Siapa yang tidak mengenal si emas hijau? Hasil olahannya begitu dibutuhkan oleh masyarakat kecil atau industri besar. Minyak goreng, margarine, sabun, shampo, dan kosmetik yang setiap hari kita gunakan adalah hasil turunannya. Lalu, tumbuhan apakah yang mendapat julukan emas hijau itu? Dia adalah kelapa sawit, tumbuhan palm yang berasal dari genus Elaes. Sudah sepantasnya jika kelapa sawit disetarakan dengan logam mulia. Karena besarnya manfaat yang dikandung, permintaan terhadap komoditas sawit terus meningkat sehingga banyak orang yang tertarik untuk berinvestasi. Devisa negara yang dihasilkan dari perkebunan ini juga sangat besar yaitu Rp 250 triliun per tahun dan menjadi pendapatan nonmigas terbesar di negara kita.
Ironisnya, devisa yang disumbangkan oleh emas hijau ini justru membuat hutan Indonesia menjadi tidak lagi hijau. Di Aceh misalnya, seiring berjalannya waktu, ekspansi sawit terus bertambah. Luas perkebunan besar telah mencapai 385.435 ha dan tersebar di 15 kabupaten/kota di Aceh. Dari seluruh kabupaten, sebanyak 12 kabupaten mengelola perkebunan tersebut dengan melakukan budidaya kelapa sawit, dan 3 kabupaten lainnya menanam karet, kakao, dan pala. Akibatnya, hutan, rawa, dan bahkan kawasan taman hutan nasional ikut tergerus bersamaan dengan dibukanya lahan untuk ditanami kelapa sawit oleh perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dari Pemerintah Aceh.
Apa itu HGU?
Sebenarnya apa itu HGU? Berdasarkan pasal 28 UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Namun, untuk perusahaan tertentu seperti yang mengelola perkebunan kelapa sawit, HGU dapat diberikan paling lama 35 tahun. Hal ini disebabkan karena kelapa sawit merupakan tanaman berumur panjang.
Siapakah yang berhak mengeluarkan HGU perkebunan kelapa sawit? Merujuk pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan yang penuh dalam menjalankan roda pemerintahan di daerahnya termasuk dengan semua kebijakan yang dapat meningkatkan potensi yang ada. Dengan legitimasi ini, Pemerintah Aceh dan daerah lainnya di Indonesia dapat mengambil kebijakan tanpa harus menunggu persetujuan dari pemerintah pusat. Contohnya adalah kebijakan untuk mendatangkan investor kelapa sawit.
Lantas, mengapa izin HGU perkebunan kelapa sawit di Aceh harus direview?
Koordinator Bidang Advokasi Masyarakat Transparansi Aceh (MaTa), Baihaqi, menyampaikan hingga saat ini perusahaan HGU tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat Aceh dan pemerintah. Tidak hanya itu, perkebunan sawit berskala besar juga ditenggarai telah merambah hutan lindung dan memasuki Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Oleh sebab itu, review izin untuk penataan perizinan khususnya untuk perkebunan kelapa sawit HGU di Aceh harus segera dilakukan oleh Pemerintah Aceh.
Berikut adalah 5 alasan mengapa izin perkebunan kelapa sawit di Aceh harus dikaji kembali:
1. Perkebunan kelapa sawit sebabkan kerusakan hutan
Sebagai masyarakat Aceh yang hidup dan mencari nafkah di Bumi Seramoe Mekah, hati saya merasa gelisah ketika media memberitakan bahwa sebagian besar wilayah Aceh Tamiang (80 persen) telah dikepung oleh HGU kelapa sawit yang mengakibatkan pemerintah kesulitan membangun fasilitas publik (Serambi Indonesia, 8/4/2016). Demikian halnya dengan Aceh Utara, akibat HGU yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit, Hutan Lindung Cut Meutia yang ada Cot Girek di Aceh Utara menjadi rusak. Walhasil, hutan rusak, intensitas banjir meningkat, dan masyarakat kehilangan mata pencaharian.
Nagan Raya, kabupaten yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di Aceh (82.252 Ha) juga tidak lebih baik. Ekspansi sawit yang semakin meluas di wilayah ini berdampak negatif pada Rawa Gambut Tripa. Rawa yang terkenal dengan gambutnya yang mampu menyeimbangkan iklim kini semakin menuju kepada kehancuran. Luas Rawa Tripa yang dulunya sekitar 62 ribu Ha kini hanya tinggal 17 ribu Ha. Hutan yang terdapat di kawasan tersebut dibakar dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal, Tripa merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan letaknya berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Di kawasan tersebut hidup beraneka satwa-satwa langka yang dilindungi seperti orang utan Sumatera, harimau Sumatera, badak Sumatera, dan beragam jenis burung. Namun sekarang, perlahan satwa tersebut mulai punah karena habitat hidupnya telah diganggu.
