“When I admire the wonder of a sunset, or the beauty of the moon, my soul expands in worship of the Creator.” – Mahatma Gandhi
Senja itu, saya kembali bisa melihat matahari tenggelam yang begitu memukau. Menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana pusat tata surya itu terbenam di ufuk barat sungguh membuatku takjub akan kebesaran Yang Maha Kuasa. Ia yang pada siang terlihat putih berubah menjadi kuning dan bulat serta memancarkan cahaya merah saga. Lautan yang sebelumnya memantulkan warna langit yang biru kini berubah menjadi jingga. Indah sekali.
Sebenarnya, saya tidak memiliki rencana khusus untuk melihat sunset. Hanya saja sore itu, Bang Thunis mengajak saya yang beberapa hari ini hanya berkativitas di rumah untuk mencari jagung rebus di Pantai Ulee Lheu, salah satu pantai yang teletak di Kota Banda Aceh. Selain merupakan salah satu pelabuhan yang ada di Aceh, pantai Ulee Lhe juga menjadi tempat rekreasi keluarga. Sore hari adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu di sana sambil makan jagung, menyeruput air kelapa muda, dan menanti matahari tenggelam.
Sayangnya, semua lapak pedagang di trotoar Ulee Lheu hanya menjual jagung bakar. Tidak ada jagung rebus di sana. Para penjual jagung dan kacang rebus yang menggunakan gerobak juga tidak terlihat sore itu. Akhirnya, kami pun berbalik arah. Bukan ke jalan pulang melainkan jalur yang tembus ke Lhok Nga, Aceh Besar. Tujuannya masih sama, mencari jagung rebus. Tapi tak ada jagung rebus di sepanjang jalan menuju pesisir pantai itu.
Baca Juga: 6 Jenis Mie Aceh yang harus kamu tahu
Hari semakin gelap dan perjalanan kami telah jauh meninggalkan Banda Aceh.
“Bagaimana kalau kita makan mie Luepung saja?” usulku di tengah perjalanan.
Bang Thunis setuju. Sudah lama kami tidak menyantap Mie Leupung yang terkenal dengan kelezatannya. Dengan mengendarai sepeda motor, kami terus melaju melewati Lhoknga. Pabrik Semen Lafarge kami lalui dan di sela-sela cemara yang tumbuh di sepanjang pantai terlihat matahari mulai tenggelam. Tidak terasa kami sampai ke Luepung dengan menempuh jarak sejauh 40 km.
Melihat sunset langsung di tepi pantai sungguh sangat berbeda dengan sunset di tengah pemukiman. Hamparan laut yang luas seakan menjadi cermin yang merefleksikan cahaya matahari senja. Ditambah lagi dengan camar yang berterbangan dan nyiur yang melambai menjadikan suasana sunset di pantai Leupung sungguh memesona.
Ketika adzan magrib berkumandang, kami pun tiba di warung Mie Aceh yang terletak di pinggir jalan raya. Sangat mudah menemukan warung yang terletak tidak jauh dari mesjid dan Kantor Polisi Leupung yang pernah dihebohkan dengan penembakan teroris beberapa tahun silam. Namun, warung ditutup sementara waktu sampai magrib selesai. Pelayan warung mempersilakan kami untuk shalat di mushalla yang terletak di belakang. Baru setelah shalat, kami disuguhi mie Aceh yang sangat nikmat.
Ada keinginan untuk memesan Mie Kepiting ketika melihat kepiting ukuran besar di dalam kaca berbentuk balok di samping rak mie. Tapi saya urungkan karena mengingat bayi di kandungan. Ya, ibu hamil sebaiknya menghindari konsumsi seafood karena ditakutkan bisa menimbulkan alergi. Begitu pun dengan Bang Thunis, ia hanya memesan mie tumis karena kakinya sedang diserang asam urat akut.
Meskipun hanya menyantap mie tanpa sea food, tapi rasanya sungguh nikmat. Jika tidak memikirkan jarak yang hampir 40 km dari Banda Aceh, sudah setiap minggu saya ingin makan mie di sana sambil melihat sunset.[]
Oh ya, Upadate diikit, buat yang mau masak sendiri mie Aceh, sila baca di link ini: Cara Masak Mie Aceh.
cumilebay.com says
Sunsetnya keren dan mie aceh nya bikin ngilerrrrr. Mie kepiting pasti makin juara 😉
Liza Fathia says
Asam urat kak 🙂
Aulia Fitri says
mie leupung memang terkenal versi kuah ‘meuleuhop’ apalagi jika jalanan sepi jelang maghrib bisa mendengarkan bunyi suara makhluk yg senada, darud kleng, cicem, dan lainnya 😀
Liza Fathia says
Kabeutoi nyan bang aulia, cukop mamgat dan lee that suu darut
niaharyanto says
Sunset dan mienya bener-bener menggoda. Aceh memang eksotik. Pengen ke Aceeeeh. 🙂
Liza Fathia says
Ayoo ke Aceh
sundhe says
Subhanallah, indahnya.. teringat terakhir x ke pantai lhoknga adalah 2 minggu sebelum tsunami, dan setelah itu belum pernah lagi sama sx. Jadi.. bisa dikatakan baca tulisan Liza x ini adalah salah 1 cara menghilangkan rindu akan pantai tersebut 😉
Liza Fathia says
Dhe kapan pulang ke aceh?
sundhe says
Insya Allah secepatnya 😀
Liza Fathia says
Sama aja mbak Lydia. Tapi di Aceh mana ada mie aceh sama seperti Jakarta mana ada nasi goreng Jakarta 🙂 disini nama mie Acehnya berdasarkan nama pembuat atau nama tempat
sundhe says
Iya za, itu komentar yg di blog Dhe tadi dah 6 tahun yang lalu, hehehe 😀 dan sekarang dah ga pernah ketemu *di dumay* lagi sama bang Alex itu, Blognya sekarang apa za? Liza tau??
Liza Fathia says
Lupa liza nama blognya. Dulu pernah beberapa kali berkunjung waktu di tintamerah. Sekarang udah ganti, entah apa
Makmur Dimila says
Saya sering lewat depan warung mi itu, tapi tak pernah singgah. 🙁 Ke depan harus coba nih.
Fardelyn Hacky says
Omaaaaaaaann….bikin hawa. tijoh ie babah teuh
Liza Fathia says
Woe laju, pakat ayah abel
Idah Ceris says
Cantik bgtt jingganya, Mba.
Saya pernah icip mie aceh, tapi gak di Aceh. Pingin yg langsung di Aceh.
konveksi seragam jaket kaos says
aceh memang indah..
Anis Hidayah says
Mie nya kelihatannya enak, kayaknya ada kecapnya dan rasanya gimana gitu (edisi sok tau), hehe
servis airgun says
pengen hunting kuliner yg unik