Dulu, sejak pertama sekali tiba di Blangpidie, saya sempat khawatir tentang cara mendapatkan aneka ragam kebutuhan dapur. Ya, seperti peralatan memasak dan sayur mayur serta lauk pauk untuk dimasak. Syukurnya, saya mendapatkan kontrakan yang langsung berhadapan dengan pasar pagi. Awalnya saya enggak ngeh kalau tempat tinggal saya diperantauan ini sangat dekat dengan pasar. Maklum, pendatang yang belum mengeksplor terlalu jauh kabupaten Aceh Barat Daya ini.
Jadi, pagi pertama saya tinggal di rumah kontrakan tersebut, saya mendengar keriuhan. Sempat bertanya juga ke suami, ada apa gerangan? Suami menjawab dengan gelengan. Ya, kami kan sama-sama pendatang. Setelah cek dan ricek, ternyata itu adalah pasar pagi! Mata saya langsung bling bling saat melihat aneka sayuran segar dijual dengan harga murah di sana. Dan semua itu bisa saya dapatkan hanya dengan berjalan beberapa langkah saja. Waktu tinggal di Banda Aceh, saya juga hobi berbelanja di Pasar Pagi Peunayong. Hanya saja, jarak pasar Peunayong dengan rumah lumayan jauh sehingga pada waktu tertentu saja saya berbelanja di sana.
Jika dulu saya selalu berbelanja sayuran untuk kebutuhan seminggu, maka sekarang tidak lagi. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor saya selalu mengajak Naqiya belanja ke Pasar Pagi Blang Pidie. Kadang kalau lagi buru-buru, Naqiya saya tinggal bersama Rita, ART kami. Ada sensasi tersendiri saat berinteraksi langsung dengan nyak-nyak dan kakek-kakek penjual sayur yang tetap bersemangat mencari rezeki meski usia telah renta.
Pasar Pagi Blangpidie ini letaknya di Jl. H. Ilyas Blangpidie. Nama jalan tersebut diambil dari nama pedagang kelontong dan makanan ringan grosiran di tempat ini. Para penjual di pasar pagi menggelar lapak mereka tepat di depan toko H. Ilyas yang jumlahnya puluhan. Ada juga yang menggelar dagangannya di emperan ruko-ruko lain.
Sayur yang dijual pun beragam. Ada sayuran yang didatangkan dari luar daerah seperti kol, brokoli, wortel, buncis, dan kentang. Tidak sedikit pula sayuran yang dijual adalah hasil kebun masyarakat Aceh Barat Daya sendiri. Sayuran tersebut seperti daun singkong, kangkung, talas, pakis, daun katuk, daun kelor, bayam, dan masih banyak jenis sayuran lainnya.
Harga sayuran terutama hasil produksi lokal sangat murah. Cukup membawa uang lima ribu, maka saya bisa mendapatkan dua ikat kangkung, seikat bayam, dan satu papan tempe. Harga tersebut belum ditawar dan saya selalu mencoba mengendalikan diri untuk tidak menawar. Kasihan. Dalam seikat kangkung, penjual tersebut hanya mengambil untung Rp 200. Seharian berjualan, belum tentu pedagang pasar pagi itu mendapatkan untung Rp 20.000. Lebih-lebih kalau musim hujan, harga sayur yang mereka jual anjlok karena kualitasnya menurun.
Selain bisa mendapatkan sayuran segar dengan harga murah, melihat transaksi jual beli antara pedagang dan pembeli pun memiliki keasyikan tersendiri. Terkadang sempat kesal juga ketika melihat pembeli yang seenaknya menawar harga barang. Tapi si penjual tentu tidak mau rugi juga hingga akhirnya pembeli tersebut berlalu tanoa membawa pulang apapun.
Di pasar tradisional ini saya juga bisa mengetahui sayuran apa yang menjadi khas daerah Blangpidie. Mau tahu sayuran apakah itu? Baikalah, saya sebutkan satu persatu. Talas, yup, baru di Blangpidie saya menemukan penjual keladi untuk diolah menjadi makanan. Awalnya saya mengira batang lembek berwarna coklat itu adalah rebung kala, salah satu tumbuhan khas Aceh, tapi ternyata bukan. Dia adalah talas yang biasanya diolah menjadi gulai yang lezat rasanya.
