Jika berbicara tentang perubahan sosial dan dampaknya terhadap perempuan, saya jadi teringat tentang masa-masa belajar di bangku sekolah dasar di desa Pulo Mesjid II Kecamatan Tangse. Kala itu tahun 90an. Saban paginya saya berangkat ke sekolah dengan bulu kuduk yang berdiri tegap. Tangse saat itu sangatlah dingin. Meski jam telah menunjukkan pukul delapan kurang, matahari tetap malu-malu menampakkan diri di belakang kabut putih. Namun itu tidak menyurutkan semangatku dan teman-teman untuk berangkat ke sekolah sambil menyila kedua tangan di dada untuk menghangatkan badan.
Tidak hanya kami; anak sekolahan yang harus berangkat pagi-pagi menuju sekolah, para petani pun sudah beranjak dari rumah setelah shalat subuh ditunaikan. Hampir seluruh masyarakat di kampungku bermata pencaharian sebagai petani. Bisa dihitung jari mereka yang menjadi abdi negara atau berwiraswasta. Selebihnya, cangkul dan sabitlah alat kerja mereka.
Waktu itu sedang musim seumula; sebuah istilah yang digunakan untuk menanam padi di sawah. Di pagi yang dingin itu, saya hanya melihat beberapa kaum adam yang menyertai puluhan perempuan. Tujuan para pemimpin keluarga itu bukanlah untuk seumula, melainkan ke gunung untuk berladang dan menanam kopi. Tugas mereka di sawah sudah selesai meski belum sepenuhnya rampung. Membajak, mengairi, dan memanen padi adalah jatah para lelaki. Sedangkan seumula dan mengangin-anginkan padi yang telah dipanen, itu pekerjaannya perempuan.
Anak-anak yang masih kecil mereka titipkan pada sanak famili atau tetangga yang tidak ke sawah. Beberapa teman-temanku yang perempuan sering tidak hadir ke sekolah saat musim seumula dimulai. Bocah itu absen bukan karena ikut ibunya untuk menanam padi, tetapi mereka mendapatkan jatah menjaga adiknya yang masih kecil di rumah sedang ibunya berangkat ke sawah. Entah itu ke sawah sendiri atau tueng upah (bekerja) di sawah orang lain. Sikap gotong royong semacam ini sudah lazim di kampung saya. Perempuan dan laki-laki saling membantu untuk menggepulkan asap di dapur mereka.
Meski subuh-subuh sudah berangkat ke sawah, tak lupa para ibu-ibu tersebut menyiapkan kopi dan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Makan siangpun sudah disediakan sehingga jika telat kembali dari sawah, anak-anak dan suami mereka tidak kelaparan. Kepatuhan terhadap suami sebagai imam dan bakti mereka sebagai ibu tetap dilakoni para petani itu.
Memang begitulah pemahaman perempuan-perempuan hebat itu. Sebagai istri, dia diwajibkan patuh kepada suami yang menafkahinya dan tentu saja jika suaminya adalah juga patuh kepada TuhannNya. Sebagai anak dia diwajibkan patuh kepada ayahnya yang membuatnya gembira selalu dengan aneka barang dan kesenangan. Tetapi sekalipun selalu di belakang laki-laki, wanita tidak pernah direndahkan karena sebuah kalimat sakti : surga itu di bawah telapak kaki ibu.
Teman-temanku pun tak sungkan-sungkan membantu ibunya ke sawah saat hari libur tiba. Bahkan di antara mereka ada yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak memiliki biaya akhirnya ikut menjadi petani. Tak jarang, pada usia yang masih belasan tahun mereka sudah dinikahkan dan menjalani hari-hari seperti yang dilakukan ibunya.
Sedangkan perempuan dari golongan menengah dan atas umumnya tidak bekerja dan memanfaatkan waktu untuk mengasuh anak di rumah. Anak-anak perempuan dari kalangan ini banyak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga banyak di antara anak-anak itu yang mendapatkan pekerjaan dan posisi bergengsi.
Namun sekarang, perubahan pesat telah terjadi di kampungku. Regenerasi petani sudah tidak sebanyak saat saya kecil dulu. Istilah jika orang tuanya petani, anaknya pasti petani rasanya tidak berlaku lagi. Perempuan-perempuan yang menamam padi di sawah dan mengangin-anginkan padi yang telah di panen rata-rata sudah paruh baya. Hanya satu dua yang umurnya belia. Pernikahan dini pun mulai jarang terjadi. Rata-rata mereka menikah pada umur di atas delapan belas tahun. Kemana mereka para wanita muda itu?
