Cerita Penderita Kanker Laring | Terkadang saya merasa seperti disentil oleh pasien-pasien yang pernah kutangani. Sentilan halus namun cukup membekas di hati. Tidak secara langsung, memang. Tetapi sikap dan tingkah laku mereka membuatku benar-benar malu. Malu atas apa yang kulakukan saat ini. Malu pada diri yang selalu berusaha menyemangati orang lain tetapi sendiri semakin terjatuh dalam ketidakberdayaan.
Entah sebuah kebetulan atau memang rencana Tuhan agar saya selalu belajar. Hampir setiap bagian yang kulalui, saya selalu mendapatkan pasien yang jatah hidupnya diprediksikan tak lama lagi. Tetapi mereka seakan tidak pernah terbeban dengan kesempatan yang tinggal hitungan waktu. Rasa optimis akan hidup seribu tahun lagi, itulah yang kubaca dari raut wajah mereka.
Cerita Penderita Kanker Laring, Sebuah Sentilan Semangat Kala Keluh Kesah Selalu Melanda
Kanker. Sudah beberapa kali saya menangani pasien yang tubuhnya telah digerogoti tumor ganas itu. Begitu pula saat saya sedang menjalani kepaniteraan klinik di bagian telinga hidung tenggorok bedah kepala dan leher (THT-KL), saya mendapatkan pasien yang didiagnosa dengan kanker laring.
Sudah terbayang di benak bagaimana keadaan pasienku. Sel kanker itu pasti telah menyumbat saluran nafas dan mengenai pita suaranya. Dengan leher terpasang endotrakeal tube post trakeostomi dan suara yang nyaris tak ada lagi. Sangat menyedihkan, begitu pikirku.
Namun, kenyataannya tak seperti dugaan. Pagi hari saatk melakukan follow up pertama, pasienku-lelaki tua yang umurnya telah lewat setengah abad itu telah duduk rapi ditemani istrinya. Senyum merekah dari bibirnya saat melihatku datang menghampiri. Diulurkan tangannya menyalamiku.
“Bapak, saya Liza, dokter muda yang menangani Bapak,”jelasku yang diikuti dengan anggukan kepala. Memang dilehernya terdapat pipa endotrakeal yang berfungsi untuk membantu pernafasan karena udara yang masuk dari hidung tidak dapat melewati laring karena tersumbat oleh sel kanker. Ia pun tak bersuara karena pita suaranya juga dihinggapi massa yang terfiksir itu. Tapi keadaannya tak semenyedihkan yang kupikirkan.
Binaran matanya menunjukkan semangat yang menggebu. Meski tak bersuara, ia tetap mencoba berkomunikasi denganku dengan isyarat atau tulisan. Ketika kujelaskan tentang perkembangan penyakitnya, ia selalu mengangguk dengan semangat. Tak ada pancaran kesedihan di sana, hanya keinginan untuk sembuhlah yang membara.
Ketika dokter spesialis THT menyampaikan bahwa penatalaksanaan penyakitnya itu dengan cara mengangkat sel kanker dengan laringektomi (operasi pengangkatan laring) lalu dilanjutkan dengan terapi radiasi, dengan mantap ia mengangguk setuju.
“Resiko setelah operasi, Bapak akan tetap bernafas lewat lubang di leher dan ngga bisa ngomong seperti dulu. Jika tidak dioperasi, kankernya akan menyebar ke organ lain dan akan sangat berbahaya. Namun, setiap tindakan pasti ada resikonya. Apalagi ini operasi besar.” jelasku padanya dan istri yang setia menemani setiap saat. Kulihat wajah istrinya takut membayangkan proses yang akan dijalani suaminya. Namun tidak dengan sang bapak.
Pasienku itu tetap tersenyum. Lalu mengatakan dengan bahasa isyarat bahwa tak masalah kalau dia tak bisa bicara asalkan dia bisa makan dan beribadah seperti orang normal.
Dus, saya benar terharu dengan alasan yang diungkapkan dengan bahasa isyarat itu.
Berdasarkan instruksi dokter, kupersiapkan semua persyaratan untuk operasi termasuk ruangan intensive care unit (ICU) untuk perawatan pasca operasi. Karena operasi yang akan dilakukan adalah operasi besar yang melibatkan saluran pernafasan, monitoring ketat harus dilakukan baik ketika maupun setelah operasi dilakukan.
