Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: “sebuah Indonesia yang lebih baik” selamanya akan jadi sebuah janji – tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar. (Goenawan Mohammad)
Senin (17/03) yang lalu, saya bersama hampir tiga puluh pegiat media sosial yang berasal dari beberapa kabupaten di Aceh berkumpul di Hotel Kuala Radja. Di sana, kami mengikuti workshop tentang Peran Blogger dan Aktivis Media Sosial untuk Pemilu Aceh yang Demokratis. Yang namanya aktivis media sosial, tentunya beragam pula latar beragam pula latar belakang setiap peserta. Ada yang dari blogger, facebooker, jurnalis, dan lain-lain tapi semuanya memiliki hobi yang sama yaitu menulis. Acara ini diselenggarakan oleh Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), sebuah lembaga masyarakat sipil di Aceh yang fokus pada agenda perdamaian.
Di aula hotel yang terletak berhadapan dengan RSUDZA itu, Juanda Djamal yang menjabat sebagain Sekjen ACSTF membuka workshop sekaligus memaparkan sekilas tentang lembaga tempat ia bernaung kini. Sudah lama saya mendengar tentang ACSTF lewat sebuah milis yang saya ikuti tetapi baru hari itu saya mengetahui tentang kiprahnya. Banyak hal yang telah dilakukan LSM yang dibentuk pada tahun 2001 ini. Ketika Serambi Mekah masih didera konflik, ACSTF ikut serta dalam menciptakan perdamaian antara pihak yang bertikai. Dan kini, ketika perdamaian tercipta, ACSTF pun meneruskan misinya untuk menjaga dan mempertahankan perdamaian.
Pemilihan momentum workshop di saat Pemilu di depan mata sangat tepat menurut saya. Pasalnya, beberapa waktu belakangan, kata “damai” di Aceh mulai terusik oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Pertikaian antar partai lokal sampai terjadinya pembunuhan sungguh membuat pesta demokrasi yang tinggal menghitung hari terkotori. Belum lagi dengan ancaman-ancaman yang kerap ditujukan kepada masyarakat untuk memilih partai tertentu, politik uang, sampai banyaknya rakyat Aceh terutama yang tinggal di kota besar seperti Banda Aceh yang golput. Kiranya, sebagai blogger dan aktivis media sosial, tentunya kita memiliki peranan yang vital dalam upaya mendidik warga akan pentingnya pemilu yang jujur, demokratis, tanpa kekerasan dan politik uang, serta menyosialisasikan tahapan pemilu itu sendiri.
Tentang urgensi pemilu yang jurdil, demokratis, dan tanpa politik uang serta kekerasan dipaparkan secara gembleng oleh mantan Komisioner KIP Aceh, Ilham Saputra. Dalam presentasinya, Ilham menyampaikan akan pentingnya Pemilu bagi sebuah negara demokrasi. Pemilihan wakil rakyat yang akan duduk di kursi DPR/DPD harus dilakukan dan jangan pernah golput.
Berbicara tentang golput, jujur saja, sejak pertama kali dinyatakan memunuhi syarat menjadi pemilih dalam Pemilu sampai Pemilu lima tahun yang lalu, belum sekalipun saya memilih. Sengajakah? Sebenarnya saya tidak sengaja menjadi bagian dari golongan putih ini. Namun, karena sejak SMA sampai sekarang saya berstatus perantau di Banda Aceh dengan masih menyandang KTP Pidie, membuat saya selalu tidak dapat ikut serta dalam pemilu. Jarak kampung halaman yang lumayan jauh dengan jadwal kuliah yang padat membuat saya akhirnya memilih tetap di Banda Aceh dan golput.
Saya sadar, apa yang saya lakukan salah. Itu sama saja dengan menyerah sebelum bertanding. Tidak dipungkiri, caleg-caleg yang kini sedang mengumbarkan foto narsisnya di setiap sudut tidak bisa dipastikan apakah ia memang mencalonkan diri menjadi anggota DPR untuk menjadi wakil rakyat sebenarnya atau hanya ingin memperkaya diri sendiri. Tetapi, di antara caleg yang menunjukkan citra yang buruk, pasti ada yang baik walaupun bukan yang terbaik. Bukankah ikut berpartisipasi dalam pemilu merupakan salah satu bentuk ikhtiar kita untuk membangun Aceh? Kalau nanti si wakil rakyat tersebut lupa akan janjinya, kita wajib berikhtiar lagi untuk memilih caleg yang menurut kita lebih baik lagi pada Pemilu berikutnya. Bukankah ikhtiar itu diwajibkan dalam agama kita? Soal hasil, itu urusan Yang Maha Kuasa.
