Assalamualaikum teman-teman. Apa kabar? Masih semangat dong membaca postingan di blog liza-fathia.com? Senang sekali rasanya masih bisa konsisten berbagi dengan teman-teman tentang berbagai hal yang ada dipikiran saya lewat blog ini. Dan what a wow! Ini adalah tulisan ke 6 saya di bulan Maret 2023 ini. Terima kasih untuk Blogspedia yang sudah mengadakan tantangan 15 hari menulis blog. Mengikuti challenge ini membantu saya konsisten untuk menulis, sesuatu yang hilang selama bertahun-tahun lamanya.
Pada tulisan kali ini, lagi-lagi saya ingin membahas tentang bullying atau perundungan. Saking marahnya saya terhadap pembully dan rasa empati mendalam saya terhadap korban bullying, maka saya ingin meluapkannya lewat tulisan. Kali ini tulisan saya tentang bagaimana perlindungan hukum anak korban bully?
Berbicara tentang bullying memang engga ada habis-habisnya, ya. Saya jadi teringat kalau dulu waktu kecil, saya ternyata pernah menjadi korban bully. Saya sering diejek “bule” oleh teman-teman di lingkungan tempat tinggal dan di sekolah sampai-sampai saya memutuskan untuk berjemur di terik matahari agar kulit saya hitam seperti anak-anak kebanyakan.
Saya juga pernah dicubit dan dikucilkan oleh teman-teman sekolah SD karena enggak sengaja BAB dekat meja guru. Waktu itu saya sedang diare dan nekad masuk sekolah. Walhasil, karena enggak tahan lagi saya akhirnya BAB di kelas. Apalagi waktu itu di sekolah saya engga ada kamar mandi. Terpaksa saya pulang ke rumah dalam keadaan bau. Hehehe. Jadi mala kalau diingat dan jadi sedih juga waktu teman-teman menjauhi saya.
Syukurnya waktu itu saya bercerita kepada orang tua saya setiap kejadian yang saya alami baik itu di sekolah, tempat mengaji, atau di lingkungan tempat tinggal kami. Tanpa menghakimi siapapun, orang tua menyuruh saya untuk mengabaikan ejekan teman-teman, kalau pun enggak tahan lagi, saya disuruh membalas ejekan mereka. “Kalau saya bule, kalian keleng.” Hahaha.
Saya ingat jelas balasan yang saya ucapkan kepada teman-teman yang mengejek saya bule. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, orang-orang pada bangga memiliki wajah indo gitu ya? Tapi pada masa saya kecil, wajah mirip bule itu sering sekali menjadi bahan bully.
Well, kembali lagi ke topik perlindungan hukum anak yang menjadi korban bullying. Kalau bahasannya sudah ke ranah hukum, pastinya perundungan yang terjadi bukanlah sebatas ejekan “bule” atau “keleng” semata lagi, bukan juga karena diejek “gemuk” lantas kita mempolisikan teman yang mengejek.
Perundungan atau bullying dapat mengakibatkan efek jangka panjang bagi korban dan pelakunya. Korban perundungan berisiko mengalami rendahnya harga diri, mengalami kecemasan dan ketakutan akibat diintimidasi oleh pelaku bullying. Dalam kasus bullying terparah, korban dapat melakukan bunuh diri untuk menghindari perundungan terus menerus.
Daftar Isi
Perlindungan Hukum Anak Korban Bullying
Mengutip berita di Tempo.Co tentang hukuman pelaku bullying, ternyata si pelaku bisa dijerat hukuman pidana dan perdata, lho.
Dikutip dari publikasi Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Dan Korban Bullying Di Indonesia, menjelaskan bahwa bullying atau perundungan adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau kelompok terhadap orang lain yang lebih lemah, dengan tujuan untuk menyakiti korban.
Perundungan bisa terjadi di manapun. Jika korbannya anak-anak, pelaku bisa dijerat Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipenjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp72 Juta.
