Awal-awal tinggal di Blangpidie, Aceh Barat Daya, saya sedikit kesulitan menemukan tempat kuliner lezat di Nanggroe Breuh Sigupai ini. Kepingin makan gulai kepala ikan kakap, tapi enggak tahu dimana. Saya hanya melihat warung atau rumah makan biasa seperti rumah makan Padang atau warung nasi plus ayam bakar atau penyet serta rumah makan “biasa” yang kerap saya temukan di wilayah lain di Aceh. Kalau semuanya sama, lantas dimana khasnya?
“Nanti Meri aja Liza makan di depan Hotel Grand Leuser,” ucap Meri saat mendengar keluhan saya tentang makanan di kampung halamannya.
Nikmatnya Gulai Kepala Ikan Kakap di Blangpidie
“Rumah makannya biasa aja, tapi pejabat-pejabat atau tamu-tamu penting sering diajak makan kesana.” Teman saya mencoba meyakinkan saya.
“Tenang, Meri traktir deh.” Tambahnya lagi seakan bisa membaca pikiran saya. Memang, teman saya ini tidak pernah neko-neko soal traktir mentraktir apalagi untuk teman sekantornya yang masih berstatus capeg ini. Hehehe.
Hari itu, ketika istirahat siang tiba, saya dan Meri serta teman-teman di kantor memutuskan untuk makan siang di tempat yang pernah dijanjikan oleh teman saya itu. Ternyata, rumah makan itu terletak tepat di depan hotel Grand Leuser Abdya dan tidak jauh dari rumah kontrakan saya. Bangunan rumah makan itu tidak mecolok dan tidak ada papan namanya, maka wajar saja kalau saya tidak tahu tempat makan tersebut. Namun, ketika kami memasuki rumah makan yang dindingnya terbuat dari bambu tersebut, kami harus antri untuk mendapatkan tempat duduk. Mobil-mobil berplat hitam dan merah terpakir berjejeran di pinggir jalan.
Setelah mendapatkan meja dan mengambil posisi untuk duduk, pelayan rumah makan itu langsung menghidangkan seluruh menu makanan yang ada di warungnya. Ada gulai kepala ikan kakap, ikan kerapu panggang, ikan gembung panggang, ikan kakap asam keueng (asam pedas), ayam goreng, sambal udang, gulai pliek u, sayur asem, dan beragam menu lainnya.
Mata kepala ikan kakap seakan melototi ke arah saya tepat ketika saya mulai galau hendak mencicipi menu makanan yang mana. Kuah santannya yang kental sunggung menggugah selera.
“Ambil terus, Liz. Gulainya enak kali. Meri kalau kesini selalu pilih kepala ikan.” Meri seperti bis membaca pikiran saya.
Baiklah, mangkuk berisi kepala ikan kakap besar kini mendarat tepat di depan piring nasi saya. Setelah membaca basmalah, nyam nyam nyam, gulai kepala ikan kakap itu pun memasuki organ pencernaan saya. Rasanya? Daging ikan kakap yang masih segar itu terasa manis di lidah. Begitu pula dengan kuahnya, bikin nasi sepiring rasanya enggak cukup. Ditambah lagi dengan gulai pliek yang lezat. Jika tidak mengingat badan yang semakin melar, sudah saya pesankan lagi sepiring nasi tambah.
Setelah melumat habis daging yang ada di kepala ikan kakap tersebut sehingga yang tertinggal hanyalah tulang belulang dan mata yang tadi melototin saya, maka saya akui, rumah makan yang direkomedasikan Meri memang tiada duanya. Soal harga tidak menjadi persoalan jika makanan yang ditawarkan pas di lidah serta kesana juga ditraktir oleh teman.
Idah Ceris says
Matanya ngga dilahap saja, Kak? 😀 Enak, lho.
Liza Fathia says
ikut dilahap gak ya? kayaknya semua masuk mulut deh, kecuali tulang sama ekor 🙂 hehe
Moersalin says
lebih enak ikan sure…
ILYAS AFSOH says
kayaknya gurih … tapi kurang suka dengan daging bagian kepala
Public Speaking Semarang