Di balik perbukitan hijau yang menjulang, tersembunyi sebuah desa yang namanya jarang terdengar—Uzuzozo. Terletak di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, desa ini seolah menjadi dunia yang tertinggal, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern. Dikelilingi oleh pegunungan tinggi, akses ke desa ini sangat sulit; jalan berbatu yang terjal dan berbukit menjadi satu-satunya penghubung Uzuzozo dengan dunia luar. Bahkan kendaraan pun hampir tak bisa melaluinya—hanya sepeda motor yang mampu menempuh jalanan tersebut, itupun dengan penuh kesulitan.
Tujuh tahun lalu, seorang wanita muda datang mengunjungi desa yang seakan terabaikan ini. Ia adalah Theresia Dwiaudina Sari Putri, yang lebih dikenal dengan nama Dinny. Seorang bidan muda dengan tekad yang lebih besar dari segala tantangan yang ada di hadapannya. Uzuzozo, dengan segala keterbatasannya, mungkin tampak seperti tempat yang tidak cocok untuk seorang perempuan muda yang baru pertama kali datang ke desa terpencil ini. Namun Dinny tidak gentar. Baginya, Uzuzozo bukan sekadar tempat kerja—melainkan panggilan hidup.
Ia datang bukan hanya untuk memberikan pelayanan medis, tetapi juga untuk menanamkan harapan—harapan yang selama ini terasa jauh, bahkan hampir mustahil diraih oleh warga desa yang terperangkap dalam tradisi berabad-abad. Di bawah langit yang sering diselimuti kabut tebal dan medan yang keras, Dinny memulai langkahnya dengan keyakinan bahwa setiap orang, di mana pun mereka berada, berhak atas hidup yang lebih baik—berhak atas kesehatan yang layak.
Daftar Isi
Sebuah Panggilan yang Tak Dapat Ditolak
Di awal tugasnya, Dinny mengaku merasa cemas. Meskipun berasal dari Desa Kekandere, yang letaknya lebih dekat dengan pusat kota, Uzuzozo dengan segala medan berat dan akses terbatas terasa sangat asing baginya. Namun, ketika kepala desa menawarkan kesempatan untuk menjadi bidan pertama di desa itu, Dinny merasa ini adalah panggilan yang tak bisa ia tolak.
“Waktu itu, tahun 2017, jalanan masih tanah, penuh kerikil, dan hanya bisa dilalui motor. Belum ada aspal yang menghubungkan desa ini dengan dunia luar,” kenang Dinny. Bahkan untuk mencapai desa ini, ia harus melewati tiga dusun yang terpisah jauh satu sama lain. Di pagi hari, ia bisa berada di satu dusun, sementara di sore hari harus menempuh jalan berliku menuju dusun lainnya.
Selain medan yang berat, Uzuzozo juga kekurangan fasilitas dasar seperti listrik, air bersih, dan sinyal telekomunikasi. Dalam kondisi yang serba kekurangan ini, Dinny harus siap 24 jam untuk menangani berbagai kasus kesehatan, sering kali dengan peralatan yang sangat terbatas. Bahkan untuk menjangkau rumah warga, ia sering berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor, terutama saat jalanan terlalu sulit dilalui kendaraan roda dua.
Lebih memprihatinkan lagi adalah kondisi kesehatan ibu dan anak di desa ini. Sebagian besar ibu hamil melahirkan dengan bantuan dukun beranak, sementara banyak anak di bawah lima tahun menderita stunting—kekurangan gizi kronis yang menghambat tumbuh kembang mereka.
“Di sini tidak ada pendataan kesehatan. Saya datang dan mulai mendata ibu hamil, balita, dan kondisi kesehatan masyarakat yang sebelumnya belum tersentuh layanan medis,” kata Dinny. Meski penuh tantangan, ia merasa bahwa panggilannya adalah untuk memberi perubahan, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Namun, ia juga menyadari bahwa tidak semua warga desa siap menerima kehadirannya.
Hadiah Seekor Anjing
Gaji Dinny saat itu sangat terbatas. Ia hanya digaji melalui dana desa yang pencairannya sering kali tidak menentu. Terkadang, ia harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima pembayaran. Kepala desa bahkan memberikan hadiah tak terduga—seekor anjing yang diikat di depan rumahnya, sebagai simbol bahwa ia bisa tinggal dan bekerja di desa tersebut.
