Dua karung besar. Kayu panjang. Suatu siang di perempatan jalan.
Awalnya saya mengira dua karung plastik besar yang isinya penuh dengan botol bekas, kantong plastik, dan tempat cat, yang sudah tidak layak pakai itu adalah sampah. Entah siapa yang membuangnya di perempatan jalan masuk ke rumahku. Terbesit niat untuk memindahkan ke tempat sampah, dari pada di jalan pasti tak elok dipandang.
Belum pun niat itu saya jalankan, seorang bocah yang memakai baju putih dan didadanya tertulis nama caleg salah satu parpol, datang dan mengambil karung besar itu. Dipikulnya karung itu dengan kayu yang memang terletang di tempat yang sama. Ketika melihatku bocah itu tersenyum. Kacamata hitamnya dibuka dan tersenyum sambil memperlihatkan deretan gigi yang kuning. Lalu ia pun pergi sambil melafazkan “Ngeng, ngeng, ngeng, ngeng.”
“Dia meniru terompet penjual roti yang sering lewat jalan ini setiap pagi,” ungkap Rasyidah, tetangga saya yang rumahnya langsung berhadapan dengan jalan.
Ada-ada saja tingkah bocah yang dipanggil Cut Mad itu. Karung besar dan kayu ia umpamakan tempat menaruh roti yang dipikul penjual. Lalu suara “ngeng, ngeng” itu menjadi pengganti terompet yang kerap dibunyikan ketika sang penjual roti melewati perumahan.
Tak hanya itu, Cut Mad juga sering berdiri di perempatan jalan sambil menengadahkan kardus mie instan pada setiap orang yang lewat di depannya. Dan tahukah apa maksud dari tingkahnya itu? Ia meminta sedekah dari pengguna jalan karena beberapa waktu lalu ia melihat bapak-bapak yang meminta sumbangan di jalanan sambil menengadahkan kardus untuk pembangunan mesjid.
Sebenarnya Cut Mad tidak bisa digolongkan anak-anak lagi. Umurnya sudah lebih dari dua puluh tahun. Tapi karena keterbelakangan mental yang di deritanya membuat Cut Mad berkelakuan layaknya anak kecil. Ia menderita down syndrom. Tandanya terlihat jelas dari bentuk wajahnya yang menyerupai orang mongol (mongoloid). Kepalanya relatif lebih kecil dari normal. Lidahnya tebal dan pendek sehingga sulit bagi kita untuk memahami maksud dari perkataannya.
Menurut saya, Cut Mad adalah penderita retadarsi mental yang cukup kreatif. Buktinya ia dapat meniru apa saja yang menurutnya menarik. Tak hanya menjadi penjual roti dan peminta sumbangan, lelaki ini juga terkadang suka mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual. Pernah juga saya pangling dibuat bungsu dari lima bersaudara ini. Hari itu, dari balik kaca jendela, saya melihat seorang laki-laki muda dengan pakaian klimisnya, kemeja lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana blue jeans panjang, bersepatu sket, dan kepala terutup topi pet. Di tangannya ada sebuah buku dan bolpoin. Ia berjalan terus ke arah rumah dan berhenti di depan pintu. Lalu, ia menghadap ke dinding dan menengadah, melihat meteran listrik dan mencatatnya. Penasaran, saya pun membuka pintu. Dan tahu siapa lelaki pencatat meteran listrik itu? Ya, dia adalah Cut Mad.
Gayanya yang sangat mirip dengan petugas PLN yang kerap datang ke rumah warga untuk mencatat pemakaian listrik. Saya geleng-geleng kepala melihatnya dan ia seperti biasa, tersenyum sambil menunjukkan kertas yang berisi tulisan tidak jelas. Pasti dia meniru petugas PLN yang pernah bertandang ke rumahnya.
Cut Mad memang sering berdandan sangat rapi. Lebih rapi dari kita yang normal. Dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana jeans lengkap dengan tali pinggang, kacamata hitam, sebatang pena yang diselipkan pada kantong baju, topi pet yang tak pernah lekang dar dan ponsel mainan yang digantung di pinggang. Sangat necis.
Kalau dilihat sekilas, orang-orang tak menyangka kalau Cut Mad adalah anak yang menderita kelebihan kromosom 21. Tak jarang ketika ia mangkal di perempatan jalan, orang-orang menanyakan alamat padanya. Lalu dengan pe-denya Cut Mad menjelaskan alamat yang dimaksud dengan bahasanya. Setelah itu orang baru paham kalau Cut Mad menderita keterbelakangan.
Jika dilatih, saya yakin Cut Mad lebih bisa mandiri dan kreatif dari saat ini. Sayangnya, ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jangankan untuk menyekolahkan Cut Mad, abang dan kakaknya yang normal saja hanya mampu menamatkan sekolah dasar.
Selain itu, persepsi masyarakat terhadap penderita down syndrome masih buruk. Tak jarang Cut Mad dan penderita yang lainnya dikucilkan di masyarakat. Mereka kerap mendapatkan predikat “bodoh” dan “idiot” yang tak mampu berkreatifitas. Padahal mereka menderita sindrom down yang jika terus menerus dilatih akan menjadi anak yang mandiri dan mampu beraktivitas layaknya orang normal.
Selamat hari sindrom down sedunia. Happy world down syndrom day, 21-03-2015. Don’t count their chromosomes, but see their abilities.
