• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Home
  • About
  • Recognition
  • Advertise
  • Disclosure
  • Contact

LIZA FATHIA

a Lifestyle and Travel Blog

  • ABOUT ME
  • Traveling
  • Advertorial
  • Kesehatan
  • Feature
  • Kuliner
You are here: Home / Opini / Tentang Persepsi

March 6, 2013

Tentang Persepsi

Kau tidak akan pernah memahami seseorang hingga kau melihat sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya, dan menjalani hidup dengan caranya -Harper Lee, To Kill A Mocking Bird-

Kali ini saya ingin menulis tentang persepsi. Persepsi salah yang muncul hampir lebih dua bulan terhadap seseorang. Pikiran negatif yang muncul akibat terlalu cepat mengambil konklusi. Meski beragam bacaan telah kulahap, bermacam motivasi telah kudapat, tentang positive thinking. Tapi, energi negatif masih saja hadir.

Cerita bermula ketika saya bertugas di Puskesmas. Ini adalah bagian internship terakhir yang harus saya jalani selama empat bulan. Di sana, saya bertemu dengan seorang staf laki-laki. Berbadan gembul dengan jenggot panjang seperti Ahmad Dhani. Setiap bertemu, saya sunggingkan senyum kepadanya. Tapi hanya kecuekan yang saya dapatkan. Berulang kali saya melakukannya dan hal serupa yang saya terima. Ah, mungkin begitulah bentuk senyumannya. Saya mencoba berpikir positif.

Hampir tiga bulan saya berada di Puskesmas ini, saya belum pernah melihat tingkah ramahnya pada saya. Itu juga diakui teman-teman saya yang lain. Lelaki itu seperti tidak welcome dengan kehadiran kami. Ternyata, selain saya dan teman-teman, para staf yang lain juga tidak menyukai tingkahnya. Lagaknya bak Kepala Puskesmas. Setiap menyampaikan informasi ketika apel pagi, sikapnya sangat bossy, membuat pegawai lain geram. Seolah-olah Puskesmas itu adalah miliknya.

Melihat ketidaksukaan orang lain terhadap laki-laki berjenggot seperti Ahmad Dhani itu, maka saat itu saya berpikir bahwa persepsi saya akannya tidak salah. Apa lagi saat dinas malam bersama-sama dengannya, ia sama sekali tidak menghargai kehadiran saya. Tapi semua berubah pada keesokan malamnya. Saat saya menemani teman saya yang sedang dinas malam. Lelaki itupun menjadi perawat yang bertugas waktu itu.

Di ruang rawat, saya duduk di bangku tepat di samping lelaki itu. Sedang teman saya sedang memeriksa pasien di bangsal. Dalam diam dan tanpa keinginan untuk membuka pembicaraan, saya larut dengan ponsel. Membuka aplikasi-aplikasi tidak penting untuk menghilangkan suntuk. Tiba-tiba lelaki itu angkat bicara. Saya sedikit tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Ternyata dia benar berbicara pada saya. Ia menanyakan tentang di mana tempat tinggal saya dan teman-teman. Menanyakan siapa laki-laki yang sebulan yang lalu mengantar jemput saya.

“Itu suami,” jelas saya. Penuh semangat saya meladeni pertanyaannya. Ternyata selama ini lelaki itu perhatian pada kami.

“Berarti yang sudah menikah, dokter dan dokter Rossa, ya?”

Saya mengangguk pasti.

Kemudian saya pun ikut bertanya padanya. Menanyakan tentang berapa lama ia sudah bekerja di Puskesmas ini dan apa saja yang terlintas di pikiran. Dia pun menceritakan bahwa ia sudah bekerja di pusat pelayanan kesehatan sejak tujuh belas tahun yang lalu. Sejak puskesmas tempat kami berada dibuka, ia sudah di sana. Bersama dokter terdahulu ia membangun puskesmas ini sampai menjadi puskesmas terbaik di kabupaten. Merawat pasien hingga sembuh. Bahkan pasien yang pernah dirawat di rumah sakit ingin dirujuk ke puskesmas karena bagusnya pelayanan yang mereka berikan.

“Pantesan Bapak ketika bekerja seakan-akan ini rumah sendiri. Ngga setengah-setengah.” Saya pernah melihat ia membersihkan area puskesmas sendiri sampai benar-benar bersih.

“Kalau bukan kita, dok. Ngga ada yang mau. Semua sekarang kerjanya ngga sepenuh hati. Asal udah selesai. Yang penting laporan ke dinas siap, habis perkara. Ngga peduli dengan internal puskesmas. Beda sekali dengan dulu,” sesalnya.

Kini lelaki itu mengaku mulai bosan dengan rutinitasnya. Sudah hampir dua puluh tahun dia mengabdi, tetapi puskesmas yang dibangunnya bersama teman-teman terdahulu makin merosot kualitasnya.

“Sekali dua kali sanggup kita ingatkan. Tapi kalo terus-terusan, saya malah dianggap sok berkuasa.”

Saya hanya tersenyum mendengar curhatan lelaki itu. Ternyata dia tidak seperti yang saya bayangkan. Malam itu mata saya terbuka. Kejengkelan yang selama ini merasupi jiwa lenyap seketika.

