Masih segar dalam ingatan masyarakat Aceh, tragedi berdarah yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah pada 26 Desember 2004. Bencana yang menelan korban jiwa dan harta yang tak ternilai harganya, menyisakan mimpi buruk tidak hanya bagi masyarakat Aceh tetapi seluruh bangsa Indonesia. Tidak ada seorang pun menyangka bahwa minggu pagi yang cerah itu berubah menjadi malapetaka hanya dalam waktu kurang dari 1 jam. Ketegaran dan kemauan keras dari semua komponen masyarakat Aceh dan bantuan-bantuan yang mengalir dari berbagai pihak, membuat matahari mulai bersinar di Tanah Rencong. Wilayah-wilayah yang pada 26 Desember 2004 silam diluluhlantakkan gempa dan gelombang tsunami, kini sedikit demi sedikit mulai direhabilitasi. Walau, hal itu tentu tidak mudah, mengingat sangat banyak sektor yang harus dibenahi, terutama perumahan tempat tinggal masyarakat Aceh.
Pemerintah Indonesia tentu tidak tinggal diam. Berbagai solusi diupayakan untuk pembangunan kembali berbagai infrastuktur di Aceh. Salah satu langkah konkrit yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias pada 16 April 2005. Sayangnya, setelah 2 tahun lebih BRR berdiri, tidak memperlihatkan kinerja yang memuaskan. Lembaga yang diharapkan menjadi ujung tombak pembangunan kembali Aceh dan Nias pasca bencana tsunami ini ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ada proyek yang terbengkalai, ada pula yang tidak disukai para korban.
Seperti rumah ukuran 6 x 3 meter di salah satu kawasan Lingke, Banda Aceh. Rumah itu tampak memprihatinkan. Kondisinya rusak parah. Dinding rumah yang terbuat dari batako kini sudah retak-retak. Lantai semennya mulai mengelupas. Pintunya pun sudak koyak. Rumah itu milik Alimuddin, salah seorang korban tsunami yang menyapu Aceh. Padahal, Alimuddin baru menghuni rumah itu akhir tahun lalu.
Alimuddin mengaku kecewa terhadap rendahnya kualitas rumah bantuan bagi korban tsunami . “Walaupun nggak dapat rumah, BRR kasih uang rehab pun kami bisa (mengerjakan sendiri). Kalau masuk rumah sudah retak. Semalam pun baru gempa. Teras ini tipis sekali, sudah pecah-pecah. Kamar mandi nggak ada. Air… tidak ada sumurnya. Dapur nggak ada juga. Sekarang setiap sudut ada retak…” tutur Alimuddin.
Ironis, tetapi begitulah realitas yang terjadi di Aceh. Ibarat bunga, rumah-rumah yang dibangun itu layu sebelum berkembang alias rusak ketika hendak ditempati. Padahal, Aceh adalah bagian dari rangkaian Sirkum Pasifik yang menjadikannya daerah rawan gempa. Oleh karena itu, seharusnya kualitas rumah benar-benar diperhatikan.
Jika dibandingkan dengan korban tsunami lain, nasib Alimuddin tergolong mujur. Setelah dua tahun bencana tsunami berlalu, fakta menunjukkan masih banyak korban yang tinggal di barak pengungsi. Rusliadi, warga Lhoknga, Aceh Besar, hingga kini masih tinggal di barak pengungsian bersama anak semata wayangnya. Istri dan dua anaknya yang lain hilang ditelan gelombang raksasa dua tahun silam. Rusliadi mengaku belum menerima bantuan apa pun dari BRR Aceh dan Nias. Pria yang kini tinggal di barak dekat Masjid Istiqomah, Keude Bieng, Banda Aceh, tampaknya sudah bosan mengharapkan bantuan rumah. “Kalau dikasih rumah, ambil. Kalau nggak, ya sudah. Apa kita bilang?” katanya pasrah. Mungkin ia sudah terlalu lama menunggu hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti berharap. Wajar, ia berkata seperti itu. Kondisinya sekarang mengharuskan ia menempati barak berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu dan hanya dilengkapi fasilitas dua tempat mandi yang sekaligus merupakan tempat mencuci dan kakus. Selain itu, terdapat 160 kamar yang masing-masing berukuran 2×2 meter dan di bawahnya terdapat genangan air kotor. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau banyak pengungsi yang menderita diare, kudis, dan berbagai penyakit kulit yang disebabkan sanitasi yang buruk di lingkungan barak.
