Matahari di awal bulan Agustus sepertinya sedang menunjukkan taringnya. Hari-hari di Tangse, Pidie, Aceh yang biasanya disirami hujan kini menjadi cerah. Langit yang biasanya abu-abu tampak begitu biru dengan beberapa guratan awan putih. Cuaca seperti ini paling asyik dimanfaatkan untuk meuramien. Meuramien adalah istilah yang digunakan orang Aceh untuk menggambarkan aktivitas memasak dan makan-makan bersama di suatu tempat, misalnya di pantai, sawah, dan lain-lain. Berhubung Tangse adalah daerah pegunugan yang memiliki banyak sungai yang jernih dan bebatuan besar, maka masyarakat Tangse melakukan tradisi meuramien di pinggir sungai atau yang dikenal dengan bineh pante.
Sebenarnya jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, bineh pante itu bermakna pinggir pantai. Ya, seperti yang saya sampaikan tadi, pantai di Tangse bukanlah pinggiran laut melainkan pinggiran sungai. Jadi, kalau nanti Anda mendengar bineh pante atau pante krueng, jangan terkejut jika Anda tidak menemukan laut di sana melainkan sungai. Persamaannya adalah pinggiran sungai juga memiliki pasir walaupun tidak selembut pasir laut.
Karena masih dalam suasana lebaran, banyak pemudik yang menghabiskan detik-detik terakhir di kampung halaman dengan meuramin di bineh pante. Biasanya mereka mengajak seluruh anggota keluarga besar, ada juga yang memanfaatkan momentum ini sebagai ajang reunian dengan tema-teman masa sekolah dulu. Bineh pante menjadi saksi bisu pelepasan kerinduan para perantau yang kembali ke kampung halaman.
Pagi hari, semua orang yang hendak pergi meuramien telah bersiap-siap dengan segala peralatan tempurnya. Mulai dari tungku untuk memasak, bumbu untuk mengolah aneka makanan, dan kambing untuk disembelih. Ya, di sana mereka biasanya memotong kambing dan meraciknnya menjadi kari kambing khas Aceh yang terkenal lezat.
Kebetulan pada lebaran beberapa waktu yang lalu saya juga sempat menikmati serunya meuramin di bineh pante. Kak Dewi, tetangga saya yang juga sedang merantau di Meulaboh, Aceh Barat mengadakan reuni dengan teman-teman SMAnya. Karena saya tidak memiliki jadwal silaturahmi, ia pun mengajak saya untuk ikut serta.
Tempatย yang kami pilih adalah sungai di perbatasan Tangse dan kecamatan tetangga, Mane. Di sana pantainya lebih luas dan lebih sepi dibandingkan dengan pantai lain di sepanjang sungai Tangse. Jadi, para sahabat yang telah lama tidak bersua itu bisa reunian dengan nyaman tanpa ada gangguan.
Pepohonan yang besar tumbuh di pinggir sungai. Rantingnya yang telah tua dijadikan kayu bakar untuk memasak daging kambing yang telah disembelih sebelum berangkat. Bumbu kari juga telah disiapkan dari rumah. Jadi, setiba di sungai, kami hanya memasak kari kambing dan nasi. Kaum Adamlah yang mengambil kendali dalam memasak kari kambing. Ya, memang sudah menjadi tradisi kalau daging ini menjadi jatah laki-laki untuk mengolahnya. Tidak hanya saat meuramin, saat acara kenduri seperti maulid atau pesta pernikahan pun berlaku hal yang sama. Kaum Hawa menyiapkan cemilan buah-buahan seperti mentimun untuk dikonsumsi setelah makan kari.
Siang hari, kari kambing pun masak dan menjadi waktu yang tepat untuk makan-makan. Anak-anak dari peserta reuni yang sedari tadi asyik bermain di sungai pun menghentikan aktivitasnya untuk mengisi perut. Porsi makan di pinggir sungai sambil meuramin pun bertambah dua kali lipat dari biasanya. Suasana sungai yang dingin dan lelah setelah memasak membuat nafsu makan semakin meningkat.
Setelah makan-makan, di antara peserta reuni itu ada yang kembali bercerita tentang masa-masa sekolah mereka, ada juga yang menceburkan diri ke dalam sungai. Baru ketika sore menjelang, seluruh rombongan bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing. Tapi sebelum pulang, tidak lengkap rasanya kalau belum foto bersama ๐
rahmiaziza says
Jernih banget airnya mba. Moga selalu bersih meskipun banyak wisatawan yang berkunjung yaa
jokokendal says
Apakah maksud kata2 “meuramin di bineh pante” Maklum bukan orang Aceh. At least serba sedikit dapat mempelajari bahasa Aceh melalui blog ini.
duniaely says
Wah …gambar gambar di atas bikin mupeng mbak ๐
Fardelyn Hacky says
Kirain tadi benaran pante za. Rupanya ‘pantai’ (pinggiran) sungai ๐
Soalnya kalo bahasa Aceh di Aceh Selatan, istilah pante memang ditujukan buat pantai di laut, hahaaa…
Safariku says
Meuramien di Krueng Tangse memang asik. Apalagi jika musim duren. Sayangnya pas kami datang, musim duren justru di kecamatan tetangga, Mane. Kisah kami di sini nih http://www.safariku.com/2014/08/enaknya-durian-geumpang.html
indrijuwono says
aduuh, seru juga. jadi pengen bineh pante bareng anak-anak laiinn..