunya lumut semakin indah dengan pantulan cahaya matahari.
Di seberang mushalla dan sungai itu, terlihat seorang laki-laki sedang membersihkan kebunnya yang ditumbuhi semak belukar. Tapi di manakah Gua Batee Meucanang itu, ya?
Saya dan Naiza terus melaju, melewati jalan yang mendaki sambil menikmati keindahan alam di sekitarnya. Ketika menemukan sebuah rumah di tengah hutan dan melihat sepasang suami istri yang sudah paro baya dan seorang bocah laki-laki di depannya, kami pun berhenti. Ternyata, di situ adalah lokasi penyulingan minyak nilam. Minyak yang menjadi bahan baku utama sebuah parfum.
Kami pun singgah sejenak di sana dan melihat cara penyulingan nilam sampai menghasilkan minyak. Kemudian kami pun bertanya kepada sang bapak dimana lokasi Gua Batee Meucanang itu berada.
“Gua itu tepat di depan mushalla yang dipinggir jalan waktu kalian kesini tadi. Cuma agak susah naik ke atasnya karena sudah ditumbuhi belukar. Selama pembuatan jalan, enggak ada lagi orang yang ke gua itu,” ungkap sang bapak.
Kami pun kembali ke mushalla itu dan memakirkan sepeda motor di depannya. Sesuai dengan petunjuk bapak pemilik penyulingan nilam, kami menyebrangi jalan dan mendaki gunung tempat gua berada. Hampir 20 meter gunung itu kami daki dengan nafas yang sudah putus-putus tapi tidak ada petunjuk tentang keberadaan gua. Syukurnya, seorang lelaki yang sedang membersihkan kebunnya itu mengatakan bahwa jalur yang kami daki itu salah. Ia lalu menunjukkan arahnya kepada kami.
“Arahnya ke kiri. Tapi agak susah karena banyak sekali semak belukarnya,” jelas Bang Den, nama lelaki itu yang merupakan penduduk asli Labuhan Haji itu.
Dengan parang di tangan, Bang Den lalu membersihkan belukar yang menutupi badan jalan. Ia pun menemani saya dan Naiza mendaki gua tersebut.
Karena pendakian ke arah gua sangat terjal, Naiza menyerah. Sepatu yang ia gunakan terlalu licin dan bisa membuatnya terpeleset. Walhasil, hanya saya dan Bang Den yang mendaki gua.
Ketika kami sampai di gua yang berukuran sekitar 20 meter itu, dua ekor kelelawar yang terusik karena kedatangan kami pun berterbangan dari sarangnya.
“Sudah lama tidak ada orang yang ke gua ini. Hampir setahun tepatnya sejak pembangunan jalan. Makanya jadi kotor. Mushalla yang di bawah itu pun rusak karena pembangunan jalan,” jelas Bang Den.
Gua Batee Meucanang dan alunan musik dari sebuah batu
Lelaki yang ternyata adalah pemilik tanah di sekitar gua ini pun bercerita tentang legenda Gua Batee Meucanang tersebut.
“Dulu, ada seorang putri yang diasingkan di gua ini. Putri tersebut dianggap memiliki penyakit yang membahayakan. Di dalam persembunyiannya, sang putri sering memukul-pukul batu di bagian gua dan terdengar bagaikan alunan musik yang indah. Batu yang menghasilkan musik itulah dinamakan Batee Meucanang,” cerita Bang Den yang ia ketahui secara turun temurun dari keluarganya.
Karena kondisi gua yang tidak memungkinkan untuk dimasuki, saya hanya bisa berpuas diri melihatnya dari selasar. Sebuah pohon besar yang ditumbuhi jamur menjadi sandaran saya saat mencoba mendaki sedikit demi sedikit bagian depan gua.
Menurut Bang Den, selain terdapat batee meucanang, di dalam gua ini juga terdapat peralatan masak seperti ulekan yang telah berwujud batu.
