“Waktu kerja di Jogja dulu, abang sarapannya apa?” tanya saya suatu waktu ke suami saya, “nasi kucing tiga bungkus”, jawab suami singkat, “lho, kenapa banyak sekali?” tanya saya pensaran, soalnya suami saya kan sarapan pagi tidak banyak-banyak sekali. “Ya iyalah, bungkusnya kecil, paling lima suap udah abis”, jelas suami. Kali ini saya hanya bisa mengangguk, tapi karena masih penasaran, saya tanyalah ke paman bing (jangan om google atau mbak yahoo selalu), seberapa besar sih nasi kucing itu. Ternyata oh ternyata, emang kecil sih, tidak heran kalau suami saya makan sampai tiga bungkus sekali makan.
“Nasinya biasa saja, tapi pas dilidah sumatra, soalnya ada sambel-sambelnya, makannya pakai tempe atau gorengan lain, enaklah rasanya”. Jelas suami melihat saya masih penasaran. Kalau sudah cerita makanan saya jadi kepingin coba, secara waktu di Jakarta kemarin saya di “asramakan”, jadinya tidak bisa mencicipi makanan dari luar. “kalau sama nasi bungkus, bedanya apa?” tanya saya masih penasaran. Ya nasi bungkus yang saya maksud adalah nasi bungkus yang biasa di jual di warung-warung kopi di Aceh. Ya beda jauh lah, setahu abang, nasi kucing itu cuma satu jenisnya, kalau nasi bungkus kan banyak.
Nah, meski nasi bungkus yang di Aceh sekilas sama dengan yang di pulau jawa, tapi “kontennya” bisa dibilang berbeda, setidaknya begitulah menurut observasi suami. Pertama bungkus Aceh banyak jenisnya, ada nasi biasa, nasi gurih, nasi kuning, bahkan nasi goreng. Kedua isinya, ada ayam, telur, ikan, dan favorit suami saya, keumamah, “kalau keumamah bisa dipastikan tidak ada lah dalam nasi kucing atau nasi bungkus pulau jawa”, jelasnya. Lha, apa pula itu keumamah?
Nah, keumamah ini sebenarnya ikan tongkol yang di keringkan, dijemur pakai tepung hingga sangat keras, sangking kerasnya, ada juga orang luar yang menyebut ikan ini sebagai “ikan kayu”, karena memang kalau sudah kering dan disusun berjajar saat dijual, kadang mirip kayu bakar. Tapi, meski awalnya keras, setelah di masak, biasanya di tumis atau dibuat kuah lemak, ikannya jadi empuk dan jadi enak sekali di makan. Nah, suami saya juga yang termasuk hobi makan nasi bungkus yang ada keumamahnya di warung, “kadang udah sarapa di rumah, tapi kalau pas ke warung liat nasi bungkus dengan menu keumamah, nafsu makan jadi balik lagi” jelasnya suatu waktu. Ya kalau sudah makan seperti ini, biasanya makan siang bakal telat, ya iyalah, makannya udah dijamak takdim, seperti waktu berstatus mahasiswa dulu, dimana makannya di jamak saat ketemu makan banyak.
Nah, kalau ke Aceh, sempatkan diri ke warung kopi ya!, kalau suka minum kopi, silakan pesan langsung kopi Aceh, kalau tak sanggup, bisa juga pesan sanger. Untuk sarapan, cari aja nasi bungkus yang ada ikan kayu alias keumaman ini. Dijamin rasanya maknyus., eh, gara-gara nulis ini, koko jadi lapar ya? Padahal baru siap makan 🙂
mawi wijna says
Hmmm, menarik. Kalau di Jogja yang paling mirip paling nasi kucing dengan isi sambal teri. Harganya berkisar Rp1.500 – Rp2.500 per bungkus, tergantung posisi penjualnya dekat pondokan mahasiswa atau jalan besar. 😀
Kalau keumamah di Banda Aceh harganya berapa ya?
Liza Fathia says
5000an mawi
Mugniar says
Pengen coba. Sebelum ditumis, ikannya ditumbuk dulukah, Liza?
Aiih kapan bisa ke Aceh, ya .. pengeen 🙂
Liza Fathia says
Enggak kak, ikan keumamah itu adalah tongkol yang diasapi. Lalu dijemur dan di rajang halus
meutia rahmah says
kalau di aceh ada bu prang za, harganya 3000 atau 4000 lah gitu, isinya juga ngak banyak 🙂
Liza Fathia says
Betul tia, ini bang tunis yang tulis. Udah liza bilang namanya bu prang tapi tetap aja nasi bungkus menurutnya
Moersalin says
di gampong lon yang na cuma bu bungkoh, kamoe hana galak meuprang 🙂
Cut Inong Mutia says
Aaa, kan jadi pengen makan keumamah deh 🙂
inunrzh says
jadi lapeeer niiih… 😀
Liza Fathia says
Ayo makaan
wooclipmovie says
tak ada fotonya? saya mau lihat wujudnya hehe
tipkibags says
Kalo di Jakarta ada nasi uduk, hehehe