Sayuran berikutnya adalah pakis. Pakis adalah sayuran favorit saya. Namun, di Banda Aceh agak lumayan susah mendapatkan pakis dan harganya juga lumayan mahal. Kalau di Tangse, saya bisa dengan mudah mendapatkan tanaman monokotil ini di tepi kali. Nah, di Pasar Pagi Blangpidie, pakis sangat mudah saya dapatkan. Harganya pun sanga murah. Seribu perikat kecil. Konon, masyarakat Blangpidie juga suka memasak gulai pakis.
Daun katuk juga sayuran yang sangat mudah ditemukan. Dulu. Di Banda Aceh saya sering kesusahan mendapatkan daun yang bisa melancarkan ASI ini. Harga satu ikat juga mahal karena barangnya langka. Semua itu tidak berlaku di pasar Blangpidie. Hampir setiap penjual sayur menjual daun katuk. Biasanya mereka mencampur daun tersebut dengan aneka dedaunan lainnya seperti daun singkong, kangkung, pepaya muda, labu, dan bayam untuk diolah menjadi sayur bening. Tapi daun katuk juga bisa dibeli secara terpisah dan harga satu ikat besar hanya tiga ribu rupiah.
Dan sayuran terakhir yang menjadi khas pasar ini adalah rebung. Baru disini saya melihat rebung bambu dijual dalam jumlah yang banyak. Kalau di kampung, sangat jarang saya memakan rebung bambu. Jika ada tetangga yang baru pulang dari gunung dan memotong bambu, baru saya mendapatkan sedikit bagian yang ia berikan. Kalau tidak, ya enggak pernah ada. Nah, kalau ada yang mengidam rebung, di Abdya sangat mudah didapatkan. Masyarakat di sana sering memanfaatkan rebung untuk digulai dengan daun singkong atau dimasak dengan gulai pliek u.
Seperti namanya Pasar Pagi, maka pasar ini hanya ada di waktu pagi. Jangan datang ke Jl. H. Ilyas diwaktu siang karena kamu tidak akan menemukan pasar seperti yang saya ceritakan. Karena di atas jam duabelas siang, para penjual telah berbondong-bondong kembali ke rumah masing-masing. Kalau pun masih ada, mereka adalah oedagang yang sedang membersihkan lapak dagangan mereka.
Ya, keunikan lain dari Pasar Pagi Blang Pidie ini adalah selalu bersih dari sisa sayuran atau sampah ketika saya pulang dari kantor melwati jalan H. ilyas pada pukul satu siang. Tidak ada petugas kebersihan di sanamelainkan pedangan itu sendiri yang masing-masing bertanggung jawab atas kebersihan lapak dagangannya. Petugas keberisihan hanya bertugas mengambil tumpukan sampah untuk dibawa ke temoat pembuangan akhir.
Beginilah sendisasi berbelanja di Pasar Pagi Blang Pidie, bagaiamna dengan pasar pagi di daerahmu teman?
Lidya says
pasar pagi atau pasar kaget ya mbak biasa disebutnya. Aku juga kalau ke pasar tiap hari di pasar kaget dekat sekolah anak-anak
Liza Fathia says
Iya bener mbak lyd, disebut juga pasar kaget 🙂
Lusi says
Waaah enaknya kalau bisa begitu. Aku agak jauh dari pasar, jadi belanjanya harus beberapa hari sekali. Akibatnya sayuran nggak bisa selalu segar karena harus disimpan di kulkas. Kalau beli kebanyakan jadi busuk meski dikulkas. Ribet deh.
Cut Inong Mutia says
Aku jarang belanja ke pasar tradisional, tetapi setiap ke sana selalu suka dengan atmosfirnya 🙂
Liza Fathia says
Betul kak inong, atmosfirmya beda
pipit says
wahhh enak banget ke pasar tinggal engklek… tapi itu pasarnya kebersihannya terjaga kan?
Liza Fathia says
Insyaallah bersih mak, petugas kebersihannya cuma mengumpulkan sampah yang sudah dibersihkam oleh penjual
Moersalin says
murah murah itu ya…