“Ka jak sikula, neuk2. Mak tidak apa-apa sendiri. Cuma batuk biasa kok, besok pasti sembuh,” berulang kali Rahma mengutarakan maksudnya dan jawaban emak tidak pernah berubah. Besok pasti sembuh.
Gadis yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar ini termangu ketika melihat sekelompok kakak-kakak berbaju putih sedang berbicara dengan kepala sekolah. Seluruh teman-temannya mengerumuni kakak-kakak tersebut. Rahma pun tidak tinggal diam, rasa penasarannya membawa gadis itu ikut menyusup ke dalam kerumunan.
Seluruh siswa segera menuju balee mesjid yang terletak tepat di samping sekolah mereka. Memang balee itu kerap digunakan sekolah yang letaknya di pinggir bukit barisan ini kalau ada acara temu ramah. Maklum saja, sekolah tempat Rahma menuntut ilmu itu tidak memiliki aula sehingga fasilitas mesjid pun menjadi tumpuan.
Rahma menganggu-angguk. Walaupun tidak lancar berbicara bahasa Indonsia tetapi ia mengerti apa yang kak Fathina jelaskan. Tiga kali seminggu ia belajar pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Begitupun dengan teman-teman yang lain, apalagi yang duduk di kelas enam. Bahasa Indonesia mereka tentu lebih baik dari dirinya.
Kak Fathina membenarkan jawaban Rahma dan Miftah seraya terus melanjutkan penjelasannya. Tentang berbagai reaksi tubuh yang muncul untuk mengeluarkan kuman yang masuk, contohnya batuk dan bersin. “Jadi, di tubuh kita itu ada tentara. Kalo ada musuh yang datang, tentara itu langsung menyerang musuh tadi. Jika musuh itu masuk ke hidung kita, maka tentara itu akan menyerang, dan jadilah bersin. Tapi, kalo ngga berhasil juga, tentara mengeluarkan granat. Dan terjadilah batuk.”
Matahari sangat terik ketika Rahma pulang dari sekolah melewati pematang sawah. Genangan air karena hujan semalam memantulkan cahaya raja siang itu. Burung beo sedang mencari kutu-binatang kecil yang sangat menjengkelkan- di atas badan kerbau. Tentu saja kerbau di sawah itu merasa girang, karena gatal gara-gara kutu akan hilang. Begitu juga beo, perutnya yang kosong akan terpenuhi dengan memakan kutu-kutu itu. Simbiosis mutualisme, begitu jelas Bu Ros-guru di kelas Rahma-tentang hubungan yang saling menguntungkan antara dua makhluk. Namun Rahma tidak menghiraukan pemandangan itu. Segera tiba di rumah dan bertemu dengan emak adalah tujuan utamanya.
“Mak, bah Rahma yang taguen bu9,” ucap Rahma ngos-ngosan. Hari ini adalah rekor tercepat ia berlari. Sepuluh menit dengan jarak 2 kilometer.
Emak yang tidak menyadari kedatangan Rahma spontan terkejut. “Hana jak sikula neuk? ”
Awalnya emak tidak mengizinkan Rahma mengambil alih tugasnya. Tapi akhirnya wanita itu menurut juga ketika melihat gadisnya telah meneteskan air mata.
Penjual di toko itu menatap Rahma dengan aneh. Anak kecil mau beli kompor?
“Lon mau beli kompor,”
Penjual itu kemudian tertawa,“Dek, kalo mau beli kompor itu suruh beli sama mak saja. Masa’ anak kecil mau beli kompor.”
“Tapi, mak lon saket.”
“Itu harga nya 100 ribu,.”
“Ngga kurang lagi, Bang?”
“Itu udah yang paling murah,Dek. Pulang saja kamu. Besok- besok ajak makmu beli.”
“Saya mau beli sekarang!” Rahma bersikeras.
“Ya sudah, mana duitnya?”
Tapi tidak mungkin emak sedang menutup kandang bebek. Bebeknya yang hanya dua ekor itu sudah dipotong dua hari yang lalu. Ada tamu? Tidak mungkin juga. Siapa yang mau bertamu hujan-hujan begini. Jadi, kenapa pintu rumah terbuka?
“Rahma, jok saleum dilee keu jamee. Itu kakak-kakak yang di belakang Rahma ngon pak Gade,” kata emak yang isinya sangat jauh dari perkiraan Rahma.
Rahma berbalik, ia melihat ada beberapa kakak-kakak dan juga Pak Gade di belakangnya.
“Rahma, kakak-kakak ini baru aja meriksa emak kamu. Ngga usah khawatir, kalau minum obat yang teratur, dua atau tiga hari lagi Insyaallah sembuh,” jelas pak Gade.
“Dek Rahma! Tadi setelah penyuluhan di sekolah, kami mengadakan survey ke rumah-rumah warga untuk mengobati yang sakit. Kebetulan sekarang gilirannya rumah Rahma. Jadi sekarang kami sedang mengobrol sedikit dengan emak Rahma,” ucap salah seorang dari mereka yang ternyata adalah kak Fathina.
“Tenang Rahma, kakak-kakak ini juga membagi-bagikan kompor gratis untuk warga, termasuk untuk Rahma. Jadi, jangan sedih lagi ya, Neuk!” terang pak Gade sambil menunjukkan kompor alumunium di sudut ruangan yang mirip sekali dengan yang dilihat Rahma di pasar.
“Alhamdulillah.” Rahma kembali tersenyum dan memeluk emaknya erat.
Keterangan :
ngon kecap nyoe: dengan kecap ini
Ka jak sikula neuk: pergi sekolah, nak!
Balee : Surau
Tangse : salah satu kecamatan di Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam yang terkenal sebagai lumbung padi Pidie
meuah adek-adek beh, kakak hana that jeut bahasa Aceh: maaf ya adik-adik, kakak tidak begitu bisa bicara menggunakan bahasa Aceh
miseu batuk jih ka trep. Ka leubeh si uroe. Nyan ka peunyaket: kalau batuknya sudah lama, lebih dari sehari. Itu sudah termasuk penyakit
peu lom masak ngen kayee: apa lagi kalau menggunakan kayu bakar
Peugah bak mak, masak ngen kompor: bilang sama ibu untuk memasak dengan menggunakan kompor!
Mak, bah Rahma yang taguen bu: Mak, biar Rahma saja yang memasak nasi
mak jak istirahat mentong, bah batὄk mak puleh: Mak, istirahat saja agar batuknya segera sembuh
Nyoe dilikot lon: itu, yang di belakang saya
padum saboh: berapa harganya satu?
Aneuk manyak ka carong meutang. Jak keudeh. Keun dijak beut ngen sikula ken keudeh!: Anak kecil sudah pintar ngutang. Pergi sana! Bukannya mengaji atau belajar di sekolahan.
jok saleum dilee keu jamee: beri salam dulu untuk tamu
pinkuonna says
Salam Liza,
Kunjungan balik nih 🙂 Senang baca cerita ini ada bahasa Acehnya 🙂