Hari ini saya mengikuti Kelas Menulis di sekretariat FLP. Sebuah kegiatan dwi mingguan yang memang diselenggarakan oleh kaderisasi FLP untuk mengupgrade para penulis baik baru bergabung maupun yang telah lama berkecimplung. Kedatangan saya di kelas ini bisa dibilang sangatlah telat. Acara yang telah dimulai sejak pukul sepuluh pagi tapi kehadiran saya satu jam setelahnya. Benar-benar ngaret. Maklum saja, hari Minggu adalah harinya anak kos membersihkan kostannya setelah enam hari sibuk beraktifitas. (Alasannya sedikit dimodifikasi 🙂 )
Saya tiba tepat ketika Ibnu, sang pemateri pada pertemuan kali ini membahas tentang Menentukan Batas dalam Menulis. Memang sebuah ide itu tidak terbatas. Tetapi ketika menulis dan berharap tulisan dibaca orang maka norma-norma berlaku di sana. Norma-norma baik itu kesusilaan, kesopanan, dan apapun itu harus tetap dijunjung tinggi. Saya tidak setuju jika ada orang yang berpendapat bahwa sebuah karya sastra itu bagaimanapun isinya layak diberikan apresiasi. Lantas bagaimana kalau isinya justru membuat tindakan asusila semakin banyak terjadi? Maka di sinilah diperlukan filter. Menulis tetap ada batasannya.
Seorang peserta bertanya bolehkah kita membaca novel dari penulis yang sudah jelas-jelas mendapatkan lampu merah untuk isinya. Unrated istilahnya kalau di film. Tapi di novel saya tidak pernah mendapatkan label itu. Hanya saja ketika berdiskusi dengan teman-teman saya jadi tahu yang mana saja novel-novel yang unrated menurut mereka.
Menurut saya, sebenarnya tidak masalah kita membaca novel yang manapun asalkan diri kita telah terproteksi dengan antivirus yang kuat. Tidak ikut-ikutan membayangkan apa yang ada di dalam novel. Membacanya sebagai perbandingan dengan novel yang lain dan melihat kelebihan dari novel tersebut. Biasanya karya-karya seperti itu mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari berbagai ajang sastra bergengsi di negeri ini.
Tapi kalau tidak ada filter yang kuat? Maka siap-siaplah virusnya menyerang pertahanan tubuhmu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika karya seperti itu dibaca oleh anak-anak SMA yang masih dalam masa transisi? Tidakkah itu akan merusak moral?
Kemudian peserta lain bertanya, “Kalau karya yang seperti itu yang selalu mendapat penghargaan, bagaimana dengan karya sastra yang islami? Yang mencoba menulis tanpa mengumbar-ngumbarkan organ XXX. Kapan bisa menangnya?”
Ibnu lalu menjawab bahwa sebenarnya yang kita harapkan dari menulis itu bukanlah penghargaan ini itu. Akan tetapi, manfaat yang kita tulis untuk pembacanya. Ada atau tidak? Apakah tulisan kita itu akan membuat orang menjadi lebih baik atau sebaliknya. Ibarat sedekah jariah, maka seperti itulah sebuah tulisan yang baik. Pahalanya akan terus mengalir bagi si penulis karena tulisannya.
Dimensi perjuangan menulis lainnya adalah kesadaran bahwa menulis adalah sebuah laku moral. Kesadaran bahwa menulis adalah kanal untuk berkomunikasi dengan orang lain, sehingga setiap huruf yang ditulisnya akan membawa pertanggungjawaban. Karenanya, menulis bermakna tak sekadar ekspresi tetapi juga berbagi. Inilah jalan perjuangan para guru dan pemikir yang telah membagi sekaligus mengabadikan ilmu dan ide-idenya dalam tulisan. Mereka lah para pejuang pena. (Tarbawi)
kojack says
pengen dech bergabung ke forum lingkar pena….
pengen lebih mendalami tulis menulis juga.
anyway, saya setuju banget. menulis untuk pembaca 🙂
Fahrie sadah says
Ya setuju, menulis bukan soal penghargaan, tapi membagi informasi dan pengetahuan^^
Haya Nufus says
Setuju menulis adalah sebuah laku moral… jadi yok nulis yg bagus dan bermoral. 🙂 salam kenal ^^
auraman says
alhamdulillah kabar saya lagi tahap penyembuhan mbak, hehe. nama saya itu auraman bukan auman haha, agar tidak kaku dalam blogging makanya saya usahakan tetap ngeblog meskipun dalam keadaan kurang vit hehe.
Ummul Khairi says
*give me five
saya setuju! teringat novel kcb 2 bagian akhir, ketika anna dan azzam melaksanakan ibadah suami istri, kang abik tetap menghaluskan bahasanya meski maksudnya lugas dan to the point. inilah mengapa aqidah harus masuk dalam segala aspek 🙂