Assalamualaikum teman-teman. Seperti biasa, sebelum jam menunjukkan pukul 12 malam, Cinderella eh Liza Fathia kembali mengupdate postingan untuk mengikuti tantangan 15 hari menulis bersama Blogspedia. Kali ini saya akan menulis Review Novel to Kill a Mocking Bird, sebuah novel terbaik yang pernah saya baca.
Seperti biasa, setelah mengeloni 2 buah hati yang masih balita, satu 4 bulan dan satu 3 tahun, saya baru bisa dengan leluasa memegang ponsel android untuk menulis. Yup, beberapa tahun terakhir saya lebih nyaman menulis lewat ponsel karena lebih mobile. Apalagi kalau punya balita seperti ini, sambil memastikan mereka tertidur lelap saya bisa mengetik dengan leluasa. Kadang sambil tidur di samping anak-anak, saya juga bisa mengetik.
Novel to Kill a Mocking Bird adalah novel lawas yang sampai sekarang narasi dan pesan yang ingin disampaikan penulis masih membekas diingatan saya. Sebuah novel yang mengajarkan saya untuk tidak mengedepankan prasangka memutuskan sesuatu. Ya, dalam agama Islam sendiri prasangka adalah sesuatu yang sangat dilarang.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa:
“Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah seburuk-buruknya perkataan”.
Ayat dan hadits di atas memberikan penegasan tentang buruknya prasangka dalam kerangka moral agama Islam. Prasangka ini tentu saja sangat mudah muncul, entah sekedar dalam pikiran kita, atau sudah kita artikulasi dalam kata-kata maupun perbuatan yang sifatnya diskriminatif.
Secara sederhana, prasangka dapat muncul dalam proses membuat penilaian sebelum mengetahui fakta yang relevan tentang suatu objek atau individu. Ia juga dapat muncul dalam sikap yang tidak yang tidak masuk akal atau juga munculnya tendensi untuk menilai segala hal, bahkan yang sama sekali tidak terkait dengan kita.
Oleh karena itu, setelah membaca cerita karya Harper Lee ini, saya belajar banyak tentang bahaya prasangka lewat kisah-kisah dan kejadian yang dialami tokoh-tokohnya.
Penasaran? Yuk lanjutkan membaca review singkat saya.
Daftar Isi
Review Novel To Kill a Mocking Bird
” Kau tidak akan pernah memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.”
Penggalan kata-kata di atas adalah kalimat penyambut ketika pertama sekali membuka novel To Kill A Mocking Bird. Ketika melihat sampulnya, saya langsung terkagum-kagum dengan penghargaan yang didapatkan oleh novel ini. Di antaranya adalah Pulitizer Prize Winning For Fiction dan Novel Terlaris Sepanjang Masa Versi Guinness Book of World Record karena berhasil terjual lebih dari 30 juta kopi di seluruh dunia. Bahkan, novel yang menceritakan tentang kasih sayang dan prasangka ini membawa penulisnya Harper Lee mendapatkan Anugerah Presidential Medal of Freedom 2007.
Ditulis selama 2,5 tahun dan diluncurkan 1961, To Kill A Mocking Bird adalah novel pertama dan satu-satunya novel yang ditulis Harper Lee dan langsung mengundang reaksi masyarakat. Maklum pada tahun itu, kekerasan rasial yang dilakukan Ku Klux Klan mencapai masa puncak. Keberanian Lee mengungkap dan menyatakan sikap menciptakan banyak tekanan bagi dirinya. Terlepas dari itu, begitu terbit To Kill a Mocking Bird langsung menjadi best seller. Terjual 2,5 juta kopi dan 14 kali cetak ulang di tahun pertama.
Novel ini telah difilmkan pada 1962 dengan pemain utama Gregory Peck dan berhasil memenangkan lima Piala Oscar, antara lain untuk kategori pemeran utama terbaik, pemeran pembantu terbaik dan penulis naskah terbaik.
Novel yang Luar Biasa
“Luar biasa,” begitulah kutipan review media internasional The New York Times untuk novel ini.
Ketika membaca halaman demi halaman novel edisi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan Qanita itu, saya merasakan sesuatu yang benar-benar luar biasa. Dinarasikan dari sudut pandang Scout (Jean Louis “Scout” Finch ), gadis delapan tahun, yang merupakan adik perempuan dari Jem Finch. Mereka berdua dibesarkan seorang diri oleh Atticus Finch yang melakukan praktek hukum sebagai pengacara yang bertugas di kota kecil tua yang bernama Maycomb County. Tokoh penting lainnya di dalam keluarga Finch adalah Calpurnia, seorang pembantu berkulit hitam yang bekerja seharian untuk mengurusi rumah dan mengasuh anak Atticus.
