Kalau ingin menikmati durian yang manis, tebal, dan legit, maka solusinya ada pada durian Tangse. Baru melahap sepotong dagingnya saja, perut sudah kenyang. Namun, lidah seakan tak ingin berhenti mengecap daging buah yang dijuluki King of Fruit ini. Nyam. Nyam. Satu saja tidak cukup. Ingin lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya, sebuah utuh Durio zibethinus itu masuk ke dalam lambung saya.
Karena ingin mencicipi durian Tangse sedang musim sejak awal tahun, akhir pekan kemarin, saya dan suami pulang ke sana. Sudah sebulan sejak pindah ke Gandapura, kami tidak pernah pulang ke rumah orang tua. Jadi, Sabtu siang, setelah tugas di Puskesmas selesai, kami menuju kampung halamanku, Tangse. Sebuah kecamatan yang terletak di Pidie, Aceh.
Perjalanan dari Gandapura-Tangse memakan waktu tiga jam menggunakan kendaraan bermotor. Lepas magrib, kami tiba di rumah orang tuaku tepatnya di Desa Pulo Mesjid 2. Setiba di rumah, aroma menyengat dari raja segala buah itu menyusup silia-silia di rongga hidung. Mamak rupanya sudah memasak pulot ketan yang nantinya dimakan dengan durian. Ia sengaja melakukan itu untuk menyambut kedatangan kami, lebih khususnya kedatangan menantunya.
Belasan durian berjejer di dapur. Baunya yang khas membuatku tidak sabaran untuk mencicipinya. Setelah dibuka, dengan cepat saya mengambil beberapa daging buahnya. Lalu memakan raja buah itu dengan pulot. Ah, tebal sekali dagingnya. Baru sebiji, saya kekenyangan. Begitupun suamiku. Padahal kami belum makan apa-apa selama perjalanan tadi.Keesokan harinya, saya meminta mamak untuk membuat kuah durian yang nanti juga akan dimakan dengan ketan. Lalu mamak memisahkan daging buah tersebut dari bijinya. Diremas hingga hancur lalu ditambahkan air hangat, gula, dan sedikit garam. Terkadang orang menggunakan santan sebagai pengganti air. Tapi mamak tidak menambahkannya karena kandungan kolestrol di durian saja sudah sudah tinggi. “Kalau ditambah santan lagi, bakal lebih tinggi lagi kolestrolnya,” jelasnya.
Setelah menikmati sarapan dengan ketan dan kuah durian, tiba-tiba bunyi “brukk” terdengar di luar sana.”Ada durian jatuh!” Seruku seraya berlari ke belakang rumah dan melihat durian yang tersisa satu-satunya di pohon sudah tergeletak di tanah.
Durian di pohon belakang rumah itu beda dengan durian yang kucicip saat makan malam atau sarapan. Durian yang berjejer di dapur itu dibeli oleh mamak karena hendak dikirim ke Seulimeum. Daging buahnya putih dan ada juga yang agak kekuningan. Nah, kalau durian di belakang rumah itu warnanya kuning. Daging buahnya lebih tebal, dan bijinya sangat kecil. Duri di kulit buahnya juga besar dan jarang. Tapi sayangnya buahnya tidak banyak. Paling tujuh atau delapan buah setiap kali musim durian.
Durian Tangse nan Lezat
Sebagai penikmat durian, durian kampung halaman saya ini memang tidak ada tandingannya bagi saya. Dari kejauhan, bau menyengatnya sudah tercium. Ini tidak saya dapatkan pada durian lain yang pernah saya cicipi. Baunya tidak begitu harum. Daging buahnya juga tipis dan tidak seberapa manis. Sebenarnya faktor terlalu cepat dipetik dan tidak menunggu sampai ia matang dan jatuh sendiri juga berpengaruh pada bau dan rasa durian. Namun, meskipun sudah matang, yang dapat dipastikan dari tangkai dan durinya, durian daerah lain tetap tidak selezat durian Tangse.
Selain baun yang menyengat, daging buah yang tebal dan rasanya yang manis, harganya juga terjangkau. Jika musim seperti ini satu durian besar berharga sepuluh sampai lima belas ribu rupiah. Biasanya orang-orang dari Beureunun dan seputaran Sigli banyak berdatangan ke Tangse untuk mencicipi durian Tangse yang lezat.
Kayaknya tahun depan kita sudah bisa bikin festival durian nih, gimana? survei keberbagai tempat 😀
Tapi kayaknya agak Susah bang, soalnya musim durian do tiap daerah itu berbeda. Sering selang sebulan atau dua bulan. Tapi Ga tenth juga sih. Mudah-mudahan tahun depan musim duren di setiap daerah serentak jadi bisa dibuat festival durian
iya juga sih, tapi kemarin sempat lihat agenda di majalah inflight ternyata dibeberapa daerah udah ada festivalnya lokal. Emang bagusnya berawal dari lokal kabupaten baru provinsi ya 😀
Nah, Klo itu baru ok bg. Di pidie aja ada bbrp daerah lain LG yg menghasilkan durian selain Tangse
Hwaaa… Mauuuu duriannyaaaaa…
Sepanjang musim durian belum pernah coba sama sekali nihhh…
Kesini Mbak, biar Liza traktir duriannya
kalo dijakarta sini ada yg nama’a rumah durian, setiap hari selalu aja ada durian, gtw stok’a diambil dari mana.pdahal dia kan buah musiman..:)
tp yg tangse geumpang masih top dehh..
hhe
Ohya? Mgkn dari mana2 ya. Pastinya, durian Tangse is the best lahhh
dagingnya bagus sekali ya, aku gak bisa loh milih durian yang bagus, belum tau caranya
kalau sudah sering jadi paham sendiri mba lydia
gimana cara dapat durian kayak gini, jadi ngiler nich 🙂
perbijinya berapa kilo ya, kok kayaknya bijinya gede banget,,,,glek…glek…glek…
ni buah kesukaan saya banget,tapi sayang di daerah saya sulit banget dapetin buah durian..
jarang ada nii buah,kalok pun ada harganya selangit banget..
Kasihan juga ya. Yuk ke Tangse saja
is is is….hawa saya….:D
Hawa ya… Ngga boleh, saya ngga mau kasih
gpp juga, nanti di kasih sama mak tuan saya 😀
Enak ya yang udah punya Mak tuan
hmmmmm …. kalo ampe temen2 gw tau ada durian pasti pada hajarrrrrrrr
Wow seru, hebat dek nong cut ni trus berkarya..
Wah bisa belajar dari Belitung nih untuk pesta duriannya
Setauku di Bintan, Kepri, udah ada tuh kegiatan Festival Durian
waaaa~~ ini buah kesukaan sayaa, tapi mahaal jadi jarang – jarang makannya *hiks*
Disini kalo lagi musim murah bgt
Aku juga suka sekali makan durian seperti yang dibuat oleh ibunya Liza. Dan biasanya kalau Ayah beli durian, pasti dibuat seperti itu oleh Bunda. Tetapi, karena sekarang Ayah ma Bunda udah gak boleh makan makanan berkolesterol tinggi lagi, jadi udah gak pernah makan lagi durian dengan pulot atau ketan 🙁
Enaaaak kan kak