Siang itu di sela istirahat siang di kantor, saya dan rekan kerja saya, Meri membahas tentang lokasi acara yang sering diselenggarakan oleh kantor kami. Kebetulan, Meri baru saja pulang dari pelatihan dan mengikuti employee gathering beberapa waktu yang lalu.
“Kenapa ya Liz, setiap ada acara nonformal lokasinya kalau bukan di gunung yang ada sungainya, pasti di pantai.” Meri memulai pembicaraan.
“Maksudnya?” Saya belum tahu arah kalimat yang ia lontarkan tadi kemana.
“Ini lho, kayak Me pelatihan kemarin. Pas acara nonformalnya diajak ke Puncak. Memang sih, di sana ada kebun teh, tapi cuma itu pemandangan yang lain dari kampung kita.”
“Bukannya Puncak itu keren, Me? Kan terkenal gitu.”
“Untuk orang yang tinggal di kota sih keren, say! Tapi untuk anak gunung kayak kita? Bagusan kampung kita laah.”
Saya mulai mengerti arah pembicaraan teman saya itu; lokasi acara yang enggak sesuai untuk anak kampung seperti kami.
“Terus waktu diajak ke pantai. Pasirnya hitam, lautnya juga enggak keren. Ada teman dari Lombok ngeluh, entah dimana-dimana pantai Lombok dibandingkan dengan pantai yang diajak oleh panitia.”
Saya mengangguk setuju. Untuk kami yang tinggal di dekat gunung dan laut, lokasi yang dipilih oleh panitia untuk refreshing sungguh tidak bermakna sama sekali. Toh, setiap hari hanya gunung dan pantai yang kami lihat.
“Maunya ajak kek kita ke mall atau bioskop, ya, Mer!”
“Nah, itu benar banget. Ajak kek kita ke tempat yang memang enggak ada di kampung kita. Setidaknya kalau pulang ke kampung ada yang bisa diceritakan sama tetangga. Ini udah ke Jakarta pemandangan yang dilihat sama aja, gunung dan pantai.”
“Hahahaha…” Saya pun tertawa mendengar celotehan Meri.
Apa yang dikeluhkan teman saya ada benarnya. Refreshing itu bermakna relatif, tergantung siapa yang mengartikan. Untuk mereka yang tinggal di kota besar, yang penat dengan kemacetan dan bosan dengan keramaian, maka pergi ke tempat yang tenang adalah solusinya. Bisa jadi mereka memilih pegunungan atau pantai sebagai tempat refreshing. Bunyi gesekan dedaunan yang ditiup angin, kicauan burung, dan gemericik air sungai mampu menghapus lelah setelah berhari-hari sibuk dengan rutinitas. Begitu juga dengan suara debur ombak di tepi pantai dan nyiur yang melambai mampu membangkitkan semangat baru untuk keesokan harinya.
Namun, untuk kami yang memang setiap hari melewati gunung, bermain di sungai, atau berkejar-kejaran dengan ombak di pantai, diajak kembali ke tempat yang sama meski di daerah yang berbeda justru menimbulkan kebosanan. Kami yang tinggal di tempat yang masih jauh dari polusi, baik itu polusi udara maupun suara justru kepingin merasakan sesuatu yang belum pernah kami dapatkan dikampung halaman. Pergi ke mall misalnya. Selama ini, mall besar hanya kami lihat lewat layar kaca, selebihnya kami berbelanja di toko atau pasar biasa. Begitu juga dengan bioskop, tidak ada di kampung kami. Setiap ada film baru yang dirilis, kami hanya bisa menonton trailer-nya lewat TV atau YouTube dan membaca sinopsisnya dari blog teman-teman. Selebihnya, kami hanya bisa menunggu film tersebut dikemas dalam bentuk DVD.
Semoga pada acara-acara berikutnya, penyelenggara acara tersebut memilah kembali lokasi yang sesuai dengan keinginan pesertanya.
agen wisata karimunjawa says
boleh, kapan mbak mau ke bioskop? sini2 mbak fitri temenin 😀
Liza Fathia says
Ayo ayo…hahaha
Idah Ceris says
Di Banjar juga ngga ada Mal dan Bioskop, nih. 😀
Banyak gunuuung, bukiiit. . .
Liza Fathia says
kebayang kan idah kalo ada pelatihan ke jakarta atau ke kota besar, pas jalan2nya kita diajak ke bukit lagiii
mas into says
hohoho i’m feel you :v sama saya juga dari kampung makanya suka males kalau di ajak ke acara yang di adakan di puncak atau pantai. Mending nongkrong di kafe hehe