Sebagai mahasiswa, terkadang saya malu dengan predikat yang menempatkan saya sebagai intelektual muda, kelompok penekan (pressure group), dan agen perubahan (agent of change). Rasa malu itu menantang saya untuk menunjukkan apa telah saya dedikasikan selama ini. Meski saya hanya mahasiswa biasa tetapi saya selalu mencoba untuk menjadi luar biasa. Berbagai organisasi kampus pun saya ikuti dengan harapan dapat membimbing saya untuk mengaktulisasikan potensi diri.
Saya bukanlah orator handal pada setiap pertemuan. Malah, saya termasuk dalam golongan pendengar yang budiman di setiap diskusi. Tetapi dengan intelektualitas yang saya milik,i saya ingin menjadi mahasiswa sesungguhnya. Walau tak mampu berteriak-teriak ketika demonstrasi, hanya menjadi pesuruh ketika amal bakti, tidak pernah menjadi decision maker dalam rapat, tetapi saya yakin saya bisa melakukan sesuatu perubahan. Setidaknya perubahan untuk saya sendiri.
Caranya adalah dengan menulis. Dengan kemampuan menulis yang saya miliki, saya ingin menjadi agen perubahan. Namun menulis saja tanpa mempublikasikannya sama saja saya mengeramkan tulisan yang tak akan pernah menetas menjadi tulisan-tulisan baru lainnya. Jadi, agar tulisan saya dibaca oleh banyak orang, maka saya memilih surat kabar (koran-red) sebagai medianya.
Di koran, baik koran kampus, koran lokal, maunpun nasional memiliki rubrik khusus yang disediakan untuk menuliskan opini pembaca. Di dalam opini tersebut seorang penulis dapat menulis gagasan yang disertai dengan teori, referensi dan data sehingga memunculkan solusi.
Media pertama yang saya pilih untuk mengirim opini adalah koran kampus. Berbagai gagasan saya tentang kejadian-kejadian yang saya dan mahasiswa alami di kampus termaktub dalam tulisan saya. Entah itu tentang organisasi kampus, permasalahan antara satu fakultas dengan fakultas yang lain, kekacauan di rektorat, fasilitas kampus yang tidak sesuai dengan iuran SPP yang setiap semesternya harus dibayar oleh mahasiswa, dan lain-lain.
Ketika dimuat untuk pertama kalinya, saya senang bukan main. Namun lama kelamaan saya mulai jenuh sendiri. Saya merasa dengan mudahnya tulisan saya dimuat tanpa ada penolakan sama sekali. Setelah saya telusuri, ternyata animo mahasiswa di kampus saya untuk menyumbangkan gagasannya dalam bentuk opini sangatlah sedikit. Banyak diantara mereka yang lebih memilih berdemonstrasi untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka atas kebijakan-kebijakan kampus. Menggunakan fisik untuk melawan sesuatu yang dianggap tidak benar. Atau hanya diam saja ketika mulut dibungkam.Padahal, saat-saat di mana kita tak memiliki tenaga untuk melawan, kita masih bisa menulis. Saat-saat di mana suara kita dibungkam, kita masih bisa menulis. Saat-saat fisik kita dipenjara, kita masih bisa menulis. Lakukanlah perlawanan, meski dengan hanya menulis.
Setelah tulisan saya dimuat di koran kampus, saya semakin semangat untuk menulis dan membaca. Saya juga tertantang untuk mengirim opini ke koran lokal. Karena semakin besar media yang dipilih untuk mengirimkan tulisan, maka semakin banyak pula pembaca tulisan tersebut. Sehingga gagasan yang disampaikan oleh penulis tak hanya dibaca oleh satu dua orang, tetapi ribuan bahkan jutaan orang akan membacanya.
Agar opini saya dimuat, berbagai trik agar sebuah opini dimuat di koran pun saya pelajari. Diantaranya mengenal koran yang akan saya kirimkan tulisan, membaca opini-opini yang dimuat setiap harinya, serta mencari tahu informasi yang sedang hangat dan terkini.
Namun, usaha saya untuk mengirimkan opini di koran lokal tidak semulus koran kampus. Sering sekali opini saya tidak dimuat alias ditolak. Akhirnya saya pun menyadari kekurangan tulisan saya. Saya adalah seorang mahasiswa kedokteran tetapi saya menulis tentang hukum dan ekonomi. Sangat tidak relevan bukan? Kalaupun ingin dimuat, tentunya saya harus mampu beropini yang lebih bagus dibandingkan pakar ekonomi atau setidaknya mahasiswa ekonomi.