“Saya bilang ke kepala desa, ‘Kalau tidak ada uang, bagaimana saya bisa bertahan?’ Kepala desa kemudian memberi anjing itu, yang diikat di depan rumah sebagai tanda bahwa saya bisa tinggal di desa sambil menunggu dana desa cair,” kenang Dinny dengan senyum kecil, mengenang masa-masa sulit tersebut.
Untuk bertahan hidup, Dinny mengandalkan dukungan finansial dari orang tuanya. Uang yang dipinjam dari orang tua menjadi penyambung hidup di tengah keterbatasan desa. “Dulu, saya sering pinjam uang dari orang tua. Tidak ada pilihan lain,” ungkapnya. Meskipun demikian, Dinny tetap merasa bersyukur karena bisa bekerja di tempat yang sangat membutuhkan sentuhan seorang profesional kesehatan. Ia merasa bahwa kehadirannya membawa dampak besar bagi masyarakat setempat.
Berkat Keteguhan Hati, Perubahan Dimulai
Pada tahun 2018, sebuah kejadian dramatis menggambarkan betapa besar tantangan yang dihadapi Dinny. Pukul 03.00 dini hari, bersama warga desa lainnya, Dinny harus menempuh perjalanan jauh dengan mobil bak terbuka menuju Dusun Ndetuwaru, salah satu dusun terpencil di Uzuzozo. Seorang ibu hamil dengan pembukaan lengkap siap melahirkan, namun jembatan yang harus dilalui hanya cukup untuk sepeda motor. Waktu terus berjalan, dan persalinan pun harus dilakukan di pinggir jalan, di bawah rintik hujan.
Dinny membentangkan tikar di bawah pohon, menggunakan senter dari warga sebagai penerangan. Ia memberi arahan kepada sang ibu untuk mengedan. Di bawah langit yang gelap dan hujan, seorang bayi perempuan lahir dengan selamat.
Seiring berjalannya waktu, Dinny mulai mengedukasi warga tentang pentingnya melahirkan di fasilitas kesehatan. Ia merangkul dukun setempat, mengajak mereka meninggalkan kebiasaan lama yang berisiko, dan menggantinya dengan praktik medis yang lebih aman. Perlahan, warga mulai mempercayai Dinny. Ibu-ibu hamil mulai memeriksakan kandungan mereka, dan kelahiran di Puskesmas menjadi semakin umum.
Dinny yang melanjutkan pendidikannya di S-1 Kebidanan STIKes Bakti Utama Pati, Jawa Tengah, dan lulus pada 2023, juga menjalankan program keluarga berencana (KB) yang mendapat respons positif. Sebelumnya, pasangan usia subur di Uzuzozo tidak pernah berpikir untuk mengikuti program KB, dan banyak di antaranya memiliki banyak anak dalam waktu dekat. Kini, lebih dari 50 persen pasangan usia subur di desa ini berpartisipasi dalam program KB. Hal ini berkontribusi pada peningkatan kualitas kesehatan ibu, pengasuhan anak yang lebih baik, dan pengelolaan ekonomi keluarga yang lebih sehat.
Bukan Sekadar Bidan Biasa
Tahun demi tahun berlalu. Meski menghadapi keterbatasan finansial dan infrastruktur, Dinny tidak pernah berhenti memberikan yang terbaik. Tugasnya bukan hanya sebagai bidan yang membantu ibu melahirkan, tetapi juga sebagai tenaga kesehatan yang memberikan edukasi mengenai kesehatan ibu dan anak, stunting, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.
Salah satu momen yang paling mengharukan bagi Dinny adalah ketika seorang ibu, yang telah melahirkan enam anak dengan bantuan dukun, akhirnya melahirkan anak ketujuh di fasilitas kesehatan. “Ibu itu tidak percaya bahwa ada layanan seperti USG, pemeriksaan kehamilan, atau persalinan yang aman di Puskesmas. Tetapi ketika anak ketujuhnya lahir di Puskesmas, ibu itu menangis haru karena itu adalah pengalaman pertama baginya untuk melahirkan di tempat yang lebih aman dan terjamin,” kenangnya.
