Saya merasa terhenyak saat membaca berita di harian Serambi Indonesia edisi Minggu (27/09/ 2015) kemarin, tentang Nurul, seorang anak kelas 4 SD asal Keunaloe, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar yang harus kehilangan nyawa setelah dikeroyok oleh teman sekolahnya. Kejadian ini sungguh di luar akal sehat, bagaimana mungkin anak-anak SD tersebut bisa berperilaku demikian sadis, mereka memukul teman sepermainan sehingga nyawa menjadi taruhannya.
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Tidakkah kekerasan terhadap anak tersebut bisa dicegah? Dari mana anak-anak tersebut belajar melukai orang lain? Tidakkah orang tua dan guru mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang sesama manusia? Menapa di usia yang begitu muda mereka nekat berbuat sekejam itu?
Berbagai pertanyaan muncul di kepala kita yang pastinya bukan unuk mencari kambing hitam alias pihak yang layak disalahkah melainkan mencari akar masalah serta solusi agar kedepan tak ada lagi Nurul-nurul kecil yang harus kehilangan nyawa akibat dikeroyok teman di sekolahnya.
Beragam praduga muncul di kepala. Apakah anak laki-laki yang memukul Nurul tersebut terinspirasi oleh yang mereka tontoni? Entah itu tayangan televise atau game di media elektronik? Jika iya, ini adalah pertanda bahwa tayangan televise baik itu sinetron, film, iklan, atau berita yang bertema kekerasan tersebut sangat tidak layak ditonton oleh anak di bawah umur.
Harus diingat bahwa salah satu ciri anak kecil adalah suka berimitasi alias suka meniru, jika mereka menikmati adegan kekerasan di televisi atau dari permainan, bukan tidak mungkin mereka akan melakukannya di alam nyata.
Salahkah guru?
Sangat naif jika dengan kejadian ini kita menyalahkan guru atau pihak sekolah secara sepihak, karena selain para siswa hanya menghabiskan kurang dari sepetiga waktunya di sekolah, mereka juga lebih banyak berinteraksi di lingkungan keluarga dan lingkungan rumahnya. Jadi disini, peran guru, orang tua, dan kita, masyarakat umum yang tinggal di lingkungan mereka adalah sama besarnya. Menyalahkan guru saja tak akan menyelesaikan masalah, karena saya yakin, guru pasti sudah memberikan yang terbaik untuk mendidik dan mengajar siswa-siswinya.
Langkah ke depan
Dengan status daerah istimewa, pemerintah dan pengambil kebijakan di Aceh seharusnya sudah harus menyiapkan aturan khusus mengenai pendidikan anak. Mulai dari yang sederhana seperti melarang game bertema kekerasan di tempat bermain video game online di seluruh Aceh, hingga mendidik para guru untuk lebih mengenal kelainan psikologis yang dialami oleh anak-anak sekolah, untuk kemudian di konsultasikan dengan psikolog atau psikiater anak.
Orang tua juga dianjurkan tidak lepas tangan dengan hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada pihak sekolah atau teungku (ustad), tempat anak mengaji, tetapi harus juga menjadi role model atau contoh yang baik bagi anak-anak mereka.
Liza Fathia says
setujuuu
Lusi says
Berita2 begitu selalu aku skip. Nggak tega.
Liza Fathia says
iya mbak, enggak tegaan