“Ada juga telapak kaki manusia. Konon ceritanya, dulu ada ulama yang bertapa di dalam gua ini dan itu adalah tapak kakinya,” jelasnya.
Setelah melihat-lihat di sekeliling gua, kami pun kembali lagi ke bawah dan menuju sungai di samping mushalla.
“Di sungai inilah putri yang diasingkan itu membersihkan diri dan mengambil air untuk kelangsungan hidupnya,” lanjut Bang Den yang kemudian berpamitan karena hendak menyelesaikan pekerjaannya membersihkan kebun.
Saya dan Naiza lalu memanjakan diri dengan bermain air di sungai yang ditumbuhi lumut ini. Tidak lama kemudian, dua orang laki-laki berusia remaja berhenti di sungai itu dan mengambil lumut di sana.
“Untuk mancing, Kak,” jawab salah satu dari mereka ketika kutanyakan untuk apa lumut tersebut.
Wah, saya baru tahu kalau ternyata lumut tersebut bisa digunakan untuk memancing ikan.
Hari semakin siang, perut pun mulai keroncongan. Ada rasa sesal karena tidak meembawa bekal saat berangkat dari rumah tadi. Makan-makan di pinggir sungai sambil menikmati keindahan alam pasti sangat seru. Apalagi lokasinya sangat sepi dan belum dikotori oleh aksi vandalisme. Akhirnya, setelah puas bermain air dan mengabadikannya dalam kamera di lokasi Gua Batee Meucanang, kami pun melanjutkan perjalanan ke arah ibu kota Aceh Selatan. Rencana utamanya adalah menemukan tempat makan.[] Liza Fathia
Hastira says
wah jalannay amsih hutan belantara gitu ya, dan sepiiiiiii, ih apa gak takut
Liza Fathia says
ngeri2 sedap juga mbak tira
evrinasp says
Iya jalanannya sepi, makin penasaraam sama aceh seperti apa, semoga berjodoh untuk ke aceh
falahalfal says
wahh jadi kepengen.. pemandangan alamnya bagus bener.. cocok jdi tempat wisata
Liza Fathia says
cuma karena sedang perbaikan jalan, enggak ada yang datang kesana, mas
Nchie Hanien says
Waah jalan menuju kesana asiknya ya Liz,ikotaan turing donk..
Meski jalanannya hutan belantar, terbayar deh ngelihat Gua Batee Meucanangnya..
Atulah kapan2 ajak aku ke sana yaa
Liza Fathia says
bener teh, asyik banget. sip2,terus kapan nih ke aceh?
lianny hendrawati says
Pemandangan sekitar sungai indah juga ya, guanya juga unik.
Liza Fathia says
iya mbak, masih asri pemandangannya
bloggergunung says
Pemandangannya asri sekali.
Hijau bersih air juga jernih
Oya, di tempat saya juga lumut itu sengaja dijual orang buat umpan memancing. Tinggal butir2 secukupnya pasang di kail. Ikan pada suka 🙂
salam
Okti Li
Liza Fathia says
oh gitu toh teh… aku baru tahu
Meriska Putri W says
Mbak itu jalannya sepi banget.. berani banget ke sana sama cewek doank.. kalau aku udah shalawatan terus, takut ada begal, haha.
Lingga says
Menantang banget perjalanannya mba liza..itu sungainya emang rada2 mirip di drama korea..hihii secara penggemar Korea. Sayanng ya guanya kurang diperhatikan jadi kurang bersih..padahal sungainya udah ciamik bgt tuh
hariekhairiah says
Untung aman yaa, ke pelosok2 gitu hanya berdua, sungainya keren untuk foto2
Ihan Sunrise says
wahhhh seru yaaa…..jadi pengen ke sana,
Shine says
Sepi banget ya mba, jd leluasa untuk explore dan jeprat-jepret pasti.