Ah, saya tidak boleh terlalu cepat berkonklusi. Apakah saya sudah pernah hidup di posisinya? Pernahkah saya melihat masalah dari sudut pandangnya? Menyusup di balik kulitnya? Jika tidak, sungguh tidak pantas pikiran lama saya akan sikapnya terus berseliweran dalam diri. Be positive thinking.

Share this:

  • Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on Pinterest (Opens in new window)
  • Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
  • Click to share on Telegram (Opens in new window)
  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Tumblr (Opens in new window)
  • Click to email a link to a friend (Opens in new window)
  • More
  • Click to share on Pocket (Opens in new window)
  • Click to share on Reddit (Opens in new window)

Like this:

Like Loading...

Filed Under: Opini Tagged With: konklusi, positivethinking

  • 1 Liza Fathia
    • 8 Kafe Unik dan Cozy yang Wajib Dikunjungi di Tokyo
    • Stabilizer Listrik: Lindungi Peralatan Elektronik Anda
    • Membangun Keluarga Bahagia dengan Sekolah Keluarga Samara
    • Mengenal Tanda-tanda Hamil Anggur
    • Keuntungan Memilih Bayar Listrik Online di Aplikasi Belanja Online

Reader Interactions

Comments

  1. Aulia says

    March 6, 2013 at 2:13 PM

    itulah pentingnya positif thinking, kadang muka seram tersimpan jiwa yang begitu kalem 😀

    Reply
  2. puji senja says

    March 6, 2013 at 5:53 PM

    🙂

    Reply
  3. Lidya says

    March 7, 2013 at 12:29 PM

    berfikiran positif itu ternyata penting ya mbak, jangan menghakii orang lain terlebih dahulu. tapi kadang suka aneh sendiri ya kalau kita senyum tapi orang yang disenyuminya cuek

    Reply
  4. anotherorion says

    March 7, 2013 at 5:36 PM

    semoga dengan begini persepsi teman2 terhadap beliau bisa lebih baik n kebersamaan di puskesmas lebih kondusif 🙂

    Reply
  5. leniwijayanti.com says

    March 7, 2013 at 7:23 PM

    haha sama halnya dengan saya, orang yang baru mengenal saya akan mengira saya sombong karena saya jarang berbicara atau menyapa duluan, kadang saya diam bukan karena saya jual mahal karena memang saya tidak tau caranya membuka pembicaraan. saya memilih membiarkan mereka dengan persepsinya tentang saya, selama tidak mengganggu saya

    Reply
  6. Matris says

    March 8, 2013 at 10:27 AM

    Padahal si om ternyata orang lama yang perhatian banget ke PKM-nya, duh….

    Reply
  7. Pulau Seribu says

    March 12, 2013 at 2:48 AM

    semoga tulisan anda bermotivasi bagi kita semua para pembacanya. nice post

    Reply
  8. Marchia Diandra says

    March 13, 2013 at 10:45 AM

    Ya, kadang kita menilai salah karena kita melihat dari kaca mata sendiri.
    Nice post, sist 🙂

    Salam,

    Reply
    • Liza Fathia says

      March 16, 2013 at 5:12 PM

      salam juga 😀

      Reply
  9. Fari says

    March 13, 2013 at 5:25 PM

    yupz.. positif thinking = good

    Reply
    • Liza Fathia says

      March 16, 2013 at 5:12 PM

      Setuju 😀

      Reply
  10. blog roombucket says

    March 15, 2013 at 2:40 PM

    menarik sekali…sebuah pembelajaran memang kita tidak boleh menilai orang dr apa yang diperlihatkan atau sikapnya…. hehe

    Reply
    • Liza Fathia says

      March 16, 2013 at 5:11 PM

      Benar sekali

      Reply
  11. Isnuansa says

    March 16, 2013 at 11:17 AM

    Aahhh, ternyata.. Itu semua dilakukan lelaki yang mirip Ahmad Dhani demi kebaikan Puskesmas yang 20 tahun ini dicintainya…

    Reply
  12. Olive says

    March 22, 2013 at 3:49 PM

    Kau tidak akan pernah memahami seseorang hingga kau melihat sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya, dan menjalani hidup dengan caranya -Harper Lee, To Kill A Mocking Bird-

    aaaaah, ini aku suka banget *novelku dimana yaaaa*

    Reply

Leave a ReplyCancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Primary Sidebar

Liza Fathia

Welcome to liza-fathia.com!

Hi, I 'm Liza, a working mom with a beautiful daughter who loves blogging and traveling. I started blogging to create a lifestyle and travel blog that allows me to spend more time focusing on the things I love. Grab a cup of coffee and enjoy reading this blog. I hope you leave the site with some new exciting ideas!

Follow Me

  • Twitter
  • Instagram
  • Pinterest
  • LinkedIn
  • Facebook

Recent Posts

  • 8 Kafe Unik dan Cozy yang Wajib Dikunjungi di Tokyo
  • Stabilizer Listrik: Lindungi Peralatan Elektronik Anda
  • Membangun Keluarga Bahagia dengan Sekolah Keluarga Samara
  • Mengenal Tanda-tanda Hamil Anggur
  • Keuntungan Memilih Bayar Listrik Online di Aplikasi Belanja Online

Community

blogger perempuantravel blogger indonesiagaminong blogger

Copyright© 2023 · by Liza Fathia

%d