2. Konflik vertikal antara masyarakat vs perusahaan atau pemerintah
Seperti yang kita ketahui bersama, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang hanyak menguntungkan beberapa pihak, terutama pemodal dan kepala daerah. Salah satu contohnya adalah terkait izin untuk usaha perkebunan kelapa sawit. Banyak sekali izin yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berdampak buruk dan merugikan masyarakat. Tidak jarang, izin HGU yang diberikan pemerintah justru di atas tanah adat miliki masyarakat. Sebagai akibat perizinan tersebut, muncullah konflik-konflik antara masyarakat dengan perusahaan atau dengan pemerintah.
3. Tidak adanya transparansi dari pemerintah dalam mengeluarkan HGU
Sebenarnya, konflik vertikal antara masyarakat dengan perusahaan sawit tidak akan terjadi jika sejak awal pemerintah memberikan informasi yang benar kepada pengusaha dan masyarakat tentang lokasi yang akan dijadikan tempat usaha. Selain itu, semakin luasnya wilayah perkebunan sawit saat ini tidak terlepas dari buruknya sistem administrasi dan tata kelola perizinan yang ada di daerah. Tidak ada pencatatan yang jelas tentang potensi daerah berdampak pada pemberian izin yang yidak sesuai dengan potensi yang ada.
Mengutip apa yang disebutkan oleh Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma, bahwa HGU di Aceh dari sisi perizinan masih bermasalah, sementara dari proses izinnya tidak transparan dan akuntabel. Kewajiban perusahaan untuk memberikan kebun plasma bagi masyarakat di sekitar HGU juga tidak terlaksana.
4. Perkebunan sawit tidak mampu mengatasi kemiskinan
Meskipun devisa negara dari ekspor komoditas kelapa sawit mencapat Rp 250 triliun, tetapi kenyataannya perkebunan kelapa sawit skala besar tersebut tidak berdampak positif termasuk bagi masyarakat Aceh. Buktinya, angka kemiskinan di Aceh masih 17% dari jumlah penduduk aceh. Seperti yang disampaikan oleh MaTa, tidak ada pendapatan asli daerah yang dihasilkan dan masyarakat di sekitar HGU hidup miskin.
Aceh Singkil contohnya. Saat ini belasan perusahaan kelapa sawit telah beroperasi di kabupaten yang dimekarkan dari Aceh Selatan ini dan mengelola lahan puluhan ribu hektare. Mirisnya, Aceh Singkil adalah satu-satunya daerah tertinggal dan termiskin di Provinsi Aceh yang ditetapkan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019. Hal ini membuktikan bahwa banyaknya perkebunan kelapa sawit tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
5. Tata kelola lingkungan hidup yang diabaikan oleh perusahaan
Terkait aspek pengelolaan lingkungan hidup, AMDAL yang merupakan salah satu syarat mutlak perkebunan kelapa sawit terkesan sebagai dokumen formalitas pelengkap syarat untuk mendapatkan perizinan. Seharusnya komitmen yang tertuang di dalam AMDAL wajib dilaksanakan oleh perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti saat terjadinya kebakaran lahan, pencemaran limbah, penyelematan sumber mata air, dan sejumlah bentuk dampak lainnya.
Gayung Bersambut
Kerisauan akan dampak buruk yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit HGU di Aceh kini mulai menemui titik terang. Presiden Jokowi telah memberikan arahan untuk segera memoratorium sawit dan tambang di wilayah Aceh, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser. Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, juga menegaskan pemerintah akan membatasi siklus hak guna usaha (HGU) bagi perkebunan sawit. Rencananya, pembatasan siklus tersebut akan dijadikan satu dari delapan prinsip Inpres Penundaan Peruntukan Kawasan Hutan Alam untuk Dikonversi Menjadi Lahan Perkebunan Sawit. Pembatasan siklus tersebut dilakukan untuk menata kembali perkebunan sawit yang ada di Indonesia. Berdasarkan identifikasi pemerintah, selama ini banyak ijin perkebunan sawit yang tidak sesuai prosedur.