nanti klo ke Aceh, ajakin ke sini ya,haha *siape elo*
Shabrina (@slowtravelstory) says
Seru banget sih mba Liza pengalamannya. Salam kenal ya
kopertravelers says
wah, aku udah pernah main ke Aceh Kak, tapi belum sempat ke sini, semoga ada kesempatan lagi main ke sana dan bisa mendengarkan secara langsung seperti apa suara gong di gua itu
nofan says
Sepertinya guanya lembab banget ya. Oh ya sungainya wow… jernih banget,…
Fillyawie says
Ya Ampun itu jalan berbatu kalau hujan atau basah horor banget ya Mba, karena licin banget pastinya. agak deg deg an juga baca ceritanya, gemana kalau keberadaan gua batu canang ini nggak di temukan oleh kalian wkwkwk. Tapi ngeliat sungai yang jernih dan pemadangan alamnya, menandakan perjalanan tidak sia2 ya.
Tigor Agustinus says
Tempat bagus tapi kok kurang perhatian dari pemerintah ya? Dicoba dulu promosi ke pemda setempat atau hubungi pecinta alam untuk dibuat vlog..
jendelakeluarga.com says
Wah sumatera emang wisata alamnya masih juara ya. Mungkin publikasinya yg perlu ditingkatin ya mba
Sandzarjak says
Saya pernah jd volunteer untuk membantu korban tsunami di Aceh tahun 2005. Anehnya kl dengar kata hutan di Aceh saya teringat GAM.
ruli retno says
Bening bgt ya airnya sampe lumut di dasar pun keliatan
ruziana says
wah kak liza kereen…berani ya perjalanan jauh gitu
tapi terbayar dengan pemandangan yang lumayan
klu bawa bekal tentu lebih asyik lg ya
apalagi bawa baju ganti..bisa mandi mandi di sungai hahaha
jadi ingat waktu sekolah mandi di sungai sambil makan makan
57Promenade says
Boleh ni jadi referensi wisata keluarga saya. trims
tukangjalanjajan says
lingkungannya hijau banget. pasti menyenangkan perjalanan menuju kesana. Itu gua dari batu kapur kah? mudah mudahan terus terjaga dan lestari. jauh dari tangan nakal dan jahat
retno says
wah hari gini pergi berdua aja…keren, pemberani sekali…tempatnya asyik juga yaaa airnya bening banget…
Tomi Purba says
Luar biasa mba petualangannya ke gua Batee.. mulai jalan terjal, jalan setapak ke gua yg terjal dan licin.. mungkin kalau saya udah milih pulang dan gak jadi mba..
Udh setahun gak dikunjungi, berarti gua nya malah kayak seram donk mba
Atanasia Rian says
Wah jalannya ngeri2 sedap ya. Tapi asyik nich kalau bisa ditaklukkan. Tempatnya masih asri banget pengen kesanaaaaaaa
William Giovanni says
Pemandamgannya indah sekali, sebanding dengan perjuangan yang dilakukan. Serasa ada di lokasi syuting drama Korea sih, belum kesampaian ke Korea ke tempat yang mirip dulu.
Pu says
Airnya jernih sekali
Ke sananya penuh perjuangan banget ya, Mbak
Jiah Al Jafara says
Mbak aku kok ngeri ya, sepi gitu daerahnya. Kalian jalannya berdua cewek2 lagi. Kebanyakan gua juga menimbulkan bunyi2 walau gak serupa musik. Duh pengen ikut jalan2 ke alam juga deh, tp nyari teman. Kalau kaya Mbak yg dua2an, ntar dulu lah
Matius Teguh Nugroho says
Sungainya seger banget, kak. Sayang nggak bisa dibuat mandi karena banyak lumut hehe. Legenda putrinya mengingatkanku dengan legenda asal usul Nyi Roro Kidul 🙁
Nova Violita says
Wah..alamnya masih asri Adan alami..
Suka liat air yang jernih..
Kayak Drakor tapi itu yg laga..dan kerajaan mba..
