Memasuki bulan ke 7 atau minggu ke 28 kehamilan, saya dikejutkan oleh telepon dari mertua yang ingin memastikan kapan mereka bisa datang ke Tangse untuk jak mee bu (membawa nasi) atau keumaweuh. Sungguh tidak terasa kalau janin di rahim saya sudah tujuh bulan usianya. Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh khususnya keluarga suami untuk mengantarkan nasi dan buah-buahan bagi istri yang sedang hamil anak pertama. Tradisi inilah yang disebut dengan keumaweuh atau tradisi tujuh bulanan di Aceh.
Sebenarnya, saya merasa sedikit berat hati menjalani tradisi ini. Bukan karena saya anti dengan adat keumaweuh, bukan sama sekali. Saya malah senang sekali ketika keluarga suami datang ke rumah dan membawa aneka makanan dan buah-buahan. Bisa makan besar tentunya. Namun, yang membuat diri ini sedih adalah suami tercinta belum bisa kembali dari perantauan pada hari yang sakral itu. Ketika mertua perempuan melakukan peusijuk, langsung saja air mata ini keluar. Padahal entah apa yang ditangisi toh sebentar lagi si dia juga pulang.
Lebih dekat dengan Tradisi Tujuh Bulanan di Aceh
Meskipun sama-sama orang Aceh, tetapi saya dan suami berasal dari kebupaten yang berbeda. Saya dari Pidie dan suami dari Aceh Besar. Beda tempat tinggal, beda pula adat istiadatnya. Jika di Pidie, sangat banyak adat istiadat yang dilakukan untuk menyambut anak pertama. Mulai dari tiga bulan kehamilan sampai tujuh bulan, tergantung dari kesanggupan sang empunya hajatan. Dan saat menyambut tujuh bulan kehamilan, seluruh makanan dibawa oleh pihak suami ke rumah istri lalu disantap bersama-sama.
Lain halnya dengan sebagian penduduk Aceh Besar. Ketika keumaweuh tiba, maka pihak suami akan menyerahkan sejumlah uang ke orang tua istri untuk memasak apa saja yang disukai oleh sang ibu hamil. Lalu ketika tiba hari H, keluarga suami hanya membawa makanan lain seperti ketan, keukarah, bhoi, wajeek, rujak, dan buah-buahan. Jika membawa nasi dan lauk-pauk yang telah dimasak, ditakutkan akan basi apalagi perjalanan yang ditempuh lumayan jauh.
Oleh karena itu, maka sehari sebelum menyambut datangnya mertua untuk mee bu gateng, istilah lain untuk keumaweuh, mamak dan para tetangga mulai sibuk menyiapkan aneka masakan. Ada yang membuat timphan dan kue-kue basah lainnya, ada yang menggiling bumbu untuk memasak lauk, ada yang membersihkan ayam dan bebek, dan lain-lain. Pokoknya semuanya sibuk, termasuk saya yang sibuk mencicipi setiap masakan tersebut.

Nyak Wa Marlaini sedang menyiapkan daun untuk membuat timphan. Pisang yang tergantung juga akan digunakan untuk membuat kue tradisional khas Aceh ini

Ada juga yang bertugas menggiling bumbu untuk memasak daging dengan batu giling. Para tetangga di kampung lebih suka menggiling dengan batu dibandingkan dengan menggunakan blender, rasanya lebih enak, begitu alasan mereka. Walaupun sedikit melelahkan asalkan masakan yang mereka masak enak di lidah, itu sudah cukup membuat mereka bahagia

Kak Mi dan Cek Ni mendapat tugas membersihkan ayam dan bebek. Bulu-bulu ayam dan bebek yang baru dipotong mereka bersihkan dengan menggunakan air panas. Sangat telaten
Pagi hari sebelum rombongan datang, para tetangga yang sebelumnya telah banyak membantu juga kembali hadir. Diantara mereka ada yang membungkus nasi dengan daun pisang, menyiapkan aneka hidangan, dan juga menyambut beberapa tamu undangan yang datang. Rombongan mertua baru datang pukul setengah satu siang.

