Aku semakin merasakan hawa itu. Hawa yang terus menerus mengikuti sejak pertama sekali kuputuskan untuk memasuki gerbang yang kini menjadi bagian hidupku. Terkadang ingin aku berlari menjauhinya, tapi ia seakan tak henti-hentinya mengikutiku. Terus bersamaku.
Dulu sebelum memasuki gerbang yang kini mengurungku, aku pernah beberapa kali bertemu dengan hawa, bahkan aku pernah sekali sangat dekat dengannya. Ya, ketika aku melepaskan kepergian ayahku untuk selamanya. Kemudian aku kembali bertemu dengannya ketika gelombang pasang tsunami menghapus bersih Serambi Mekahku. Aku melihatnya tersenyum ke arahku.
Sekarang, ia telah mengekori setiap jejak langkahku. Menghantuiku, menemaniku, bahkan menyeretku ke ruangan yang penuh dengan teman-temannya.
Hari itu benar-benar takkan kuhapus dalam memoriku. Hari ketika hawa memaksaku untuk memasuki ruangan putih yang dipenuhi dengan puluhan temannya. Bulu kudukku berdiri tegak, adrenalinku melonjak, membuat denyut nadiku semakin cepat. Teman-temannya tersenyum ke arahku. Dan itu sungguh membuatku tak dapat menahan rasa takutku.
Ingin aku berlari dari ruangan yang menurutku tak beda dari tempat berkumpulnya orang-orang yang sebentar lagi dicabut nyawanya oleh Izrail. Namun, lagi-lagi hawa menahan langkahku. Aku hanya bisa terpaku ketika ruangan itu telah berlumuran darah, dipenuhi oleh jeritan, penuh dengan kesedihan, dan menyesakkan.
“Cepat, resusitasi!” sebuah suara menggelegar memecah ruangan.
“Airwaynya clear!” teriak suara yang lain
“Breathing dan sirkulasi spontan!” tambah suara yang lain.
“Circulationnya juga normal. Dia udah stabil.” Suara-suara itu melemah.
Satu teman dari hawa kulihat berlari menjauhi suara-suara itu.
“Apa-apaan kalian?” sebuah bentakan menggema ditengah kesesakan ruangan itu. bentakan yang tiba-tiba masuk dan menarik perhatian.
“Masak kalian biarin ayahku tergeletak sendiri di radiology? Dia udah ngga bisa membalikkan badan lagi! Kencingnya juga ngga keluar! Kalau terjadi sesuatu kubunuh kau!” bentakan itu mengancam seorang lelaki jangkung berbaju putih.
Hawa kembali tersenyum.
“Awas-awas!” sebuah tandu memasuki ruangan itu. sebilah pisau telah menancap di perut orang yang ditandu. Darah terus mengalir dari tempat tusukan. Orang itu tidak sadar. Hawa lagi-lagi menyungging bibirnya. Tersenyum.
“Hai, Za!” aku hampir saja terjatuh ketika sebuah tepukan mendarat di bahuku. Reflek aku menoleh.
“Melamun aja kamu!”
Aku tidak melihat hawa-hawa itu lagi, tapi aku dapat merasakan kalau mereka masih setia memenuhi ruangan ini. Kini, mereka telah digantikan dengan sekelompok manusia berbaju putih yang juga telah memutuskan memasuki gerbang yang sama denganku.
“Udah selesai mengobservasi?” sebuah suara berat keluar dari barisan manusia berbaju putih itu.
“Udah, dok!” jawabku
“Apa yang kamu lihat, Liza?”
“ Hawa kematian,” jawabku cepat.
ferza says
mati..merupakan kepastian..siapapun akan merasakannya..dia tidak akan pernah bia di majukan dengan kecelakaan atau dimundurkan dengan cara mencegah kecelakaan…
ijal says
bukankah antara hidup dan mati itu sungguh dekat??
Tangse says
ya,..kullu nafsin zaikatul maut,.. setiap yang bernyawa pasti merasakan mati
ngepot says
help me…
http://yadikiswoyo.blogspot.com/2009/03/help-me.html
Anonymous says
what can I do 4 u ngepot?
ben says
semua orang tahu bhw semua orang pasti akan mati, tetapi tak seorangpun menyatakan siap untuk itu.
Ardi says
Yang penting sebelum mati klo bisa nikah dulu.
Kerana nikah itu enaknya cuma 1%, 99% nya enak buangeett..hehe
Anonymous says
@benz : bener banget bens
@Ardi : asyik mikir2 nikah
tengkuputeh says
Mati itu pasti…
Hawa kematian, frase yang bagus Liza. Sebuah kelincahan berbahasa…