Danan Wahyu Sumirat says
aku jadi inget bapak2 tua di stasisun bus Komtar Penang. Dari ciiri wajahnya dia memiliki kelainan down syndrom. Tiap hari kerjanya menjual fotokopian rute dan orang membayar seiklasnya saja.
Pada dasarnya tiap manusia ditakdirkan spesial dan memiliki kemampuan bertahan hidup
Liza Fathia says
Iya benar banget kak danan, tapi terkadang banyak yang diberikan fisik yang sempurna mengucilkan mereka. Padahal setiap manusia ada kelebihan dan kekurangannya
Danan Wahyu Sumirat says
Eh Aku ada Cerita di Penang kmrn ketemu resort yg seluruh keuntungan utk ngurusin anak2 down syndrome… Jujur Aku terharu bgt, resortnya satu komplek DG sekolah anak2 down syndrom
Liza Fathia says
Wow, keren banget kak. Tulis kak, mumpung lagi momen yang pas
Danan Wahyu Sumirat says
Pengen sih tapi Aku lagi males bgt wakakaka
Liza Fathia says
Yaelah, kak danan si tukang jinjing hermes didera kemalasan. #tepokjidat 🙂
mita says
“Spesial” itu indah, terkadang kita bisa belajar dari kehidupan mereka.
Liza Fathia says
Betul kak.
Liza Fathia says
Betul2
rahmiaziza says
Mbak, aku pikir namanya cut itu perempuan, ternyata laki hehe. Klao ortunya ngga mampu barangkali ada yayasan sosial yang bisa dititipi ngga ya mba, sayang sekali kalau memang dengan pendampingan dan pelatihan terus-menerus cut mad bisa lebih baik
Liza Fathia says
Cut dalam bahasa aceh bisa berarti kecil atau paman mak. Jadi cut mad itu sebenarnya panggilan keponakan si Mad ini utk dia…semoga kedepan bisa berubah ya mak
Indah Sulistyowati says
Sayang sekali ya cut mad tidak di arahkan mencari potensi dirinya lebih dalam 🙁
“Don’t count their cromosome but see their abilities” <– like this quote 🙂
Liza Fathia says
Itulah mak, miris sekali memang. Walaupun sekarang sudah ada sekolah inklusi, tapi diskriminasi tetap saja terjadi
rosimeilani says
Emang sering kali di negri kita orang seperti Cut Mud dikucilkan.
Atau, malah ada pula, keluarga yang tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Dengan alasan, aib, malu sama tetangga, takut diolok-olok dan sebagainya.
Padahal kalau sedari kecil dibiasakan berinteraksi dan memperlakukan mereka layaknya orang normal, saya rasa orang-orang seperti Cut Mud ini tak jauh beda dengan kita yang normal (dalam bersosialisasi)
Liza Fathia says
Benar mak. Di negara kita masih saja me diskriminasikan orang2 seperti cut mad.
inda chakim says
Cut mad sebenarnya memiliki potensi ya mak…cb kalau diarahin pasti bs jd wah..
Tfs ya mak..n slm semangat bwt cut mat 🙂
Liza Fathia says
Betul mak…
indah nuria Savitri says
saya belajar banyak saat menghadiri peringatan world down syndrome day di UN Headquarters..they might be different, but they are differently able..
Liza Fathia says
Betul maak. Mereka sebenarnya mampu seperti kita, tapi diskriminasi kerap sekali terjadi lebih2 di daerah pinggiran yang tingkat pendidikan masyarakat masih rendah
Pendar Bintang says
Saya membayangkan bagaimana mereka, sepertinya mereka seperti halnya penderita autis bisa hidup dg normal.
Salam 🙂
Liza Fathia says
Iya mak, sama saja sebenarnya. Cuma IQ mereka saja yang tidak sama seperti kita. Namun, jika dilatih, mereka bisa lebih baik
Irly says
Temen saya ada yang anaknya spesial kayak gini (4m) dan dia tidak menyembunyikan, di ceritain perkembangannya di FB, dibawa ke keramaian dengan baju couple bertuliskan i love down syndrome, upaya semacam ini memberi efek psikologis tersendiri untuk orang lain, karna orang tuanya sendiri tidak merasa malu terhadap anaknya…
Anak spesial=orang tua spesial, semoga semakin banyak cinta untuk mereka. ^^
Lidya says
ternyata ada hari perayaan khususnya ya. Semoga masyarakat lebih perhatian dan tidak mendeskriminasikan mereka ya
Bai RUindra says
Kisah yang menarik Liza. Ada sebagian orang yang “malu” karena persoalan ini. Saya melihat sendiri bagaimana orang tua mengucilkan anak autis; entah karena alasan apa. Padahal jika dilatih mereka menjadi spesial bukan?
fauziqbal says
Inspiratif banget. Tak hanya DS yang sering kurang dihargai, penyandang Autisme kadang juga demikian. Semoga semakin banyak yang peduli
🙂
Lookman says
Biasanya penyandang Autisme justru mempunyai lebih banyak bakat, walaupun belum begitu tereksplore mereka tetap berusaha menunjukkan betapa specialnya mereka LIKE!
nurdiana26 says
nice posting mba..
obat kanker serviks
konveksi seragam jaket kaos says
artikelnya sangat menginspirative , thanks
fernanindhita says
Nice article liza. Keep writing ???
Liza Fathia says
Makasih kak dhita