Sepoi-sepoi angin laut terasa begitu nikmat saat kapal feri yang saya tumpangi mulai membunyikan terompet, pertanda akan berlabuh dari pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh menuju Sabang. Panas dan gerah cuaca di siang hari terganti dengan sejuk dan indahnya laut nan biru. Perjalanan laut selama satu jam setengah tidak terasa sama sekali sampai akhirnya saya menyadari bahwa kapal akan segera berlabuh di dermaga Balohan, Sabang.
Amboi. Dari radius beberapa puluh meter saja sudah terlihat indahnya pulau yang berada di ujung barat Sumatera itu. Di sekelilingnya terdapat hutan lindung yang berjejer di perbukitan. Air laut begitu jernih hingga refleksi pepohonan yang tumbuh di bibir pantai terlihat jelas. Pun terumbu karang yang tumbuh di dalam lautan tampak ke permukaan. Lelah selama dikapal langsung lenyap melihat panorama alam yang menakjubkan ini.
Siang hari tepat pukul satu saya tiba di dermaga. Para supir angkutan umum berbondong-bondong menawarkan jasanya pada setiap penumpang yang tidak membawa kendaraan. Karena membawa sepeda motor pribadi dari Banda Aceh, saya pun mengabaikan tawaran sang supir. Memang, jauh hari sebelum keberangkatan, saya sudah diingatkan oleh teman-teman yang pernah ke Sabang untuk membawa kendaraan pribadi. Selain bisa menghemat pengeluaran, dengan adanya kendaraan pribadi kita bisa puas menikmati indahnya pemandangan alam yang terbentang hampir di seluruh pelosok kota madya ini. Dan menumpang kapal feri adalah pilihan bagi siapa saja yang membawa serta kendaraan.
Selain kapal lambat feri ada juga kapal motor express yang setiap hari bolak-balik Sabang-Banda Aceh. Sesuai dengan namanya, menumpang kapal express tentu jauh lebih cepat dibandingkan dengan feri. Cuma butuh 45 menit untuk tiba di dermaga. Namun, kapal express hanya mengangkut penumpang. Jika Anda tidak memiliki kendaraan, itu bukan masalah. Anda bisa menyewa jasa angkutan berupa mobil atau sepeda motor yang tersedia di pelabuhan atau penginapan. Harga sewa sepeda motor berkisar seratus ribu rupiah
Saya pun meninggalkan Balohan dan menuju Kota Sabang untuk mengisi perut yang keroncongan. Balohan adalah pintu utama yang menghubungkan kita dengan Sabang. Anehnya, siang hari jalanan kota yang terletak di Pulau Weh ini terlihat lenggang. Pertokoan di sepanjang jalan protokol juga hanya satu dua yang buka. Syukurnya rumah makan tetap terbuka di siang yang terik itu. Konon, Kota Sabang hanya ramai di pagi dan malam hari, sedangkan siangnya, masyarakat Sabang lebih memilih bersantai-santai di rumah. Sampai-sampai orang menyebut Sabang sebagai akronim dari Santai Banget.
Usai makan siang, saya pun mengelilingi Kota Sabang. Tampak bangunan peninggalan Belanda berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan modern. Karena merupakan sebuah kepulauan, maka sejauh mata memandang lautanlah yang saya temukan. Keharmonisan hidup antaragama masyarakatnya juga tampak jelas dari rumah ibadah yang berdiri tegap di tengah-tengah kota. Karena penduduk Sabang tidak seluruhnya pemeluk agama Islam, maka Gereja dan Wihara pun dibangun di antara bangunan-bangunan lainnya.
Lantas, apa saja objek wisata di Sabang yang saya kunjungi saat jalan-jalan ke Sabang?
Daftar Isi
Gapang, Pantai Indah di Ujung Barat
Hari semakin sore, saya memutuskan untuk mencari penginapan yang langsung berhadapan dengan pantai. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam dengan jalur yang berkelok-kelok, mendaki dan menurun bukit, saya pun tiba di pantai indah bernama Pantai Gapang. Nama yang diambil dari pohon-pohon yang menjulang tinggi di sepanjang bibir pantai, yaitu pohon Gapang.
Para wisatawan dalam dan luar negeri terlihat begitu menikmati pasir putih dan birunya laut di pantai ini. Di antara mereka yang yang menceburkan diri ke dalam laut yang airnya bersuhu nyaman sambil melihat surga bawah laut, ada juga yang melakukan sunbeach setelah seharian berenang snorkeling atau diving, dan tidak sedikit yang bersantai-santai di bawah pohon gapang sambil menikmati semilir angin dan menyeruput es kelapa muda.