Lalu saya berpikir. Kenapa saya tidak menulis tentang kesehatan saja? Bukankah topik ini juga banyak diperbincangkan orang? Sebagai mahasiswa kesehatan sudah seharusnya saya paham tentang isu-isu kesehatan yang berkembang. Hal itu pasti akan membantu saya dalam berargumentasi. Ternyata usaha saya kali ini membuahkan hasil. Opini saya dimuat di koran.
Selain menulis tentang topik yang kita kuasai, ternyata menulis topik yang paling kita minati juga berpeluang untuk menghasilkan sebuah opini yang bagus. Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan pengetahuan kita tentang sesuatu yang ingin ditulis lebih banyak dibandingkan dengan topik-topik yang sedang hangat-hangatnya tetapi bukan dibidang yang kita geluti atau yang kita minati.
Saya merasa saat opini saya dimuat di koran, keinginan saya untuk menjalankan tugas sebagai mahasiswa mulai terealisasi. Saya telah mampu menjadi agen perubahan untuk diri saya sendiri. Dengan menulis saya bisa mengubah diri saya yang pendiam dan selalu menjadi pendengar budiman ke seorang mahasiswa yang mampu mengungkapkan gagasannya melalui tulisan.
Saya yakin, semua mahasiswa mampu menulis opini. Ingat! Kita adalah kaum intelektual. Pelajaran menulis telah kita pelajari sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai menjadi mahasiswa. Sekarang tinggal bagaimana cara kita mengasah kemampuan yang telah kita miliki tersebut dengan terus berlatih. Jika sekarang kita telah mulai menumbuhkan kebiasaan untuk menulis, beberapa tahun nanti akan lahir mahasiswa-mahasiswa yang mampu menulis opini diberbagai media yang dapat mencerahkan banyak orang. Semoga. Salam Mahasiswa.
Sugeng says
Memang seharusnya mahasiswa menjadi agen perubahan dan bukan menjadi agen provokasi yang sering merusak fasilitas umum. Selamat atas prestasi yang bisa menjadi agen perubahan setidaknya bagi diri sendiri 😆
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
AMYunus says
Wah ternyata memang jago nulis ya si mbak ini
Ayi says
nah, yg ini saya sangat setuju, kenapa harus mendewakan koar-koar dijalan dari pada duduk menarikan jemari. yah, mungkin karena kita lupa kenapa Tuhan mencipta satu mulut dengan dua telinga 🙂
Aulia says
Selain opini, argumentasi yang kuat lengkap fakta sekitar layaknya “agent of change” juga patut diperhitungkan, terlebih dari itu adalah aksi, implikasi dalam kehidupan sehari-hari 🙂
Hidup Mahasiswa!
auraman says
salut denganmu mbak,.. perubahan itu memang penting apalagi perubahan menuju kebaikan, jangan sampai mudah terpengaruh dan mudah di provokasikan,.. ayo rubah nama mahasiswa yang sekarang sudah di cap suka ribut antar jurusan bahkan satu kampus ck ck
Fahrie Sadah says
Senjata perubahan kita dengan menulis ..! keep writing
awitara says
salu buat lisa. Diantara mahasiswi, yang pernah tulisannya saya baca cma kmu. sangat menari,runtut dan tidak belepotan,,hehe.
dikampussaya pun seperti itu, saya juga penggiat persma kampus. animo mhasiswa/mahasiswi begitu minim, apalahi mau beropini di mediasekelasmedia cetka(koran).
Menrik sekaligus tepat saya berkunjung kesini. saya juga penulis aktif di media cetak lokal di Bali, tentunya tulisan yang saya kirim pun seperti lisa. harus berhadapan dengan orang yang lebi diatas keilmuan saya. belum lagi harus mengangkat tulisan di luar konteks keilmua saya, namun acapkali itu lah tantangannya. salam kenal ya lisa,,,,
Suakcot says
Bgus opininya,emanx pnter,
yasirmaster.Blogspot.Com
rumah dijual says
opini asukan yang asangat bagus tw,,, 🙂
johan says
cukup menginspirasi kita bersama, opini bagian dari ide kita, bebas beropini, berbas berkarya, namun tetap bertanggung jawab
Poen says
Teruslah berusaha dan berjuang karena Kegagalan itu biasa… Keberhasilan yang luar biasa bagi kehidupan kita