Langkah hukum pertama yang dapat dilakukan saat anak mengalami bullying adalah mendapatkan perlindungan hukum. Menurut Pasal 54 juncto Pasal 9 Ayat (1A) UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak wajib mendapat perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya. Dengan demikian, anak sebagai korban bullying wajib mendapat perlindungan hukum. Kemudian, orang tua dapat melaporkan kepada polisi atau Komnas HAM mengenai tindakan yang telah dialami oleh anaknya.
Hal ini juga terdapat pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selanjutnya, di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya.
Dikutip dari artikel Bullying, Antara Etika dan Hukum oleh Komnas HAM, bullying adalah tindakan yang merendahkan martabat pada anak secara psikis, fisik, dan memiliki tingkatan hukum bervariasi. Jika sudah melakukan penyiksaan kepada anak, pendekatannya termasuk ranah hukum.
Berikut adalah infografis tentang cara mengatasi atau menghindari perilaku bullying
Ketika Korban Bullying Melawan si Pembully
Kenyataannya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban bullying belum banyak diatur di negara kita karena masih termasuk dalam ranah etika dan moral.
Menariknya lagi, sebelum menuliskan artikel ini, saya berdiskusi dengan seorang teman sejawat terkait pelaksanaan hukuman terhadap anak yang menjadi pelaku bullying. Kebetulan rekan saya tersebut bekerja sebagai dokter di pusat pembinaan anak-anak terlantar dan juga yang sedang mendapatkan hukuman.
Yup, pelanggar hukum yang masih dibawah umur mendapatkan pembinaan yang dikelola oleh Dinas Sosial setempat. Lama pembinaan sesuai dengan hukuman yang berlaku.
Dari cerita sang teman, ada belasan anak yang berstatus tahanan di tempat pembinaan tersebut. Kasus mereka beraneka ragam, ada yang pengedar narkoba, pencurian, pelecehan seksual, dan juga kasus bullying.
Karena beberapa tulisan sebelumnya saya membahas tentang bullying, maka saya tertarik untuk menanyakan lebih detail tentang anak-anak yang ditahan karena perundungan tersebut.
Ternyata, salah satu anak yang dibina tersebut adalah korban bully yang akhirnya menjadi pembully. Sang anak saat itu bersekolah di sebuah pesantren. Ia kerap sekali dibully oleh temannya sampai-sampai ia tidak sanggup menahannya lagi. Ia pernah mengeluhkan hal ini kepada ustadz di sana, tetapi tidak ada tanggapan. Begitu juga dengan orang tua, saat ia mengatakan tidak tahan lagi bersekolah di pesantren tersebut selalu memintanya untuk bersabar.
Walhasil, karena perundungan verbal dan fisik yang terus dialaminya, sang anak akhirnya membalas. Ia memukul si pembully di kepala hingga tidak sadarkan diri. Orang tua dari anak yang membullynya itu melaporkan kejadian ini ke ranah hukum dan si anak pun akhirnya ditahan. Karena statusnya dibawah umur, maka ia diberikan pembinaan bukan menjadi tahanan.
Serba salah ya jadinya. Yang dilakukan si pembully adalah salah. Korban yang dibully juga salah karena membalas dengan kekerasan. Tetapi begitu lah dampak dari bullying. Tidak akan berakhir jika semua pihak tidak turut andil dalam mengatasinya.
Orang Tua Juga harus Mengajari anak agar tidak menjadi pembully
Selama ini yang sering di blow up di media adalah penderitaan anak-anak yang menjadi korban bullying. Lantas bagaimana dengan anak yang menjadi tukang bully tetapi ia tidak menyadari jika perbuatannya itu salah? Disitulah peran orang tua sangat diperlukan.
Lantas, selain mengajari anak bagaimana cara menghadapi bully dari teman-temannya, kita sebagai orang tua juga harus mengajari anak agar tidak menjadi tukang bully.
Lantas bagaimana caranya? Tunggu postingan saya berikutnya.
Leave a Reply