Sabtu dan Minggu adalah dua hari yang paling kutunggu dalam sepekan. Bukan karena ke dua hari itu adalah hari libur dan membebaskanku dari berbagai aktivitas. Bukan karena hari-hari itu adalah akhir pekan sehingga jadwal jaga di Rumah Sakit sedikit lenggang. Bukan. Tetapi karena di sore hari Sabtu dan Minggu ada acara Putroe Phang Art and Music Weekend Show. Pergelaran seni dan musik etnis Aceh di Taman Putro Phang Banda Aceh.
Sebenarnya, tidak setiap akhir pekan aku bisa menikmati pergelaran ini. Aktivitas yang lumayan padat membuatku harus berpuas hati walau hanya sebulan sekali kesenian Aceh ini dapat kunikmati. Nah, di hari Minggu sore ceria beberapa waktu lalu, aku bisa mengunjungi Putroe Phang Art and Music Weekend Show yang menampilkan Ripe Aceh, Debus dan Puisi, Seudati Inong, dan Lawak Apa Gense.
Ripe Aceh, group musik yang memadukan antara musik etnis dengan musik modern membuka acara di sore Minggu itu. Dengan irama musik yang khas, yaitu perpaduan antara Rapai, gitar, biola, bass, dan keyboard, Ripe berhasil menggodaku dan penonton lainnya. Lagu Bungong Jeumpa dibawakan dengan aliran musip rap. Sangat menarik. Mungkin nama Ripe itu, sengaja dipilih oleh personel yang konon merupakan gabungan berbagai musisi di Aceh ini karena aliran musik mereka yang ngerap dan menggunakan rapai sebagai alat musik utamanya.
Setelah Ripe, debus atau yang lebih dikenal dengan Dabo’h di kalangan masyarakat Aceh membuat seluruh penonton histeris ketakutan. Dabo’h ini adalah salah satu atraksi budaya Aceh yang menggunakan benda tajam. Atraksi ini diiringi oleh permainan alat musik berupa rapai.
Lelaki paro baya berjubah hitam mengambil tempat di depan penonton. Dengan iringan rapai, ia membaca puisi yang berjudul Mantra. “Mantra adalah puisi tertua di dunia,” begitu jelas pembawa acara sebelum atraksi ini dimulai.
Lalu, semua penonton menjerit ketika lelaki berjubah hitam yang ternyata sang top daboh (orang yang melakukan atraksi debus) ini memulai aksinya. Pedang panjang yang sangat tajam diiris-iris di atas tubuhnya. Gergaji yang aku yakin tak kalah tajam dari mata pedang digesek-gesek pada lidahnya. Tak ada darah yang mengalir meski benda tajam itu menggores tubuh lelaki berbaju hitam dengan rambut panjangnya. Funtastic. Lelaki itu kebal terhadap benda tajam.
Yang mengherankan adalah setiap atraksi debus selalu diiringi dengan rapai. Ada yang mengatakan kalau yang membuat tukang top daboh itu kebal karena nuansa mistis yang hadir ketika bunyi rapai bergema.
Setelah ketakutan dengan atraksi debus, Apa Gense dan kawan-kawan menghibur semua penonton dengan lawakannya yang khas. Sambil ikut mempromosikan Visit Banda Aceh 2011 di setiap kalimat-kalimat lucunya, Apa Gense dkk berhasil mengocok perut penonton Putroe Phang Art and Music Weekend Show. Dalam atraksinya itu, Apa Gense membawakan drama tentang seorang bule yang berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan penduduk Aceh yang hanya tahu Yes dan No dalam bahasa Aceh.
Seudati Inong menjadi penutup acara sore itu. Dengan kekhasannya yang menampilkan suasana yang heroik, tarian kebanggaan rakyat Aceh yang diambil dari bahasa Arab “syahadat” yang berati pengakuan itu ditarikan oleh perempuan-perempuan Aceh. Karena dimainkan oleh perempuan, maka seudati yang bisa dimainkan oleh minimal 6 orang ini dinamakan dengan seudati inong.
Jika kamu bosan dan ngga tahu kemana di akhir pekan. Sila kunjungi Taman Putroe Phang Banda Aceh untuk menikmati sajian musik dan kesenian Aceh yang sangat menarik.
Putroe Phang Art and Music Weekend Show
Tempat : Taman Putroe Phang Banda Aceh
Waktu : 17.00 WIB – 18.00 WIB
Leave a Reply