Meskipun menghadapi banyak kesulitan, hasil dari pengabdian Dinny mulai terlihat. Sejak ia bertugas pada 2017, angka kematian ibu dan anak di Desa Uzuzozo berhasil turun drastis, bahkan mencapai angka nol. Di awal masa tugasnya, setiap tahun ia mencatat sekitar 15 kasus persalinan, banyak di antaranya dilakukan di rumah, mobil, atau bahkan di jalan. Kini, hampir seluruh ibu hamil memeriksakan kandungan mereka di fasilitas kesehatan dan melahirkan dengan bantuan tenaga medis.
Tak hanya itu, Dinny berhasil menurunkan angka stunting secara signifikan. Pada awal masa tugasnya, ada 15 anak yang mengalami stunting. Namun, berkat edukasi tentang gizi seimbang, serta program pemberian ASI eksklusif dan suplemen gizi, angka stunting dapat dikurangi hingga 70%. Hingga 2023, hanya tersisa tiga balita yang masih terpengaruh masalah ini. Sebuah pencapaian luar biasa mengingat tantangan geografis dan sumber daya yang terbatas.
Dinny juga menjalankan berbagai program kesehatan masyarakat lainnya, seperti Posyandu, kesehatan ibu dan anak (KIA), imunisasi, serta penanggulangan diare dan masalah sanitasi. Ia bahkan sempat mendamaikan pertengkaran antarwarga, serta menangani kasus-kasus darurat lainnya, seperti korban gigitan ular dan anjing.
Selain itu, Dinny juga memperjuangkan sanitasi yang lebih baik di desa ini. Beberapa tahun lalu, hanya sekitar 10 rumah yang memiliki jamban. Kini, berkat kerja keras Dinny, hampir seluruh rumah warga di Desa Uzuzozo memiliki toilet sendiri, dan masalah buang hajat sembarangan di sungai sudah bisa dikendalikan.
Dari Uzuzozo untuk Indonesia
Pada tahun 2023, perjuangan Dinny mendapat perhatian lebih luas. Ia dianggap sebagai sosok yang memberikan kontribusi luar biasa bagi kesehatan ibu dan anak di wilayah 3T (terpencil, terisolasi, dan tertinggal). Kiprahnya membawa Dinny meraih SATU Indonesia Award di bidang kesehatan, penghargaan yang diberikan oleh Astra untuk pemuda yang berkontribusi nyata bagi masyarakat. Penghargaan ini menjadi bukti bahwa kerja keras dan dedikasi Dinny tidak sia-sia.
Meskipun telah menerima penghargaan bergengsi tersebut, Dinny tetap rendah hati. “Penghargaan ini bukan untuk saya pribadi, tetapi untuk masyarakat Uzuzozo yang telah memberi saya kepercayaan. Ini adalah bukti bahwa jika kita bekerja keras, tidak ada yang tidak mungkin,” ujarnya.
Kini, setelah lebih dari tujuh tahun mengabdi, Dinny merasa bangga bisa menjadi bagian dari perubahan besar di Desa Uzuzozo. Dari desa yang dulu tidak memiliki fasilitas kesehatan apapun, kini masyarakat sudah bisa mengakses pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ibu hamil tidak lagi melahirkan di rumah tanpa pengawasan medis. Stunting yang dulu tinggi kini berkurang drastis. Anak-anak di desa ini mendapatkan imunisasi, gizi yang cukup, serta akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan.
Perjuangan Dinny telah membuktikan bahwa dedikasi, meskipun dimulai dari tempat yang sangat sulit dan jauh dari perhatian, bisa membawa perubahan nyata. Bagi Dinny, keberhasilan ini adalah bukti bahwa meskipun langkah kita kecil, dampaknya bisa sangat besar. Dan yang terpenting, kehadirannya di Desa Uzuzozo telah membuka pintu untuk perubahan yang lebih besar, demi kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.
“Tindakan kecil di tempat kecil sekali pun kalau dilakukan dengan niat baik tentu akan bermanfaat bagi yang menerimanya. Yang terpenting persiapkan diri, jangan takut untuk terus belajar dan fokus terkait apa yang kita buat. Percayalah apa yang kita tabur itu yang kita tuai,” – Theresia Dwiaudina.
Leave a Reply