Diah Kusumastuti says
Wah, masih alami sekali ya Mbak pemandangannya. Dan sepiii… hihihi. Mbak Liza pemberani ih. Btw semoga ke depannya gua Batee Meucanang ini akan mendapat perhatian pihak2 terkait, ya 🙂
Dikki Cantona Putra says
Wah gua batee di aceh ini bagus juga ya pemandangan alamnya bagus banget masih asri dan hijau lagi.
Isi guanya bagus juga tuh bebatuannya
Wajih kesini nih
aisyahfichapucino says
sungainya ada lumutnya, berarti kalau pas main air harus hati hati ya, krn khawatir licin.. btw itu serasa milik sendiri.. nggak ada pengunjung lain yang juga ikutan pada hari itu kah?
Yesi says
Hihi naiza kpopers banget ya mba, apa2 di sangkutin sama drama korea.. air sungainya emang bening banget ya mba keren guanya
jungjawa says
Jalannya masih belukar banget ya mbak? Masih harus ditebas buat cari jalannya. Masih belum mudah ya akses transportasinya. Semoga cepat bagus deh, sayang banget wisata gua kalo aksesnya susah
Sally Fauzi says
Kak, lokasi ini seberapa jauh dari tapak tuan? Rasa rasanya Labuan Haji ini kota tempat lahir nenek yang sering beliau ceritakan dulu.
Alamnya bagus ya kak,… Huhu jadi kangen pulang ke Aceh
okymaulana910 says
lagi nunggu waktu dan budget yang pas buat kesana, semoga cepat kesampaian. Amin.
lendyagasshi says
Serru sekalii perjalanannya, mba Liza.
Tadi sekilas, saya kira mau nulis Bahasa Jepang.
*ganbatte
Benar-benar bisa menjadi pelajaran dari sebuah perjalanan yaa..mba.
Sejatinya,
Orang tirakat ((beribadah)) itu harus fokus.
Jauh dari pengaruh-pengaruh dunia luar.
unishona says
belum pernah ke gua.. serem ga sih mba? hooo
April Hamsa says
Mirip2 goa gong di Pacitan gtu kali ya hehe TFS
Marina Srikandi says
untung ada bang den ya mbak. kalau gak ada bisa-bisa nyasar dah itu. wkwkwkwk
Ratna Dewi says
Medan ke destinasinya lumayan menantang yaa, tapi aku suka airnya jernih banget itu.
greennewresidence says
saya lebih tertarik untuk destinasi ke gunung dari pada ke goa atau pantai
tanaman sawit says
Wah seru sekali 🙂 selalu seru memang kalau wisata alam 🙂
indrijuwono says
waahhh, saya hobi ke goa waktu muda dulu. sekarang mah jarang, tapi tetep aja masih suka goa dan bebatuan, suka penasaran pengen masuk kalau ada goa alami..
adi says
Wah,bagus banget pemandanganya, alamnya masih asri dan indah. Jadi kepengen kesana bareng – bareng sama teman – teman.
Fanny Fristhika Nila says
Waah sayang batunya ga dicoba seperti apa suaranya mba. Ini ngingetin aku ama goa tabuhan di pacitan jawa timur, yg bebatuannya ada bagian yg bisa dipukul menghasilkan nada musik. Tp di sana goanya bnran dijadikan objek wisata, jd terawat dan ada guidenya.. Sayang banget goa yg ini ga dirawat yaaa 🙁
Fanny Fristhika Nila says
Ini ingetin aku ama goa tabuhan di pacitan, jawa timur. Di dalamnya ada bebatuan yg kalo ditabuh mengeluarkan nada. Bedanya goa di sana beneran dijafikan objek wisata mba, lengkap ama grub yg bakal nyanyi dengan iringan musik dari batuan tadi.
Sayang banget goa yg ini ga terawat samasekali 🙁
Savia says
bagus banget goanya saya baru tau ada tempat dengan pemandagan sebagus ini di aceh
Sky House BSD says
waoooo recomended bnget wisatanya, asri, nyaman, dan menantang bnged
yellsaints says
Sudah lama pengen kemari, tapi belum kesampaian.?
Liza Fathia says
ayolah yell kapan lagi