Saat ini, banyak orang yang mempertanyakan kinerja BRR. Komitmen dan kompetensi badan pemerintah ini perlu ditinjau ulang. Banyak tempat yang mengalami kerusakan parah akibat bencana tsunami belum juga pulih, salah satunya Ulee Lheu. Bahkan para korban tsunami di Ulee Lheu masih tinggal di barak-barak pengungsi.
Suatu siang dipenghujung Desember 2006, ketika saya berjalan-jalan sendiri sambil menikmati pemandangan laut Ulee Lheu pascatsunami, saya bertemu dengan seorang wanita yang benama Khadijah. Saat itu, ia sedang mengujungi bekas rumahnya di Pantai Cermin, Ulee Lheu yang hancur diterpa gelombang pasang dua tahun silam. Hingga detik itu rumah Khadijah masih rata dengan tanah. Saya bertanya perihal pembangunan rumahnya. “Ngga,.. saya tidak pernah meminta agar rumah saya dibangun lagi. Sedih rasanya. Sedih…” jawab Khadijah dengan linangan air mata.
Kenyataan menunjukkan bahwa kinerja BRR masih tersendat. Seperti yang diungkapkan Llianne Fan, Senior Policy Coordinator Oxfam, LSM internasional yang memiliki program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. “Dari segi rekonstruksi fisik, saya kira perkembangan dan pencapaiannya yang sudah dilakukan di sini bisa dikatakan berjalan. Saya tidak bisa katakan lancar.”
Fasilitas-fasilitas umum hinga kini juga belum pulih. Seperti jalan-jalan yang rusak akibat gempa dan tsunami sepanjang 3.000 km, baru diperbaiki 490 km. Jembatan yang direhabilitasi sebanyak 41 buah, dari total kerusaakan 120 jembatan. (BRR, April 2006)
Menurut juru bicara BRR, Rufriadi, lembaganya bekerja cukup cekatan, tak selambat yang dikatakan orang. “Sebenarnya tidak lamban di BRR. Saya tidak mau mencari pembenaran. Areal kerusakannya luas. Kalau kita hitung mulai dari Jakarta sampai ke Surabaya luasnya. Tapi memang dalam dua tahun ini BRR bersama pemerintah daerah sudah bekerja luar biasa,” kata mantan pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh ini.
BRR telah membangun lebih dari 57 ribu rumah, dari total 128 ribu kebutuhan rumah korban tsunami. Yang sedang dicanangkan mencapai 22 ribu. Badan ini menargetkan untuk menyelesaikan pembangunan 128 ribu rumah di tahun 2007 ini. Namun, BRR mengalami banyak kendala dalam usaha pembangunan rumah tersebut
Hambatan utama dalam pembangunan kembali Aceh adalah hilangnya data kepemilikan tanah. Tsunami telah menghancurkan sertifikat-sertifikat tanah, termasuk catatan kepemilikan hak atas tanah di kantor badan pertanahan setempat. Tidak jelasnya kepemilikan tanah telah menimbulkan konflik. Rufriadi meminta pemerintah membuat peraturan perundang-undangan khusus untuk menyelesaikan konflik pertanahan di Serambi Mekah.
“Bukan hanya jalan, membuat permukiman baru itu juga harus ada peraturan tentang masalah tanah. Juga penting, artinya bagaimana membuka permukiman baru, mengganti tanah masyarakat yang terendam air. Kalau mau merujuk kepada UU Agraria, tanah musnah itu tidak diganti. Tetapi ketika orangnya masih hidup, tanahnya sudah tidak bisa lagi, jawabannya seperti apa?” kata sarjana hukum lulusan Universitas Syah Kuala ini.
Selain itu ulah nakal kontraktor menjadi penyebab dominan lambannya paket pembangunan perumahan dalam proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh. Umumnya persoalan terpicu kerena adanya budaya men-sub-kan pekerjaan, atau ulah agen proyek dikalangan kontraktor yang sudah membudaya, baik kontraktor lokal maupun kontraktor yang datang dari luar Aceh.
Kini dua tahun sudah bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Desember kelabu, begitulah ungkapan miris yang terucap saat teringat bencana Tsunami. Memang, Serambi Mekkah masih harus menempuh perjalanan panjang untuk pulih seperti sediakala. Namun, tanpa uluran tangan para dermawan dan dukungan pemerintah, hal ini mustahil terwujud. Hanya dengan tekad dari semua pihak, Aceh dapat kembali seperti dulu. Kapan? Biarkan waktu yang menjawabnya.
Leave a Reply