Puluhan resort dan bungalow juga berdiri dengan megah di sekitaran pantai. Harga yang ditawarkan pun beraneka ragam tergantung dari fasilitas yang tersedia. Saya akhirnya menyewa sebuah bungalow yang letaknya langsung berhadapan dengan pantai untuk beristirahat. Nama bungalow itu adalah Jroeh Bungalow, milik seorang laki-laki yang berasal dari Banda Aceh. Harga penginapan beraneka ragam mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 1.000.000 tergantung dari fasilitas yang disediakan. Bagi saya yang paling penting dari dari semua itu adalah saya dapat mendengar debur ombak langsung dari kamar.
Tugu 0 Kilometer, Point Of Zero Indonesia
Setelah meletakkan ransel di penginapan, saya dan teman kembali menstarter sepeda motor untuk melangkah ke titik bermulanya negara Indonesia. Dialah kilometer nol yang terletak sekitar 40km dari kota Sabang. Perjalanan menuju tugu kilometer 0 juga sangat memukau dan membuat mulut ternganga. Lagi-lagi di sepanjang perjalanan saya bisa menikmati keindahan alam yang natural dengan perpaduan hutan hujan tropis nan eksotis yang berjejer di perbukitan dan hamparan laut biru yang menggoda dengan bibir pantai yang putih bersih.
Setibanya saya di garis batas imajiner itu, tampak sebuah tugu yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Di dalam tugu itu tampak plakat bertanda tangan Prof. Dr. Ing. BJ Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Ketua BPPT yang menyatakan penentuan geografis di Sabang ini diukur menggunakan teknologi global positioning system (GPS) pada tahun 1997. Selain terkesima dengan tugu Nol Kilometer, saya juga disuguhi dengan pemandangan yang sangat indah saat berdiri di atas tugu. Samudra Hindia dan Pulau Rondo terlihat jelas di atas sana.
Pukul lima sore saya pun kembali ke penginapan. Menunggu matahari tenggelam masih sangat lama. Alangkah baiknya jika waktu yang ada saya manfaatkan sebaik mungkin untuk menjelajahi seluruh penjuru Sabang. Di dalam perjalanan pulang, saya tidak langsung ke Gapang melainkan singgah sejenak ke Pantai Iboih. Destinasi snorkeling dan diving yang sangat direkomendasikan di Pulau Weh ini. Alih-alih survey tempat dahulu sebelum terjun langsung esok harinya.
Snorkling di Iboih
Setelah menikmati siluet pagi di pantai Gapang, saya langsung bergegas menuju Pantai Iboih yang terletak sekitar dua kilo meter dari Gapang. Pemandangan alam di sini tidak kalah menawan di bandingkan Gapang. Karena kedatangan saya bukan di hari libur, Iboih terlihat lebih lenggang. Hanya ada beberapa wisatawan luar yang telah lengkap dengan pakaian divingnya hendak menyelam di Pulau Rubiah yang terletak hanya 100 meter di seberang Iboih. Padahal kalau liburan, Iboih sesak oleh pengunjung yang hendak melihat langsung biota bawah laut yang bagaikan surga.
Di sepanjang jalan, bangunan yang merupakan penginapan berjejeran. Setiap bangunan di sana adalah penginapan dan setiap teluk adalah markas bagi para penyelam. Iboih adalah tempat yang sangat tepat untuk para traveler. Sama seperti Gapang, harga penginapan di Iboih juga beraneka ragam. Selain itu, Anda tidak perlu takut kelaparan karena warung dan restoran juga dapat ditemui di sini. Sepiring kentang goreng berbumbu dan kopi Aceh sungguh nikmat untuk disantap.
Jika hendak snorkeling atau diving, peralatannya sangat mudah didapat. Di sepanjang bibir pantai penduduk lokal menyewakan kacamata snorkeling dan pelampung bagi mereka yang tidak dapat berenang. Sedangkan untuk diving, peralatannya diserakan ditempat khusus yang juga ada di sekitar Iboih lengkap dengan penyelam terlatih.
Melihat air laut nan jernih saya pun tidak sabaran untuk menceburkan diri ke dalam air. Bermodalkan kacamata snorkeling dan pelampung, saya seakan berada di dunia lain. Sungguh indah. Terumbu karang dan ikan warna warni terlihat begitu menakjubkan. Padahal saya baru menyelam satu meter dari bibir pantai. Semakin ke tengah, semakin indah pula panorama alamnya. Dan di pulau Rubiah sana, akuarium bawah laut terlihat begitu indah.