Pemerintah Aceh pun tidak tinggal diam. Seperti diberitakan Foresthint yang dikutip dari mongabay.co.id, Wali Nanggroe Malik Mahmud dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dalam pertemuan dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya di Jakarta (19/04) menyebutkan pihaknya siap untuk melakukan moratorium dan review izin yang telah dikeluarkan. Pun demikian dengan Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib, ia mendukung moratorium kelapa sawit dan mengajak masyarakat untuk tidak lagi menanam atau membuka perkebunan kelapa sawit. Masyarakat diimbau beralih ke tanaman lain seperti kakao, lada, karet, dan jenis lainnya.
Penutup
Kelapa sawit adalah investasi yang sangat menggiurkan dari segi ekonomi. Namun, alangkah lebih bijak jika investasi yang dilakukan tidak mengganggu keseimbangan alam. Karenanya, pengkajian ulang terhadap izin yang telah diberikan oleh Pemerintah Aceh terhadap perkebunan sawit harus segera ditindaklanjuti. Dengan ini, pemerintah dapat memastikan apakah prosedur yang telah ditetapkan ditaati oleh perusahaan di lapangan atau tidak. Jika ditemukan perusahaan yang terbukti melanggar, pemerintah dapat memberikan sanksi yang tegas dan dapat menjadi pelajaran bagi perusahaan lainnya.
Referensi
1. Moratorium dan Reviu Perizinan Perkebunan Sawit di Aceh Seberapa Pentingnya | http://www.mongabay.co.id/2016/05/05/moratorium-dan-reviu-perizinan-perkebunan-sawit-di-aceh-seberapa-pentingnya/
2. Co Yel Ungkap Penyebab Banjir Bandang Kerap Terjadi di Nagan Raya | http://portalsatu.com/read/news/co-yel-ungkap-penyebab-banjir-bandang-kerap-terjadi-di-nagan-raya-3428
3. Derita Singkil, Kabupaten Tertinggal yang Dikepung Sawit | http://www.mongabay.co.id/2016/03/17/derita-aceh-singkil-kabupaten-tertinggal-yang-dikepung-sawit/
4. Izin HGU di Aceh HarusDikaji Kembali Mengapa? | http://www.mongabay.co.id/2016/08/18/izin-hgu-di-aceh-harus-dikaji-kembali-mengapa/
5. Aceh Tamiang Dikepung HGU | http://aceh.tribunnews.com/2016/04/08/aceh-tamiang-dikepung-hgu
6. Menata Industri Sawit Demi Keberlanjutan Alam dan Kesejahteraan Rakyat | Tanda Sawit Edisi No.1 Januari 2015
7. Polling Opini Publik – Moratorium dan Review Perizinan Perkebunan Sawit di Aceh Seberapa Pentingnya | http://walhiaceh.or.id/polling-opini-publik-moratorium-dan-review-perizinan-perkebunan-sawit-di-aceh-seberapa-pentingnya/
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Review Izin Untuk Penataan Perizinan yang diselenggarakan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
Haya Nufus says
Segala sesuatu memang ada dampak positif dan negatif. Untuk permasalahan perkebunan kelapa sawit ini memang layak mendapat perhatian pemerintah karena efek yang langsung dirasakan masyarakat.. Pembukaan lahan yang terkadang asal hingga terjadi kasus kebakaran dan polusi asap, hutan yang gundul tak mampu menampung debit hujan hingga terjadi erosi dan banjir bandang dll. Eksplorasi besar namun kurangnya penanggulangan akan dampak yang muncul.
Semoga ada solusi yang bisa nyata diterapkan ya Liza. Btw Good Luck ^^
Liza Fathia says
benar sekali kak nufus. sedih sekali rasanya melihat hutan aceh sekarang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
cumilebay says
Gw baru tau kalo kelapa sawit itu emas hijau
Liza Fathia says
kalau emas yang lain tahu ga kak cumi?
jiayuukii says
Masalah tentang hutan memang krusial sekali ya, Bu. Sedih banget misal hutan makin lama makin rusak dan lenyap. Pemerintah benar-benar harus melakukan review tentang izin hak guna usaha itu.
