REKOR DUNIA MENJELAJAHI HUTAN INDONESIA
OLEH : LIZA FATHIARIANI
Hutan merupakan salah satu sumber daya ekonomi umat manusia yang paling berharga. Oleh karena itu, hutanlah yang paling banyak digali, pohon-pohonnya ditebang untuk berbagai keperluan. Seandainya pohon terlalu banyak ditebang, hutan akan menjadi susut, dan kemampuannya memenuhi kebutuhan manusia berkurang. bahkan akan menjadi malapetaka bagi manusia sendiri.
Seperti yang terjadi di negara kita yang tercinta Indonesia. Pemecah rekor. Itulah penghargaan dunia terhadap kondisi hutan di Indonesia. Menurut Greenpeace, Indonesia layak ditempatkan di dalam Guinness Book of World Records, sebuah buku yang mencatat hal-hal unik dan luar biasa yang terjadi di seluruh dunia. Indonesia tercatat dalam buku rekor Guinness edisi 2008 sebagai negara yang hutannya mengalami kerusakan yang sangat cepat (deforestasi) bergabung dengan Brazil yang saat ini memegang rekor kawasan deforestasi terluas di dunia.
Bayangkan saja, dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 % hutan dunia, Indonesialah yang meraih tingkat laju deforestasi tercepat. Dengan 1,8 juta hektare hutan hancur pertahun antara 2000 – 2005, sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2 % setiap tahunnya atau menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ‘State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO).
Apakah ini merupakan sebuah rekor yang sangat membanggakan? Menurut penulis itu tidak, penghargaan ini bukanlah sesuatu yang layak untuk dibanggakan, melainkan sebuah peringatan yang keras terhadap negara ini. Seperti yang diungkapkan Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional, Greenpeace Asia Tenggara bahwa penganugerahan rekor dunia ini mencerminkan tidak adanya keinginan dan kemampuan politis dari pemerintah Indonesia untuk menghentikan kehancuran hutan yang sangat parah ini. Serangkaian bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan parahnya keadaan hutan kita. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara pengemisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.
Selain itu, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian dan Wetland International menunjukkan bahwa emisi CO 2 yang dihasilkan dari konversi lahan gambut dan kebakaran hutan di Indonesia adalah sebesar 516 metrik per tahunnya.
Ironis memang, dulu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar kita didoktrin habis-habisan bahwa hutan di Indonesia adalah paru-paru dunia, yang menjaga atmosfer bumi ini dari pemanasan global yang menyebabkan green house effect. Namun, dapat kita rasakan sekarang, hutan di Indonesia telah dieksploitasi habis-habisan.
Tidak perlu jauh-jauh menilik setiap provinsi di Indonesia, di Aceh saja sudah tidak terhingga lagi berapa banyak hutan yang telah dibabat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Penulis akan memaparkan beberapa permasalahan hutan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menyebabkan deforestasi.
Kawasan Ekosistem Leuser
Hutan Leuser merupakan suaka tropis Indo-Malaya barat paling tua, paling besar, dan tergolong utuh di dunia. Secara khusus Kawasan Ekosistem Leuser adalah lingkungan alam bebas yang paling kaya bagi ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdaftar 105 spesies hewan menyusui, 382 macam burung, dan paling sedikit spesies binatang melata.
Sayangnya, pada tahun 1990-an, penebangan pohon, perburuan liar, dan penjarahan hutan dirasakan sangat mengancam Kawasan Ekosistem Leuser. Melalui seminar di Banda Aceh, 12-13 Agustus 1997, lahirlah ” Deklarasi Banda Aceh” yang mendesakkan pentingnya perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser dan dikukuhkan dengan Kepres RI No.33/1998.(Konservasi Leuser dan Ahliwaris Kita : 23)
Namun, untuk merubah perilaku masyarakat menjadi ramah lingkungan dan protektif terhadap alam bukanlah sesuatu hal yang mudah. Sampai saat ini, masih banyak pihak yang tidak bertanggung jawab merusak ekosistem Leuser. Menurut Wiratno, Kepala Taman Nasional Guning Leuser, peristiwa banjir di NAD merupakan akumulasi kerusakan hutan Aceh yang parah. Tak terkecuali Kawasan Ekosistem Leuser.
Keperluan Kayu Pascatsunami
Masalah baru pun muncul pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2006 silam. Musibah yang mahadahsyat itu telah meluluhlantakkan Bumi Serambi Mekkah. Akibatnya, harus banyak pohon yang ditebang dalam proses rekontruksi Aceh. Perikaan terakhir WWF, untuk membangun kembali Aceh diperlukan 1,5 – 1,6 juta m3 log, dan diperkirakan sekitar 800-900 ribu m3 kayu. Jumlah tersebut tentu saja memerlukan kayu olahan yang cukup banyak.
Yang membuat banyak pecinta lingkungan khawatir adalah darimana kayu-kayu tersebut akan ditangkan? Bahkan, Prof. DR. Emil Salim, mantan Menteri Negara PPLH(Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup),1978, mempertanyakan tentang upaya rekontruksi ini dalam sebuah pertemuan di Banda Aceh bersama BRR dan Dinas Kehutanan Banda Aceh. Kekhawatiran Emil memang sudah sewajarnya ketika pencetus konsep Amdal (Analisis dampak Lingkungan) itu menyaksikan beberapa kawasan pegunungan seperti Aceh Tamiang dan Gayo dilanda longsor dan banjir yang cukup parah setelah dua tahun tsunami.
Sama halnya dengan hutan Seulawah. Hutan yang terletak di sekitar Saree, Aceh Besar. Pemandangan yang luar biasa akan kita saksikan di kawasan yang telah dijadikan sebagai Taman Hutan Raya ini. Rimbunan Pinus merkusi yang menghiasi sepanjang jalan, kini telah berganti dengan kekarnya tembok dan sejumlah bangunan. Tembok dan bangunan itu adalah Markas Komando Brigadil Mobil (Brimob) yang sedang dibangun di kawasan itu. Dulunya,sebelum tsunami Mako itu terletak di Lingke, Banda Aceh.
Contoh di atas adalah segelintir kerusakan hutan yag terjadi di Aceh. Nah, kalau Aceh saja sudah separah ini kerusakan hutannya, bagaimana dengan Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi lain di Nusantara ini? Jadi, sudah selayaknya bukan rekor itu ditunjukkan untuk negara kita? Namun, hal ini masih bisa diperbaiki. Dan yang memperbaiki hutan kita adalah kita sendiri dan juga peran serta pemerintah Indonesia.
Leave a Reply