Liz, jangan lupa batu akik untukku satu waktu pulang ke Banda Aceh nanti.
Begitulah tanggapan teman-temanku saat saya mengabari tentang kepindahan saya ke Aceh Barat Daya. Ya, sejak 1 Januari 2015 saya dimutasi ke salah satu kabupaten di pantai barat selatan Aceh. Kebetulan waktu itu batu akik sedang menjadi trending topic di seluruh pelosok negeri. Dan batu di kawasan pantai barat selatan ini terkenal dengan kualitasnya. Lebih-lebih batu akik jenis solar atau yang dikenal dengan giok Aceh.
Saya yang tidak mengerti batu, hanya tersenyum saja sambil membatin, “kalau yang gratisan aku juga mau, hehehe.” Memangnya sehebat apa sih batu akik yang dimiliki tempat tinggal baruku itu sampai-sampai semua teman kantor yang bertanya kemana SK mutasiku pasti mengatakan, “jangan lupa batu untukku, ya.”
Ketika berangkat ke Abdya untuk waktu yang entah sampai kapan saya akan di sana, saya dan keluarga memutuskan untuk berangkat pagi hari. Ketika mobil yang kami tumpangi tiba di wilayah Calang, hawa-hawa batu akik mulai terasa. Di pasar Calang, puluhan penjual batu akik sedang melakukan transaksi dengan pembeli. Batu-batunya ada yang berupa bongkahan, ada juga yang telah diasah menjadi batu cincin. Begitu juga ketika kami tiba di Abdya, puluhan orang memadati penjual batu yang membuka gerainya di lapangan Kodim Abdya.
Penasaran dengan batu Aceh, begitu orang-orang menyebut batu mulia dari Serambi Mekah ini, saya pun bertanya kepada Bang Iqbal, saudara sekampung yang juga berkerja di Abdya. Dia memilih menjual batu sebagai  pekerjaan sampingan sehingga tahu betul mana batu yang berkualitas bagus dan mana yang tidak.
Menurutnya, batu yang bagus adalah batu yang jika disenter, cahaya lampu dibiaskan ke seluruh bagian batu. Warnanya memancar terang tanpa ada sisi gelap. Itu artinya, batu tersebut telah cukup tua dan jika diasah menjadi batu cincin, tidak mudah rapuh alias keras. Namun, untuk batu yang terbentuk dari fosil tumbuh-tumbuhan, meskipun telah tua tetap rapuh saat diasah. Untuk mengetahuinya, bisa dilihat saat disenter, tampak serat-serat dedaunan di dalam bongkahan batu tersebut.
Selain memancarkan sinar yang terang saat disenter, batu yang bagus adalah batu yang bergiwang. Ketika dibolak-balik memunculkan sisi gelap dan terang.
Bericara batu yang bagus dan memiliki nilai jual yang tinggi, bio solar tetap menjadi jawara. Semakin terang pancaran cahaya dan semakin bergiwang, maka semakin mahal pula harganya. Tidak mengherankan jika banyak warga kawasan pantai barat selatan ini berburu batu untuk dijual.
Para pembeli batu pun ternyata tidak hanya dari kalangan kaum Adam, para wanita pun tidak ingin ketinggalan untuk mengoleksi giwang. Saya pun demikian, walaupun hanya sebiji, yang penting punya giwang. Setidaknya, tidak malu mengakui diri sebagai pendatang di Abdya.
Sebagai bukti punya batu akik, tidak lupa saya berselfie ria dengan koleksi batu (orang lain, hehehe). Batu Sulaiman dan Merah sirup ternyata begitu menarik perhatian juri pada salah satu kontek selfie dengan batu akik yang saya ikuti. Warna merah dan putih yang melambangkan bendera kebangsaan kita itu ternyata membawa saya menjadi juara.
Lusi says
Temanku yg dinas di Aceh sekarang nyambi jualan batu akik wkwkwkk banyaaaak banget koleksinya.
Fahmi (catperku) says
Mulai banyak blogger yang suka batu akik sekarang XD keren banget lah fenomena batu akik ini~ heheee
SITI FATIMAH AHMAD says
Assalaamu’alaikum wr.wb, mbal Liza… Alhamdulillah, itu namanya tuah batu akik sehingga membawa gelaran juara ya. ide yang mantap dengan memiih warna putih dan merah. Itu lambang patriotisme yang tidak kepada negara Indonesia. Salut ya. Saya suma ada batu mata kucing sahaja, mbak. Entah di mana hilangnya, mungkin difikir ngak bernilai tinggi ya , maka disimpan sembarangan aja. Salam ramadhan yang indah dari Sarikei, Sarawak. 🙂
konveksi seragam jaket kaos says
memang indah tuh akiknya,