Liza Fathia says
benar sekali mbak jia, masalahnya sudah berbelit2 dan benar sekali review izin untuk penataan perizinan harus dilakukan
baiqrosmala says
waah kalau kayak gitu saya sebagai warga Indonesia mendukung untuk di direview mba, apalagi masalah amdal yang bener-bener masalah serius, suka diabaikan oleh perusahaan-perusahaan besar. good luck mba semoga menang lombanya dan semoga review terhadap HGU itu segera terlaksana
Liza Fathia says
iya mbak baiq. amiin makasih buat doanya
Yell Saints says
Wah, detail kli penjelasannya kak Liza,,, keren deh,,,
Liza Fathia says
Terimakasih yelli
noe says
Sawit tuh ya, ngga di sumatra ngga di kalimantan, banyak aja jd bahan perbincangan. Sedih klo udh masuk isu kerusakan alam gitu
Liza Fathia says
iya mbak noe, sedih banget melihat kondisi lingkungan kita saat ini
ali shodiqin says
seharusnya tetap dilestarikan hutannya, bukan di rusak terus di ganti sawit,… kasian hewan penghuni hutan tersebut…
Liza Fathia says
benar sekali mas ali, kasian hutan kita
Bai RUindra says
Perkebunan sawit memang menggoda 🙂
Liza Fathia says
iya bang, sangat menggoda
Ety Abdoel says
Pembukaan lahan sawit di wilayah lain spt sumsel dan lampung juga menyisakan persoalan yang sama mba dg yang di Aceh.
Liza Fathia says
dimana-mana kasusnya sama ya mbak. miris sekali
SpesialTips! says
tidak jauh berbeda…Di Papua, banyak hutan sagu, dan hutan primer yang tergantikan dengan sawit 🙁
April Hamsa says
Kalau menurut penelitian perkebunan kelapa sawit tdk meningkatkan kesejahteraan harusnya pemerintanya stop ijin2 pembukaan lahan baru ya mbak?
Hiks sedih kalau hutan lindung sampai dibabatin juga 🙁
Liza Fathia says
iya mbak april. harusnya dikaji ulang prosedurnya
dwi sari says
Hmmm bahas birokrasi ini susah banget ya emang, apalagi yang menyangkut perijinan usaha. Udah berapa kali pemilu transparansi di instansi pemerintahan ya gitu-gitu aja, hanya segelintir yang mau berbenah 🙁
Liza Fathia says
iya mba dwi, miris banget dengan birokrasi kita (walau aku kerja dibirokrasi juga )
Rotun DF says
Kadang saya heran Kak, kenapa ya jika ada kekayaan alam di suatu daerah tidak bisa secara signifikan mengangkat perekonomian penduduk di daerah tersebut. Ironis, di saat kelapa sawit mendatangkan keuntungan begitu besar untuk pihak-pihak tertentu tapi tak bisa memberikan manfaat untuk masyarakat 🙁
Liza Fathia says
nah itu dia mbak rotun. harus dikaji lagi kebijakan yang mereka keluarkan
Blogger Kendal says
Wahhh semoga menang ya Kak.
Semoga perkebunan kelapa sawit bisa bermanfaat dan semoga orang2nya bisa menjaga dengan kepedulian yang baik.
Liza Fathia says
amiin ya Rabb
Meriska Putri W says
Sistem kelapa sawit ini kalo tanahnya udah gak produktif terus ditinggal kah mbak?
Problem kelapa sawit ini udah kayak tembakau ya, yg kaya makin kaya yg miskin tetep miskin. Dan repotnya, permintaan dua bahan ini tinggi banget, jadi susah buat mutus sistemnya yg nguntungin satu pihak.
Liza Fathia says
ya begitulah mbak meriska, dibuka lagi lahan yang baru
Ratna Dewi says
Sebagai orang awam, aku ikut andilnya paling mengurangi penggunaan minyak kelapa sawit atau goreng menggoreng. Soalnya kasian juga kalo udah lihat konflik karena kelapa sawit ini. Kasian ke lingkungannya, masyarakat sekitar, juga flora dan fauna yang ikut dikorbankan karena pembukaan lahan sawit.
Liza Fathia says
iya mba, setidaknya kita mengurangi ketrgantungan akan sawit ya.
Teuku Mukhlis says
Tulisan disertai ilustrasi yang sangat menarik. Semoga pemerintah tak sembarang memberi izin.
Liza Fathia says
Terima kasih
Syntia Zahra says
Mengulas detil tentang pentingnya review izin.. Good job
Liza Fathia says
terima kasih
ariel says
Selama pemerintah belum menemukan formula tepat dalam pengelolaan bisnis sawit, selama itu pula masalah akan ditumbulkan oleh binis ini. sepakat??
Liza Fathia says
toss bang ariel, sepakat
hendri ahmad says
salah satu solusi yang mudah untuk mengtasi masalah-masalah diatas dengan mereview izin bagi perusahaan perkebunan sawit yang ada di Indonesia. Mudah karena tinggal di lihat ulang, benar atau tidak yang dikerjakan dilapangan.
hariekhairiah says
Sawit bagai simalakama dikelola yg untung yg berkuasa, pekerja kasar di kebun sawit dan penduduk sekitarnya hanya bisa urut dada, nggak dikelola manfaatnya banyak