Usut punya usut, ternyata mereka berhijrah ke kota. Tidak hanya mereka berasal dari kalangan menengah dan atas yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Tetapi mereka yang berasal dari keluarga petani tidak sedikit pula yang melanjutkan pendidikan meski hanya di ibukota kabupaten. Tak jarang orang tua mereka menggadaikan sawah untuk biaya pendidikan anak-anak perempuannya. Tidak masalah harta habis yang penting anak-anak mereka bisa sekolah dan tidak menjadi petani seperti yang orang tuanya alami. Begitu prinsip yang mereka tanamkan.
Selain itu, tidak sedikit pula yang menjadi pembantu rumah tangga. Kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah yang ingin memperbaiki perekonomian keluarga dengan berkerja di kota. Bahkan ada pula yang menjadi tenaga kerja keluar negeri dengan mejadi TKI. Menjadi petani upahnya hanya sedikit, begitu asumsi mereka. Sedang menjadi pembantu rumah tangga gajinya lebih tinggi. Begitupula dengan menjadi TKI, upah yang mereka dapatkan berkali-kali lipat.
Padahal, untuk bekerja di luar negeri tidaklah mudah. Banyak yang harus diurus seperti pasport, surat-surat, dll. Penghasilan yang tinggi itu pun tidak serta merta menjadi milik mereka melaknkan masuk ke dalam devisa negara sebagiannya. Belum lagi dengan berbagai kondisi yang harus dihadapi oleh para tenaga kerja tersebut, seperti intimidasi atau pun tindak kekerasan yang dilakukan oleh majikan. Untuk pulang ke tanah air pun tidak sedikit biaya yang mereka butuhkan. Namun, keinginan untuk memperbaiki perekonomian dan taraf hidup tidak menyurutkan mereka untuk tetap pergi ke luar negeri.
Sehingga tidak heran jika ketika musim seumula tiba tetaplah perempuan tua yang dengan pakaian lusuhnya subuh-subuh berangkat ke sawah. Tidak ada yang berusia belia. Karena anak gadis mereka kini sedang menuntut ilmu atau bekerja di kota.
Saya rasa, hal ini tidak hanya berlaku di Tangse melainkan di seluruh pelosok negeri ini. Kesadaran akan pentingnya pendidikan telah merambah ke semua lapisan masyarakat. Buktinya jika dibandingkan 20-30 tahun yang lalu, wanita di negara kita sudah sangat pesat mengalami perbaikan status dan kesempatan mengenyam pendidikan. Bukankah kaum wanita mempunyai kesempatan yang sama besar dengan kaum pria untuk mendapatkan pendidikan dan berpartisipasi di dalam proses pembangunan seperti diatur dalam UUD 1945?
Seiring berkembangnya pengetahuan dan tingginya kesempatan mendapatkan pendidikan, masalah pengambilan keputusan dalam keluarga juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dulu, suami atau ayah adalah decision maker dalam keluarga, istri atau ibu mendukung dan anak-anak harus patuh. Sekarang terjadi pergeseran, sebab kaum perempuan yang terdidik mulai ikut bersuara, dan dalam periode tertentu, ayah hanya mendukung.
Namun, perubahan sosial yang pesat terjadi sebenarnya tidak cukup banyak mengubah pandangan tentang wanita dan penghargaannya dalam masyarakat. Perempuan tetap menjadi penanggung jawab pengasuhan anak dan tidak ada yang menentang sebab hal ini adalah kodrat. Dukungan keluarga besar di dalam masyarakat menyebabkan pengasuhan anak seakan menjadi tanggung jawab bersama. Karena ibu adalah guru bagi kehidupan anak-anaknya. Sehingga sepesat apapun perkembangan yang ada, peran perempuan sebagai ibu dan istri tetap tidak tergantikan.
Edwin Mirfazli says
Hmmm katanya lagi nggak ‘mood’ tapi meskipun nggak ‘mood’ goresannya ‘sangat memuaskan’ btw kalau lagi ‘mood’ bisa ‘cum laude’ kali ya dek Liza… 🙂
Hanya Senja says
tulisannya bagus bgt,,, sama seperti di kampungku dulu,,,, sekarang bnyak anak2 yg telah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi,,,,,
Lidya says
thanks untuk tulisannya mbak , jadi dapat penyegaran
hanna says
nice share…