Cerita ini diawali dengan rasa penasaran Scout dan Jem pada tetangga mereka yang misterius. Seluruh anggota keluarga ini jarang keluar rumah kecuali kepala keluarga, Mr. Radley. Selain itu menurut desas desus, Boo Radley anak laki-laki keluarga ini mengalami gangguan jiwa dan dilarang keluar dari rumah. Mereka juga menceritakan rasa penasaran itu kepada Dill, teman baru mereka yang berasal dari Mediteran dan berlibur musim panas ke Maycomb.
Gosip dari ibu-ibu tetangga meraka menambah rasa penasaran ke tiga bocah itu terhadap Boo Radley. Layaknya anak-anak yang selalu mengembangkan fantasi mereka, maka Boo Radley yang misterius itu mereka bayangkan sebagai sosok yang mengerikan. Bukannya ketakutan, Scout, Jem, dan Dill malah semakin penasaran dengan Boo. Berbagai keusilan mereka lakukan untuk memancing Boo keluar dari rumah.
Kemudian diikuti dengan cerita Mrs. Dubose yang memaksa Jem untuk membacakan dongeng setiap sore di rumahnya. Jem dituduh telah memecahkan pot bunga kesayangan nenek tua yang sering kejang-kejang itu. Sebagai hukumannya Jem disuruh membacakan dongeng untuk Mrs. Dubose. Alangkah terkejutnya Jem dan Scout ketika mengetahui dari Atticus bahwa Mrs. Dubose adalah pengkonsumsi morfin yang ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan tenang tanpa bergantung butir-butir obat terlarang tersebut. Hal inilah yang membuatnya kejang-kejang dan untuk membuat waktu cepat berlalu Mrs. Dubose meminta Jem untuk membacakan dongeng yang belum tentu di dengarnya.
Disusul lagi dengan pelajaran tentang keluarga Cunninghams yang tidak pernah mau menerima pemberian uang dari orang lain, keluarga Ewells yang berantakan dan tidak teratur, dan kaum negro yang mencari penghidupan dengan menjadi buruh tani di perkebunan kapas milik petani kulit putih.
Selain itu, ayah Scout, Atticus ditunjuk pengadilan untuk membela Tom Robinson,suku negro yang dikenai hukuman mati karena dituduh memperkosa gadis kulit putih Mayella Ewel. Atticus keberatan namun ia sadar ia ditunjuk karena sebagai pengacara ia telah dikenal sebagai orang yang selalu bersandar pada fakta dan tidak mau tunduk pada prasangka pribadi. Perjuangan pembelaan Tom menjadi berat karena Atticus sebagai seorang kulit putih dianggap mengkhianati kaum kulit putih dengan membela seorang buruh kulit hitam dan menjulukinya sebagai pecinta nigger.
Meskipun ada beberapa penduduk Maycomb yang membela sikap Atticus, mayoritas tetap menganggap Tom tidak perlu dibela dan harus dihukum mati. Untunglah Atticus tidak berjuang sendirian karena hakim kota, sherif lokal, dan penerbit surat kabar setempat tetap berdiri di samping untuk mendukungnya. Dalam pengadilan, Atticus menunjukkan fakta bahwa Tom tidak dapat melakukan tindak pemerkosaan seperti yang dituduhkan atas alasan cacat fisik yang dimilikinya dan tangannya yang kidal. Sebaliknya, Atticus mengungkapkan kecurigaan bahwa Tom justru dirayu oleh Mayella untuk melakukan hubungan intim. Namun hal ini gagal karena suaminya, Bob Ewell, memergoki perbuatan tersebut. Mayella kemudian mengarang cerita untuk melindungi kehormatannya dan memilih mengorbankan Tom Robinson. Pada akhirnya Atticus kalah karena juri memutuskan Tom tetap bersalah meskipun fakta-fakta menunjukan sebaliknya. Biarpun begitu, Tom tidak dihukum gantung (lynch) namun dipenjara dan melakukan kerja paksa.
“Keberanian adalah saat kau tahu akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apa pun yang terjadi,” ucap Atticus pada Scout.
Dalam usahanya mempelajari nilai-nilai hidup, Scout banyak meminta pendapat dari ayahnya yang dianggapnya lebih memahami masyarakat di Maycomb County serta menggunakan nalarnya sendiri dalam memahami hal-hal yang dilihatnya. Dalam hal ini Scout mendapat nasihat dari ayahnya tentang bagaimana cara memahami sikap atau motif perbuatan seseorang dengan menempatkan diri pada posisi orang yang ingin kita pahami,
“you never really understand a person until you consider things from his point of view — until you climb around in his skin and walk around in it.”