Pagi hari sebelum tamu datang, Po Chen dan Kak Yan membungkus nasi dengan daun pisang tua yang telah dipanaskan di atas api. Nasi dibungkus berbentuk piramid. Rasa nasi yang dibungkus dengan daun pisang lebih enak dan harum
Saya dan jabang bayi pun dipeusijuk oleh Mak Di, sepupu mertua perempuan dan juga orang yang dituakan dalam rombongan tersebut. Lalu seluruh keluarga yang hadir baik itu dari pihak suami maupun kerabat saya sendiri menyalami saya satu persatu. Eits, salamnya bukan dengan tangan kosong melainkan salam tempel. Sempat terbesit dipikiran, seandainya setiap bulan ada tradisi seperti ini. Bisa makan enak dan dapat salam tempel pula 🙂
Setelah prosesi peusijuk selesai, para rombongan menikmati aneka masakan. Saya pun ikut serta dengan mereka. Hanya saja, makanan yang saya makan tidaklah sama. Ada bakul khusus yang disiapkan mertua untuk saya cicipi.
Begitulah tradisi tujuh bulanan di Aceh atau keumaweuh yang telah menjadi adat turun temurun pada masyarakat Aceh. Selain untuk menyenangkan sang ibu hamil, tradisi ini juga berfungsi untuk meningkatkan silaturahmi antara keluarga istri dan suami. Eits tak hanya itu, wanita yang sedang hamil kan memerlukan nutrisi yang tinggi untuk dirinya dan jabang bayi, jadi dengan adanya acara keumaweuh ini diharapkan gizi sang ibu dan bayi tercukupi sehingga keduanya selalu sehat sampai perslainan tiba.
variasi makannya banyak ya mbak untuk acara tujuh bulanan. ada mie aeh gak? hehehe
Wah seru banget Za. Klo disini biasanya acaranya siram-siraman sama doa-doa. Yang masak ya bareng2 hahaha
keles kali. -_____-
wee, pengen lah saya makanannya.
Ngiler liat makanannya, jd pengen.
Banyak banget yang di piring itu, Kak. Ada telor asin juga rupanya. . .
Maunya yang ditempel itu tebel2, ya. Hahahaha
Hampir sama dengan tradisi di jawa. Acara nuju bulanan ^^
Kalo lihat makanan yang dihidangkan itu, wah.. kayak acara intat linto atau tueng dara baroe ya
Pengen ku sadap semuanya. makanannya enak2 kali, hmhm. pasti yang buatnya para ibu2 cantik…
Tradisi yang banyak juga ditempat lain tapi beda2 namanya 🙂
Aduuuh bu kulahnya menggoda seukeuleees 🙁
Ternyata peringatan tujuh bulanan juga ada di Aceh. Selama ini yang saya tahu hanya ada di Jawa. Bagus liputannya.
Makasih mas sudah berkunjung..:)
wahhh enakk tuh banyak lagi..hehe
Beda daerah beda tradisi 7 bulanan ya. Di rumah juga ada tradisi 7 bulanan gitu. Ada proses mandiin calon ibu dan calon ayah juga. Sambil ngasih salam tempel. Cuma kabarnya salam tempel nya nggak diambil si calon ibu. Entah gimana benernya. Belum pernah soalnya. Hehehe
Kalo di palembang, rasanya nggak ada tradisi tujuh bulanan. Ini kayak di Jawa ya kalo aceh. Mirip. Seru juga berkenalan dengan budaya baru. Excited.
Kalau di daerah ku, sebagian masyarakatnya udah pindah nggak pake tradisional 7 bulanan lagi, Kak, tapi acara 4 bulanan yg diisi dengan pengajian dan pembacaan surat Yusuf dan surat Al Luqman 😊 cuma ya kadang masih ada yg pake acara siraman 😁
Seru sekali ya sama tradisi 7 bulanan ini. Semacam doa supaya kelak si bayi lahir demgan selamat. Duh, jadi pengin coba semua makanannya
Saya malah fokus ke para perempuan yg mengenakan kain sarung dan sedang membersihkan ayam.
Cara memakai sarungnya mirip dengan keseharian perempuan di Lombok.
Kemiripan lainnya, keyakinan kalau bumbu masak lebih sedap jika diulek manual, tidak pakai blender. Padahal tangan perempuan jaman now, gampang bener pegel yak kalau ngulek manual 😀
Kalo di daerahku, acara tujuh bulanan ini disebut posipo. Ahh lihat foto-foto di artikel ini jadi ingat acara tujuh bulananku tahun 2011 lalu
Ohhh kalau disana 7bulanan yaaa, kalau ditempatku per 3 bulan gitu, jadi 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan baru 1 tahun gitu.. Wahh menarik nih
Seruuuu banget ya kayanya 😍 intinya acara ini memberikan kesempatan untuk ibu dan bayi mendapatkan banyak doa doa baik dari orang tersayang dan masyarakat sekitar.