Kejujuran adalah sebuah fenomena, sebagaimana UN (Ujian Nasioanal) adalah sebuah fenomena. Keduanya adalah fenomena yang unik. Karena di suatu sisi, UN dengan segala polemik yang terjadi di dalamnya, tetap disahkan oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu tolak ukur kecerdasan intelektual siswa. Sedang kejujuran, di satu sisi dibela, sedangkan di sisi yang lain diinjak-injak.
Inilah fenomena yang dapat kita saksikan sekarang. Saat ujian nasional yang mestinya dijadikan sebagai ajang evaluasi kemampuan siswa setelah mengecap pendidikan sepanjang hitungan tahun, justru menjadi arena pertunjukan pendidikan Indonesia yang menggelikan sekaligus mengiris. Mulai dari kasus bocornya soal, pencurian soal oleh kepala sekolah, hingga kunci jawaban yang beredar di kalangan peserta ujian. Ironisnya, perbuatan yang sudah jelas salah itu bukannya dihentikan malahan sebagian besar pihak yang memiliki otoritas dalam masalah ini memilih bersikap apatis, atau bahkan mendukung, meskipun tidak secara terang-terangan.
Lebih tragisnya lagi, pihak yang menentang atau mencoba jujur dan bersikap murni dalam pelaksanaan UN ini justru dianggap sok bersih, diejek, dan dijadikan cemoohan. Akibatnya, siswa yang jujur justru yang paling banyak mengalami tekanan. Sedangkan pihak-pihak yang berbuat curang justru melenggang santai dengan dukungan dari banyak pihak; pengawas, kepala sekolah, guru-guru, bahkan orangtuanya sendiri. Lantas dimanakah yang dinamakan kebenaran? Apakah kebohongan dan kepalsuan lebih layak didukung dari pada kejujuran dan sikap bersih?
Sangat disayangkan, sekolah yang harusnya menjadi dasar pembentukan moral dan budi pekerti yang baik, justru menjadi salah satu pionir kerusakan moral. Di satu sisi guru mengajarkan kejujuran dan menyuruh siswa menjauhi segala bentuk kejahatan seperti mencuri, berdusta, dan korupsi dalam pelajaran PPKn, Pendidikan Agama, ataupun dalam wacana sehari-hari. Namun saat pelaksanaan UN ini berlangsung, guru malah dengan santainya menganjurkan siswa mencontek, membagi kunci jawaban, dan mencari bocoran soal dengan segala cara. Padahal, bukankah dengan mencontek berarti siswa sudah melakukan satu kebohongan? Ia mengklaim bahwa hasil yang tertera di kunci jawaban itu adalah miliknya sendiri, padahal sepatutnya nilai itu dibagi dua dengan teman di sebelahnya. Bukankah dengan mencari bocoran soal sebenarnya ia telah melakukan pencurian rahasia negara? Apakah mencontek dan mendapatkan bocoran bukan merupakan salah satu bentuk korupsi?
Memang ini sebuah polemik. Di satu sisi pemerintah ingin mencetak generasi-generasi cerdas yang mempu menembus standar kelulusan. Namun di sisi yang lain, tanpa sadar pemerintah telah mencetak siswa-siswa yang memiliki jiwa kerdil; jiwa koruptor, jiwa pengecut, dan jiwa maling kelas teri. Pemerintah terus maju dengan menaikkan standar kelulusan dari tahun ke tahun, tanpa menyempatkan diri melakukan evaluasi; siapkah siswa untuk menembusnya, sedang fasilitas dan SDM guru yang tersedia sangat minim? Apa sajakah efek dari tekanan standar kompetensi ini terhadap psikologi siswa? Dan apakah kenaikan standar kompetensi ini benar-benar efektif dalam memacu pendidikan Indonesia?
Sayangnya, pemerintah kita tidak berpikir sejauh itu. Pemerintah Indonesia hanya ingin mengejar nama besar di mata dunia Internasional. Yah, nama besar yang ditunjukkan dari standar kelulusan. Bayangkan saja, jika dilihat dari skala internasional pendidikan Indonesia pun sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan, pada pemeringkatan tertinggi sekolah-sekolah global Indonesia dan beberapa negara di Afrika menduduki peringkat ke delapan dari bawah (sumber BBC Indonesia, Mei 2015)
Akhirnya pemerintah berbuat nekat. Maju untuk menyaingi negara-negara lain walau tanpa data lapangan yang valid dengan menetapkan standar kelulusan di atas kemampuan anak didik. Maju walau banyak siswa yang depresi, membakar sekolah, bahkan sampai bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian nasional. Pemerintah ingin terus maju. Ibarat orang balapan kuda. Ia naik kuda yang sudah tua, kelaparan, dan sakit. Ia berharap dapat jadi juara dengan mencambuk kudanya agar terus lari sekencang-kencangnya. Tapi apa yang ia dapat? Kudanya malah mati. Dan ia tidak pernah sampai ke garis finish, apalagi jadi juara. Dan inilah yang akan terjadi jika pemerintah terus memaksakan ‘kudanya’ berlari tanpa persiapan yang memadai.
Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Pemerintahan Indonesia dituntut oleh pihak internasional untuk meningkatkan standar pendidikan secara tidak langsung. Kemudian pemerintahan pusat menuntut pemerintahan daerah, pemerintah daerah menuntut setiap sekolah, dan setiap sekolah menuntut para siswanya untuk bisa maju dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan tersebut. Pada akhirnya, pihak-pihak yang terkait tersebut kelabakan dan menggunakan segala cara agar standar itu bisa terpenuhi.
Yang menyedihkan, cara-cara yang ditempuh tidaklah sepenuhnya bersih. Memang, pemerintah telah mensubsidi dana untuk pendidikan yang jumlahnya tidak sedikit. Akan tetapi, masih ada saja pihak-pihak yang mengkorupsi dana tersebut sehingga sarana dan prasarana sekolah tidak pernah memadai. Kemudian dari segi pendidik alias guru. Para cek gu itu memang setiap hari mengajar, tetapi apakah semuanya mengajar dengan sepenuh hati sehingga para anak didiknya bisa menerima segala yang diajarkannya? Tidak. hanya segelintir guru yang demikian. Sedangkan yang lain hanya mengejar kurikulum yang telah ditargetkan, setelah selesai, selesai pula urusan mereka dan kalau ujian nasional tiba maka mereka akan memberikan jawaban cuma-cuma kepada siswa. Kalau siswa banyak yang lulus ujian, itu akan membuktikan kualitas mereka. Selanjutnya dari segi siswa, mereka dengan seenaknya menjadikan siswa yang lain yang lebih pandai sebagai gacok untuk membantu mereka dalam menempuh ujian. Sangat sedikit di antara mereka yang mau berlaku jujur.
Sekarang, dimanakah kejujuran itu akan kita dapatkan? Setelah tempat yang mengajarkan kejujuran itu tidak lagi berlaku jujur? Apakah ini bertanda semakin muramnya masa depan Indonesia, karena apa yang dilakukan oleh generasinya saat ini sangatlah memalkan bangsa. Mahatma Gandhi pernah berkata “the future depends on what we do in the present”. Oleh karena itu, marilah kita merubah semua tatanan pendidikan kita yang tidak baik menjadi baik untuk masa depan negara tercinta ini.
m_4321_na says
Mina dukung Kak Liza!!!
Bagaimana negara bisa maju kalau kejujuran tidak ada?
Bagaimana mau berhasil kalau yang di dapat bukan murni hasil sendiri? Bukankah rugi mendapat nilai tinggi tetapi bukan hasil sendiri. Seharusnya kita sebagai pelajar malu dengan nilai tinggi milik orang lain itu. Jalan pintas memang selalu ada dan menggoda, tapi dia hanya akan membawa kepada lubang besar yang
liza fathiariani says
maksih ya mina,..sorry bgt balasnya baru sekarang,..pakabar dek?
Asep Setiawan says
Kejujuran belajar selama 3 tahun hanya ditentukan dalam waktu 3 hari.
hehhe
putri says
Benar mbak, dari dulu sampai sekarang tetap gitu2 aja sistem pendidikan di Indonesia, malah ngajari siswanya untuk berlaku tidak jujur,jadi wajar kalo nanti jadi pejabat pasti korupsi…
Miqdad says
iya nih… pendidikan kita harus di benahi lebih baik lagi… tapi klo udh berjalan bgni agak berat untuk merubahnya… memerlukan kesadaran diri tingkat tinggi… wkwkwk…
Liza Fathia says
Benar, tapi setidaknyaa kita mencoba
rahmattrans says
Bicara masalh ini terlalu komplek sekali masalahnya. Sperti rantai yang saling terhubung. Mulai kecurangan dari siswa/i sendiri, panitia UN, pihak sekolah, pejabat pemerintah daerah dan lain-lain. Tidak semudah membalikkan tlapak tangan utk mengubahnya… butuh wkt dan kerja keras tentunya,,
lion5tudio | Photobooth Murah says
Terima kasih
Liza Fathia says
sama-sama