Rubiah, akuarium bawah laut
Bagaikan di pulau pribadi, itulah yang saya rasakan ketika perahu boat menyebrangkan saya ke pulau yang terletak di tengah-tengah Pulau Weh itu. Pulau yang namanya diambil dari nama seorang perempuan yang diasingkan ke sana. Pulau yang dulunya merupakan tempat persinggahan jamaah haji Indonesia yang hendak menunaikan rukun islam ke lima ke tanah suci mekkah. Pulau yang terlihat begitu tenang dan hari itu begitu sepi dari pengunjung sehingga saya bisa berleha-leha dengan puasnya. Dialah Pulau Rubiah.
Tepian Pulau Rubiah berupa batu karang yang semakin hari semakin membesar. Begitu pula dengan tepian tempat-tempat lain di Pulau Weh. Sehingga Weh juga dikenal sebagai coral raksasa. Dimana pun mata memandang maka keindahanlah yang ditemukan. Tak jarang senyum tersungging dari bibir melihat keindahan dan kedamaian yang tercipta. Begitupun dengan rubiah, melihat ke kiri ke kanan, atas dan bawah, hanya keindahanlah yang tampak.
Snorkeling di Rubiah juga tidak kalah menakjubkan dibandingkan Iboih. Lautan yang dangkal dan dipinggirnya terdapat terumbu karang serta ikan-ikan indah berwarna-warni membuat saya tak ingin kembali lagi ke darat. Pemandangan ke tengah semakin indah. Sungguh akuarium bawah laut terlihat di sini.
Riak laut di pagi hari tidaklah besar sehingga pagi hari adalah saat yang tepat untuk snorkeling. Matahari pagi pun bersinar begitu cerah dengan riakan awan yang menawan dan langit biru yang rupawan.
Replantasi Terumbu Karang di Sabang
Pemerintah Kota Sabang juga terus menerus melakukan transplantasi terumbu karang. Ya, agar coral reefs dan ekosistem bawah laut yang menjadi primadona pulau ini tetap lestari perlu dilakukan pencangkokan karang secara terus menerus.
Ternyata, restorasi atau rehabilitasi terumbu itu merupakan upaya peningkatan pertumbuhan ekosistem laut yang rusak akibat manusia dan pemanasan global.
Sumur Tiga, Benteng Jepang, dan Anoi Hitam
Siang hari setelah lelah bersnorkeling di Iboih, saya menuju ke Sumur Tiga yang terletak di sekitar lima kilo meter sebelah timur Kota Sabang. Pantai ini Berada di Desa Ie Mulee, Suka Jaya, Sabang. Untuk sampai di pantai berpasir putih ini, tidak perlu khawatir karena banyak penunjuk jalan yang akan membawa anda ke sana. Masyarakat setempatpun dengan ramah akan memberitahu kepada kita di mana Sumur Tiga ini berada.
Pantai Sumur Tiga memiliki karakteristik yang berbeda dengan Gapang, Iboih dan Rubiah yang telah saya kunjungi. Jika di tiga pantai sebelumnya ombak dipantai hanya berupa riak kecil, maka di Sumur Tiga ombaknya terlihat lebih besar. Begitu pula dengan pasir putihnya yang begitu halus dan terlihat bagaikan kristal saat sinar matahari menerpanya.
Nyiur di tepi pantai yang melambai karena terpaan angin juga menambah keindahan pantai Sumur Tiga. Kesan damai langsung terasa ketika kaki menginjakkan pasir dan disapu oleh ombak ditepian pantai. Di tepi pantai ini, terdapat tiga buah sumur yang airnya tawar. Dari tiga sumur inilah nama Sumur Tiga berasal.
Namun, keindahan sumur tiga berbanding terbalik dengan benteng peninggalan penjajah jepang yang terletak tepat di pinggir jalan besar, beberapa meter sebelum turun ke bibir Pantai Sumur Tiga ini. Benteng yang dibangun dari beton nan kokoh ini kurang terawat. Tampak kotoran ternak mengotori sekeliling benteng ini.
Selain di Sumur Tiga, benteng peninggalan Jepang juga bertebaran di sepanjang Pulau Weh. Pada masa penjajahan dulu, pulau nan rupawan ini dijadikan sebagai benteng pertahanan oleh Jepang untuk mengantisipasi musuh yang datang melalui jalur Selat Malaka. Sabang adalah kepualauan yang sangat strategis karena terletak di jalur lalu lintas laut dunia.
