Dinginnya udara pagi Tangse menyusup dengan lembut ke pori-pori kulitku. Membuatku merinding dan enggan untuk beranjak keluar dari rumah. Tapi aku harus pergi. Kembali ke Banda Aceh dan say good bye untuk keluargaku. Ujian blok Childhood and Adolescent telah menantiku. Tak peduli hari-hari masih dalam suasana lebaran Idul Adha, dan tak peduli mentari masih enggan tuk tersenyum, ujian yang tianggal menghitung jam telah menantiku.
Liburan kali ini hanya kuhabiskan dengan medekam di dalam rumah (bersemedi euy!). Hujan yang tak kunjung reda membuat udara Tangse yang telah dingin semakin membuatku menggigil dan mengurungkan niatku untuk keluar rumah. Sampai-sampai tetanggaku tidak tahu kalau aku telah pulang.
“Dek Nong pajan woe?” (Dek Nong, kapan pulang) Tanya setiap orang yang kutemui.
“ Udah beberapa hari.”
“Wah, ngga kelihatan ya!”
I Love Rain….
Ya iyalah, seharian hujan terus saja mengguyur bumi. Memang seperti itulah yang kualami setiap pulang kampung. Orang-orang di seluruh desa yang kutemui akan menanyakan kapan aku pulang. Senangnya diperhatikan seperti ini. Dan tak akan kudapatkan di tempat lain. Walau terkadang lidah ini telah kelu untuk menjawab pertanyaan yang sama, tetapi aku senang.
I love rain. Walau mbak Diah sering mengatakan, “ perasaan mbak sering ngga enak kalau hujan, Liz. Feeling blue gitu. Terbawa suasana.” Ya, di saat hujan seperti ini akan mengingatkan kita pada kenangan indah masa lalu. Suasana yang romantis yang telah terlewatkan. Yang sabar ya Mbak Diah. Semua pasti ada hikmahnya.
Hujan tetap saja menghiasi hari-hariku selama di kampung halaman. Kabut menjadi hiasan indah pegunungan di belakang rumah. Pemandangan pilu melihat petani yang dengan susah payah mengangkut padi yang baru selesai dipanen agar terhindar dari guyuran hujan.
“Kasihan para petani,” ucap mamaku, “ padi yang telah selesai dipanen telah tumbuh karena tidak ada cahaya matahari untuk menjemurnya.”
Banyak padi yang telah tumbuh karena lembab. Rumah-rumah yang tinggi dan terbuat dari kayu menjadi tumpuan. Seperti Rumoh Aceh, atau rumah panggung lainnya yang dapat digunakan untuk mengangin-anginkan padi yang basah.
Katika matahari telah menampakkan geliginya, maka petani itu dengan cepat langsung menjemur padi mereka. Tak peduli walau tak lama kemuadian hujan kembali membasahi bumi. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau beras Tangse yang terkenal itu tak ada lagi. Naudzubillah.
seorang nenek sedang menelurusuri jalan dalam hujan
Driver Idol…
Rasanya enggan untuk kembali ke Banda Aceh. Membayangkan suasana ibu kota provinsi yang hiruk pikuk dan juga panas itu membuatku semakin cinta akan kampung halamanku yang masih asri. Tapi mobil L300 bang Hasan telah mengaungkan mesinnya di depan sana . Beberapa kali klakson dibunyikan.
“Oh bang Hasan, kenapa cepat sekali kau membawaku pergi.”
Bang Hasan. Siapa sih yang tidak mengenal sosok lelaki yang berperawakan gemuk, berkulit sawo matang, dan berkumis tebal itu? Seluruh penduduk Tangse mengenalnya. Mulai dari nenek-kakek, bapak-ibu, abang-kakak, adik-adik, bahkan bayi yang baru lahir pun mengenalnya (sedikit hiperbolis). Supir L300 yang setiap harinya mengantarkan penumpang dari Tangse-Banda Aceh dan sebaliknya. Dia seolah menjadi idola setiap penumpang yang berasal dari Tangse. Sosoknya yang ramah dan ngga neko-neko membuatnya memiliki nilai lebih dibanding supir-supir yang lain. Maka, jangan heran kalau aku pun ikut menjadi penumpang setianya.
Perjalanan menuju Banda Aceh cukup mengesankan. Walaupun telah sering kali aku berlalu-lalang Tangse-Banda Aceh, tapi tak membuatku bosan menikmati karunia Ilahi terhadap tanah kelahiranku. Rindangnya pepohonan menghiasi sepanjang jalan. Sayup-sayup angin pegunungan memasuki kaca mobil yang kutumpangi sehingga seluruh tubuhku menjadi dingin. Sangat segar rasanya. Walaupun di beberapa ruas jalan terdapat gundukan tanah akibat longsor tak membuat keindahan alamnya hilang. Malah semakin indah ketika bau tanah menyelinap masuk ke indra penciumanku.
Hujan belum menunjukkan rintikan airnya. Semoga saja hari ini cerah dan petani di desaku bisa menjemur padi hasil panennya. Di balik pegunungan Singgah Mata, matahari mulai menampakkan wujudnya walaupun kabut masih sedikit menutupi.
Durian, sedapnya…
Dan aku pun meninggalkan tanah kelahiranku. Ups, aku teringat sesuatu. Aku lupa mencicipi durian yang malam kemarin jatuh dari pohon. Padahal aku telah menyimpannya dengan baik biar tak ada seorangpun menjamahnya (keluar deh pelitnya). Tangse sedang musim durian. walaupun tidak banyak. Di pohon yang terletak di samping rumahku ada lima buah yang tersenyum setiap pagi ketikaku menatapnya. Yang jatuh malam itu adalah buah perdananya. Hiks. Aku ngga sempat makan durian itu ( semoga iya tetap setia menunggu kepulanganku di liburan berikutnya).
sedapnya durian
Tanpa terasa aku telah meninggalkan Tangse. Udara yang panas dan menyengat telah menyambutku dengan kasarnya. Terlebih lagi ketika menginjakkan kaki ke Banda Aceh. Panas euy. Tapi, semua itu adalah karunia Ilahi yang harus disyukuri. Dingin dan Panas sama saja. tetap membuatku bernafas. Semakin banyak mengeluh hanya membuat rasa syukurku menjadi menipis.
LIZA says
HALOOOO
Anonymous says
keren kannnn???
liza fathiariani says
hah? paken haan muephom? beu meupkom laju
Anonymous says
Cie peugah lam bahsa nanggroe ilee haba nyoe,,,
Uloen tuan hana muphom ngon bsa malayu nyoe,,,
Anonymous says
calon dokter dari tangse nih? mudah2an ga lupa asal ya, seperti kebanyakan dokter sekarang yang pada mabuk ngejar duit.
adhari says
tangse ya….
tempat yg kemaren tu sempat menjadi tujuan wisata aq….tapi akhirnya ga jadi deh!!!
jadi semakin kepingin ni ke tangse….
t_ardhan says
wah wah…
perjalanan yang luar biasa…
apalagi ada duriannya….. 😀
liza fathiariani says
hehhehe,..makasih t ardhan..
Anonymous says
mau ke tangse jugaa
Anonymous says
LIZA WATEI NA WOE U GAMPOENG BEK TUWO PUWO BOH DRIEN TANGSE BEH,,,mamad_la80@yahoo.com
http://zalmaqu.blogspot.com/ says
Greats..tulisan liza tentang Tangse sangat bagus
Jaya Selalu Tangse ku yg indah
fahrizal zakaria