Setelah mengetahui kalau di rahim saya telah ada janin yang berkembang, maka saat itu juga saya memutuskan untuk cuti sementara dari predikat tukang jalan yang selama ini melekat dalam diri. Cuti dari jalan-jalan yang melelahkan, tepatnya. Karena memiliki riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya, dokter kandungan melarang saya untuk melakukan aktivitas berat, termasuk jalan-jalan.
Namun, ketika memasuki trimester kedua dan Alhamdulillah dedek bayi dikandungan baik-baik saja, saya pun mengajak suami untuk jalan-jalan. Bosan sekali rasanya kalau duduk dan diam di rumah. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk pulang ke kampung suami di Seulimum.
Banda Aceh – Seulimum berjarak 40km biasanya kami tempuh setengah jam dengan menggunakan motor, tapi kali itu harus kami lalui hampir satu jam. Maklum, ngga boleh ngebut-ngebut karena ada dedek bayi di perut. Dan ketika tiba di sana, saya tidak ingin hanya diam di rumah saja.
“Ayo kita jalan-jalan!”
“Mau jalan kemana? Kan Seulimum udah kita jelajahi semua.”
“Ke Lamteuba yang tembus ke Krueng Raya,” ajakku.
Sudah lama saya kepingin ke Lamteuba, salah satu desa yang terletak di pedalaman Seulimum, Aceh Besar. Konon katanya, pemandangan dari Lamteuba ke Krueng Raya sangat indah. Pantai dengan pasir putih terbentang di sepanjang jalan ke sana.
Karena kasihan melihat istrinya yang sudah lama mendekam di rumah, Bang Thoenis akhirnya nurut saja dengan pintaku. Di pagi hari yang cerah, kami pun menuju Lamteuba. Namun, sebelum Lamteuba, ada desa lain yang harus kami lalui, namanya Lamkabeu. Lumayan jauh juga untuk tiba ke Lamkabeu dari pasar Seulimum. Kami harus menempuh beberapa kilometer hingga tiba di pemukiman penduduk. Ah, tidak bisa dibayangkan bagaimana masyarakat desa itu bisa ke pasar Seulimum kalau tidak ada kendaraan. Tapi kenyataannya mereka bisa. Perjalanan jauh tidak menjadi halangan bagi penduduk di desa itu.
Setelah melewati pemukiman Lamkabeu, kami pun disiguhi oleh pemandangan sawah yang baru siap panen. Langit biru dengan awan berarak menemani perjalanan kami. “Dulu jalannya ngga sebagus sekarang. Batu semua,” jelas Bang Thoenis. Jalan bagus begini saja pinggang saya sudah mulai sakit. Soalnya sangat banyak tanjakan yang harus kami lewati.
Ini belum seberapa. Kami harus menempuh beberapa kilometer lagi baru bisa sampai ke Lamteuba. Dan jalannya tidak semuanya mulus. Ada tanjakan, turunan, dan beberapa badan jalan yang rusak. Di sisi kanan dan kiri jalan adalah perkebunan warga. Ada yang menanam pinang, kunyit, dan karet. Hawa dingin mulai terasa ketika kami tiba di puncak Lamkabeu.
Tiba -tiba suami saya menghentikan motor dan mengajak saya untuk mendaki puncak Lamkabeu. Tidak tinggi memang, tapi untuk wanita hamil cukup membuat nafas ngos-ngosan. Dari puncak saya bisa melihat Seulimum dan gunung Seulawah yang tertutup awan. Indah sekali.
Tapi saya belum puas karena belum tiba ke Lamteuba. Akhirnya kami kembali berjalan. Asli, jalan yang kami tempuh tidak semulus sebelumnya. Sangat banyak jalanan berbatu dan mendaki. Walhasil, karena pinggang semakin sakit, saya pun menyerah. “Ayo kita pulang,” aku mengajak Bang Thoenis untuk memutar arah. Seharusnya saya sadar kalau tubuh ini tidak seenerjik dulu dan bersabar sampai beberapa bulan ke depan sampai buah hati terlahir ke dunia.
Walhasil, saya cukup berpuas diri karena bisa mencapai puncak Lamkabeu. Mungkin nanti setelah dedek bayi lahir, kami bisa pergi bersama-sama ke Lamteuba lalu ke Krueng Raya sampai akhirnya kembali ke Banda Aceh lagi.
momtraveler says
Sabar tinggal beberapa bulan lg terus bisa jln bertiga deh ma si dedek..pasti makin seru ^-^
foto-graper says
wow, romantis kale ya buk? 😛