Jika biasanya kita sering mendengar orang bilang “cinta yag tertunda”, atau “keberhasilan yang tertunda” maka suami saya punya pengalaman “buka puasa yang tertunda”. Penyebabnya sangat sepele. Mau tahu bagaimana ceritanya?
Hari itu, saat sang suami hendak kembali ke tanah air, dia sudah siap dengan perbekalan berbuka seadanya, sebotol air mineral dan beberapa kue kering. Tetapi ketika selesai check in dan mau menuju ke gate untuk boarding pesawat, minuman yang dibawanya harus dikeluarkan, karena memang peraturannya tidak boleh membawa minuman dari luar ke dalam pesawat. Namun, minuman yang dibeli di bandara boleh-boleh saja (aneh ya peraturannya?). Nah, meski bisa beli minuman di bandara, suami saya memutuskan untuk minta minuman saja untuk berbuka saat dalam pesawat nanti.
Jadwal buka puasa hari itu adalah jam 21.37 malam. Kata suami, itulah puasa paling lama dalam beberapa tahun ini, karena mereka sudah sahur sejam jam setengah 3 pagi, suami saya biasanya sahur jam 12 malam, pulang dari tarawih di mesjid, jadi bisa dikatakan kalau ia puasa sekitar 20 jam lebih. Nah, hari itu, pesawat yang ia tumpangi take offnya jam 21. 25. jadi ketika waktunya berbuka puasa, pesawat baru saja take off. Tepat pukul 21.37, suami saya melongo keluar jendela pesawat, dan dengan jelas ia melihat cahaya matahari yang memang belum terbenam dari angkasa, jadinya, waktu untuk berbuka juga jadi lebih lama dibandingkan kita yang masih di bumi, kenapa begitu? Karena memang berbuasa itu sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Ketika kita berada dalam pesawat dan masih bisa melihat matahari, maka belum waktunya berbuka bagi kita, meski tempat dimana pesawat melintas sudah waktunya berbuka. Bagaimana dengan astronot yang terus menerus melihat matahari? Kapan waktunya mereka berpuasa dan berbuka, tanya ke pak ustaz saja deh, jangan kesaya 🙂
Balik lagi ke cerita suami saya, baru sekitar jam 11 malam, ketika pesawatnya sudah melewati eropa timur, sang pilot maskapai dari timur tengah ini membuat pengumuman,” buat mereka yang berpuasa, kini sudah saatnya berbukan”. Untuk memastikan, suami saya coba melihat keluar jendela pesawat, dan kali ini dia tidak lagi menemukan matahari, hanya sisa cahaya yang makin meredup yang bisa dilihatnya. Beberapa saat kemudian, seorang pramugari juga mendekat, dan memberikan sepaket makanan untuk buka puasa, isinya kurma yang telah dikeluarkan bijinya, setengah gelas air putih, beberapa kue dan itu saja. “alhamdulillah lah, dari pada harus minum white water saja” pikir suami saya.
Benar memang, kenikmatan yang paling nikmat bagi orang yang berpuasa adalah saat berbuka puasa. Meski hanya berbuka dengan segelas air dan sebiji kurma, rasa haus dan lapar sirna dengan segera, apalagi bagi mereka yang tinggal di eropa dan berpuasa hampir 20 jam dalam sehari, berbuka memang selalu nikmat, sekali lagi, meski harus tertunda karena pesawat take off.
jaklom says
wah, kesian banget suaminya ya?
Thoenis Private says
Tulisan lama sangat 🙂