Operasipun sukses dilaksanakan. Dan yang membuatku serta konsulen-konsulen yang lain berdecak kagum adalah kondisi pasca operasi pasienku itu tidak seburuk yang kami pikirkan. Dengan cepat ia tersadar dari pengaruh bius dan hanya beberapa hari ia dirawat di ICU.
“Semangat yang tinggi ternyata berpengaruh sekali ya Dokter. Pasien ini membaik lebih cepat dari perkiraan kita,” ujarku pada konsulenku.
“Ditambah juga dengan doa,” kata sang dokter.
Hmm, lantas kenapa aku yang masih dikaruniakan kesehatan oleh Allah masih saja naik turun semangatnya? Mengapa sering sekali ragu atas kudrahNya? Bukankah dengan kehendakNya semua akan berlaku. Fa iza arada syaian an yakulalahu kun fayakun. Sudah seharusnya saya selalu semangat dan berprasangka baik padaNya.
Ps: Tulisan ini saya tulis saat saya masih berstatus sebagai dokter muda (tahun 2011).
Rindang says
Masyaallah, sebaiknya kita memang harus mencontoh semangat tinggi pasien yang ingin sembuh. Saya merasa terenyuh membaca cerita dari Mbak Liza, karena saya sendiri ketika tertimpa sakit kurang bisa sabar menghadapinya.
zefy says
Intinya mungkin sudah seharusnya kita selalu bersyukur terhada apa yang didapat dan terjadi dengan kita ya mbak. Salut dengan orang-orang yang seperti mbak ceritakan
Jiah says
Tidak ada yg gak mungkin ya, Mbak. Aku ingat beberapa cerita tentang sakit tertentu dan harapan sembuhnya sedikit. Tp krn yg sakit juga semangat buat sembuh, ada saja jalannya. Seberapa parahnya keadaan, semangat dr dalam diri bisa ngalahin segalanya
dian Farida Ismyama says
Kalau ketemu pasien kita jadi lebih bersyukur ya. Kadang juga ngeliat keluarga pasien yang dengan tekun dan ikhlas merawat pasien bikin aku jadi merinding. Semoga kita semua senantiasa diberi kesehatan. Aamiin
Natalia Bulan says
Memang untuk bersyukur terkadang kita harus ditampar dulu ya mbak sama apa yg ada di sekitar kita. 🙂
Peri Hardiansyah says
Sugesti yang positif akan menghasilkan energi yang positif juga, begitu juga yang sebaliknya. Sering melihat ke atas, sering pula melihat ke bawah. Nice mbak, sangad bermanfaat. 😀
ruziana says
bu dokter saat muda tentu pengalamannya nano nano ya
saya beberapa kali masuk UGD krn maag ditangani oleh dokter yg masih muda
melihat mereka sy selalu kagum
apalagi yg dinas di UGD malam hari
tak ada raut wajah capek
mereka luar biasa
dokterforamen says
Pengalaman tentang koass memang memberikan beberapa kesan tersendiri bagi kita, entah itu saat berhadapan dengan teman kelompok, konsulen, ataupun ke pasien sendiri. Aku jadi ingat waktu koass stase anak, pernah menghadapi pasien pneumonia yang tiba-tiba komplikasi ke hernia karena batuknya. Emosional sekali waktu itu, mendata semuanya dari follow up, nebulizer setiap waktu, bahkan pernah sampai menunggu bareng orang tua waktu dia harus dioperasi mendadak.
tukangjalanjajan says
Semangat untuk sembuh dan rutin melakukan pengobatan membuat tubuh tetap fit. Sugesti untuk sembuh dan dukungan semua orang jadi faktor penting. Semoga ilmu kedokteran yang semakin canggih membuat kanker dapat disembuhkan
dwi ananta says
Wah gak kebayang ya semangat hidupnya si Bapak. Jadi malu dengan diri sendiri. Yang kadang hanya masalah sepeleh sudah kepengen tenggelam di dalam bumi.
rosihandayani says
Nikmat mana yang kamu dustakan..Ya Allah jadikan kami hamab yang selalu pandai bersyukur. Aaamiin