Selain membahas tentang urgensi pemilu, Pak Ilham juga memaparkan tentang jumlah kursi anggota DPR yang diterima oleh masyarakat Aceh. Karena Aceh merupakan daerah otonomi khusus, jumlah kursi untuk Aceh lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia yaitu 81 kursi. Harusnya, dengan banyaknya wakil Aceh yang duduk di kursi empuk DPR, aspirasi rakyat Aceh dapat terwakilkan, tetapi kenyataannya? Semoga di pemilu kali ini, kekecewaan yang kita alami dapat tergantikan. So, ikhtiar lagi.
Selanjutnya, Fahmi Yunus yang merupakan ketua pelaksana workshop ini menyampaikan tentang meningkatnya pengguna internet di Aceh termasuk pengguna media sosial dan blogger. Hal ini berdasarkan survey yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2011-2012. Pengguna internet yang pada tahun 2010 hanya 0,5% dibandingkan dengan media mainstream lainnya meningkat tajam menjadi 6% pada tahun 2012. Jalas ini menunjukkan bahwa internet dengan media sosial di dalamnya dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai tempat pengembangan dan edukasi masyarakat tentang Pemilu.
Berikutnya Azhari Aiyub, Redaktur Budaya Serambi Indonesia memberikan ilmunya tentang kepenulisan dan tema-tema yang dapat diangkat tentang Pemilu. Tentunya keunikan tema dari setiap daerah akan memberikan nilai plus untuk sebuah tulisan. Misalnya saja tentang kampenye Pemilu yang tidak lebih dari sekadar joged-joged dangdut, lalu tentang keapatisan masyarakat Gayo terhadap salah satu partai lokal, pembagian sarung oleh caleg, sampai ancaman tidak akan diberikan beras raskin oleh salah satu pejabat daerah sangat mengkampanyekan partai yang diusungnya jika masyarakat tidak memilih caleg dari golongan mereka. Isu-isu seperti ini belum tentu dimiliki oleh daerah lain sehingga menarik untuk dipaparkan.
Di akhir acara, para peserta pun sepakat untuk tetap menindaklanjuti workshop ini dengan membuat sebuah komunitas bernama Blogger Aceh Peduli Politik. Diharapkan dengan adanya komunitas ini, para blogger dan aktivis media sosial lainnya dapat saling berbagi berbagai informasi tentang politik khususnya di Aceh. Semua itu tidak terlepas dari keinginan kita semua untuk tetap menjaga dan mempertahankan perdamaian Aceh dari berbagai hambatan dan acaman dari dalam dan luar.
alvawan nazmi says
pak azhari cara menyampaikannya agak menakutkan ya..
Makmur Dimila says
Sayangnya saya tak bisa ikutan, pematerinya keren. Harap-harap ada workshop sejenis ke depan. Selamat ya udah bertambah satu komunitas blogger lagi. π
Lidya says
siap memilih ya mbak
Ceritaeka says
Pemilu sebentar lagiii π
giewahyudi says
Bagus acaranya, di daerah lain malah belum ada lho acara blogger khusus pemilu gini. Aceh memang istimewa sih karena ada tiga partai lokal, tentu peta politiknya beda dengan daerah lain. Semoga pemilu di Aceh tetap aman dan terkendali ya..
Monza Aulia says
Bertolt Bracht :
βButa yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasionalβ.
Liza Fathia says
nice quote monza
duniaely says
keren ya kl acara spt ini ada kelanjutannya dgn membentuk komunitas Blogger Aceh peduli politik π
Liza Fathia says
mudah2an ngga hanya semangat waktu acara kemarin aja ya kak π
Idah Ceris says
Saya gak mau milih yang narsis, Mba. Takut kenarsisan saya kalah nantinya. Ahahaha
Berarti, besok udah gak golput lagi dongs?