Pada cerita Scout menyadari bahwa selama ini prasangkanya pada Boo Radley tidak lah benar. Ia seharusnya tidak berbuat buruk pada Boo.
It’s A Sin To Kill A Mockingbird
Mocking bird adalah burung yang tak pernah memakan biji-bijian. Tidak pernah mencuri dan mengganggu. Burung ini selalu bersiul dan menambah keindahan pagi. Sehingga bagi penduduk Maycomb, membunuh Mockingbird adalah dosa. Saat Jem dan Scout mendapatkan hadiah natal dari pamannya berupa senapan angin, Atticus mengingatkan mereka,” Kau boleh menembak burung Bluejay sebanyak yang kau mau, kalau bisa kena, tetapi ingat membunuh Mockingbird adalah dosa.” Bluejay adalah burung yang memakan tanaman di kebun sedangkan Mockingbird adalah sejenis murai yang tidak mengganggu kecuali dengan kicauannya yang merdu.
Harper Lee memilih Mocking bird sebagai judul novelnya untuk mengibaratkan seseuatu yang tidak berdosa. Seperti Boo Radley, Tom Robinson, dan Atticus adalah Mockingbird yang kerap menjadi sasaran tembakan karena tuduhan buruk yang ditujukan pada mereka karena prasangka. Sehingga membunuh mereka adalah dosa.
Atticus yang membela Tom Robinson mendapat cemoohan dan julukan sebagai pecinta nigger. Hal itu dilakukannya karena ia memegang prinsip “kesamaan hak untuk semua orang” termasuk untuk orang negro. Pada masa itu, orang-orang beranggapan bahwa orang negro hanyalah sampah dan yang membela mereka juga tidak jauh dari cap “sampah”
Tom Robinson yang statusnya sebagai orang kulit hitam mendapat perilaku yang diskriminatif dari kulit putih. Ia dituduh memperkosa Mayella Ewell, padahal kenyataannya Mayella lah yang merayu Tom untuk melalukan hubungan intim.Tapi karena berasal dari kulit hitam, ia tidak dapat melakukan apa-apa.
Boo Radley yang mengalami gangguan kejiwaan kerap menjadi bahan olokan anak-anak dan dijauhi dari lingkungannya. Padahal di saat-saat tertentu ia selalu berbuat baik pada mereka. Seperti yang dilakukannya pada Scout dan Jem dengan memasukkan makanan dan hadiah pada lobang pohong yang kerap dilewati kakak beradik ini ketika sekolah.
Novel yang Sarat dengan Pesan Moral
Meskipun novel ini dianggap menceritakan tentang menceritakan tentang perjuangan antara prinsip keadilan yang tidak berat sebelah, kehormatan (honor), dan perilaku terpuji (conduct) melawan prasangka negatif tentang rasisme yang didasarkan pada streotipe negative khususnya di daerah selatan AS, Harper Lee mengatakan bahwa novel ini sebetulnya bertema cinta, seperti yang tercetak di sampul belakang novel.
Membingungkan memang. Biarpun begitu, selain cinta, kehormatan, perilaku, serta sikap menghargai orang lain juga menjadi warna lain dari cerita ini. Ini ditunjukan lewat sikap tegas Atticus pada Scout, Jem dan Dill untuk tidak mengolok-olok keluarga Radley dan menghargai mereka terlepas dengan keanehan yang ditunjukan. Atticus juga mengajarkan sikap manusia terhormat untuk tidak mudah terpancing emosi hanya karena ejekan atau perkataan seseorang yang negatif. Ini terlihat dalam adegan dimana Scout diejek temannya di sekolah dan anak bibinya karena memiliki ayah yang menggemari orang Negro, Nigger lover. Atticus meminta Scout untuk tetap tenang dan menahan tangannya agar tetap di bawah, “…to keep your head up dan your hand down.”
Conduct juga dianjurkan pada Scout dengan cara menghormati orang tua yang berbicara kepadanya dan tidak langsung mendebat pendapat seseorang sebelum benar-benar memahaminya. Yang paling penting lagi, Scout belajar untuk memahami sikap dan pendapat orang dengan cara meletakan diri pada posisi orang tersebut sebelum mempertanyakannya.
Bagi Anda yang menyukai bacaan yang mengandung nilai moral, keadilan, dan kehormata, novel ini termasuk peringkat atas dalam rekomendasi saya. Five Stars untuk novel ini.
Leave a Reply