Selanjutnya, saya kembali berjalan ke depan. Tujuan saya selanjutnya adalah Benteng Jepang Anoi Hitam. Anoi Hitam adalah pantai lain yang memiliki keistemewaan tersendiri. Pasirnya tidaklah putih melainkan hitam yang dalam bahasa Aceh disebut anoi hitam. Pantai Anoi Hitam ini juga berdampingan dengan benteng Jepang.
Karena terletak di atas bukit, maka saat memasuki Benteng Jepang ini, saya harus menaiki anak tangga yang di kelilingi oleh pepohonan besar nan rindang. Saat melihat benteng yang tertanam di dinding bukit membuat saya berdecak kagum akan kecerdikan armada Jepang saat menjajah Indonesia. Benteng-benteng kecil berukuran 1,5×1,5 meter itu adalah tempat tentara Jepang bersembunyi dengan meriam besarnya yang masih bisa Anda lihat di sana.
Untuk mencapai benteng satu dengan lainnya ada terowongan yang menghubung. Namun kini, terowongan itu telah ditutup. Ketika tiba di pucak bukit, sebuah benteng berukuran besar juga masih berdiri kokoh. Dari atas benteng itu saya bisa melihat Selat Melaka yang terbentang dengan luas, juga karang cadas yang tumbuh di sepanjang tebing pantai Anoi hitam.
Jaboi Volcano dan Sate Gurita
Perjalanan belum usai. Saya kembali memacu motor melewati Anoi Hitam. Pemandangan yang penuh dengan pantai dan lautan pun berubah menjadi hutan, kebun kelapa, dan hewan ternak yang berlalu lalang di badan jalan. Di sepanjang perjalanan, saya juga mencium bau belerang yang menyengat. Akhirnya saya pun menelusuri asal bau tersebut dari sebuah papan penunjuk arah bertuliskan Jaboi Vulkano. Aha! Ternyata bau belerang itu berasal dari gunung berapi Jaboi. Gunung berapi paling barat Indonesia yang merupakan salah satu sumber panas bumi.
Saya pun menelusuri jalan dengan lebar satu meter dan terbuat dari paving block itu. Pohon Cantigi tumbuh dengan subur menghiasi batuan putih. Hanya hutan dan kepulan asap berbau belerang yang terlihat di gunung Jaboi ini. Saya baru tersadar ternyata saya telah berada di puncak tertinggi tertinggi Pulau Weh yaitu gunung berapi femoralis dengan tinggi 617 meter (2024 kaki).
Memang, di dalam sejarah geologi Aceh, Pulau Weh dulu bersatu dengan daratan Aceh. Namun karena letusan gunung berapi pada zaman pleistosen, Weh terpisah menjadi pulau tersendiri. Di kawasan gunung api Jaboi ini juga terdapat sumber air panas dan belerang yang menjadi ciri khas dari gunung api aktif. Selain di daratan Pulau Weh, rangkaian gunung api Jaboi juga bisa dilihat di dalam laut disekitar perairan Sabang.
Hari pun semakin senja. Perut saya mulai keroncongan minta diisi makanan. Maklum, setelah makan siang hanya air mineral yang masuk ke dalam lambung. Saya pun memutuskan untuk kembali ke Kota Sabang, menyantap kuliner khas pulau ini, lalu kembali ke Gapang. Dari poster panduan wisata beurukuran 1,5×1,5 meter di pelabuhan saya mendapatkan informasi bahwa kuliner paling maknyus di sabang itu adalah sate gurita yang dijual di Sabang Fair yang letaknya di Balohan juga di Pusat Jajajan Selera Rakyat alias Pujasera di pusat kota. Saya pun memutuskan untuk pergi ke Pujasera dan memesan sepiring sate gurita.
Yummy! Sate gurita dapat disantap dengan lontong dan bumbu kacang atau bumbu padang. Rasanya sangat lezat dan sepering tidak cukup, pingin nambah lagi dan lagi. berhubung malam sudah semakin larut dan esok hari harus pagi-pagi ke Balohan untuk kembali ke Banda Aceh, saya pun terpaksa mengakhiri santapan kuliner sate gurita ini, lain kali saya harus makan tiga piring! [] Liza Fathiariani
kosong says
enggak ada yg komen kok? 🙂
Eggi ST says
Artikel ini membuat saya ingin segera mengunjungi Sabang dan menikmati keindahan alam serta kegiatan wisatanya. Penggambaran yang detail dan deskripsi yang hidup membuat saya merasakan keindahan dan ketenangan yang ada di Sabang. Terima kasih atas artikel yang menginspirasi ini!