Liukan Musi yang panjang dan berwarna kuning keemasan mulai terlihat dari udara. Pun demikian dengan pohon kelapa sawit dan karet yang berjejer rapi menyerupai barisan para serdadu telah tampak jelas lewat jendela pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi. Saya hampir tiba lagi di Palembang, gumam saya sambil terus melihat pemandangan alam dari atas awan. Provinsi yang pernah saya singgahi tepat setahun lalu (Baca; Bertemu Ampera dan Musi di Bumi Sriwijaya). Tanah kelahiran Muthe dan Heru, dua sahabat yang saya kenali saat pemilihan Duta Bahasa Nasional di Jakarta tahun 2010 lalu. Ya, dari mereka saya tahu istilah Wong Kito, bahasa Palembang yang bermakna orang kita. Dan kampungnya Kak Mita, kakak merangkap teman dekat yang pada mulanya bertemu di dunia maya.
Benar saja, tidak lama kemudian awak kapal mulai mengumumkan bahwa sebentar lagi kami, para penumpang akan mendarat di Bandara Sultan Badaruddin II. Semua tindakan keamanan saat pesawat turun diabakan seperti mengencangkan safety belt, menegakkan sandaran kursi, dan menutup meja. Namun, ada pengumuman yang sedikit kurang sedap terdengar, cuaca di Palembang terutama di bandar udara sedang diguyur hujan lebat.
Tepat pukul 16.30 saya tiba di Palembang setelah menempuh perjalanan panjang dari Banda Aceh. Ya, butuh waktu 7 jam untuk tiba ke Bumi Sriwijaya ini dari Serambi Mekkah. Tidak ada pesawat langsung dari Bandara Sultan Iskandar Muda (BTJ) ke Bandara Sultan Badaruddin II melainkan harus transit dulu dari Banda Aceh – Jakarta lalu Jakarta – Palembang. Perjalanan udara yang panjang dan membuat badan pegal-pegal meskipun semua itu terobati ketika mengingat Jembatan Ampera dan air kuning keemasan-nya sungai Musi yang ingin saya nikmati lagi.
Sore itu hujan turun dengan lebatnya. Dalam perjalanan dari bandara, saya melihat sedang ada pembangunan di tengah-tengah jalan. Menurut supir mobil travel yang saya tumpangi, crane besar yang terdapat di tengah jalan serta kaum adam berhelm combat di sana adalah alat dan pekerja pembuatan monorail. Paling telat 2018, Kota Pempek ini akan memiliki MRT. “Sekaligus untuk menyambut Asian Games,” jelas Pak Supir.
Saya hanya bisa ber-o panjang mendengar penjelasan sang bapak. Hebat Palembang ini. Beberapa tahun lalu jadi tuan rumah SeaGames dan dua tahun ke depan kembali didaulat menjadi tuan rumah pertandingan olah raga yang lebih besar lagi, AsianGames.
Karena belum ada tanda-tanda hujan akan reda, saya memutuskan untuk istirahat di Mess Asrama Haji yang terletak tidak jauh dari bandara, hanya 7 menit perjalanan dengan menggunakan taksi. Meskipun tidak semewah hotel, penginapan ini cukup nyaman dengan fasilitas kamar yang memadai dan restoran yang citarasa makanannya cukup lezat di lidah. Tarif permalam mess yang memang dibuka untuk umum alias tidak hanya bagi yang ingin naik haji juga cukup terjangkau. Bagi yang menginginkan penginapan yang dekat dengan bandara Sultan Badaruddin II Palembang, maka saya merekomendasikan Mess Asrama Haji sebagai pilihan.
Keesokan pagi saya bergegas memesan taksi untuk membawa saya bertemu dengan kak Mita, sahabat virtual saya sejak 5 tahun yang lalu. Ia berencana mengajak saya keliling kota Palembang dan menikmati spot wisata yang ada di sana. Karena aktivitas saya lumayan padat selama di Kota Pempek ini, maka waktu sehari yang tersedia benar-benar saya manfaatkan untuk pelisiran.
Di daerah Cindai, pukul 7.30 WIB, saya dan kak Mita janjian bertemu. Sayangnya, taksi yang saya tumpangi tidak bisa berjalan cepat. Jalanan macet dengan pengendara kendaraan yang dikejar oleh waktu untuk segera tiba di tempat sekola atau kerja. Belum lagi jarak Mess Asrama Haji ke Kota yang lumayan jauh, butuh waktu kurang lebih 30 menit untuk tiba kesana jika tidak macet. Nah, kalau macet seperti ini?
Perjalanan yang seharusnya ditempuh selama 30 menit akhirnya tembus 1 jam. Selain taksi, ada juga transportasi publik lainnya yang bisa ditumpangi, Bus Transmusi misalnya, tetapi kendaraan ini penuh sesak oleh penumpang pada pagi hari. Saya dan kak Mita pun bertemu di tempat yang sebelumnya kami sepakati. Karena sudah sering berkomunikasi via online atau by phone dan sudah pernah bertemu sekali, kami berdua sudah tidak canggung lagi saat berjumpa. Dengan menggunakan sepeda motornya, kak Mita pun mengajak saya berwisata. Sayangnya, ia hanya bisa menemani saya sampai pukul 09.30. Maklum, teman saya itu berprofesi sebagai guru di Sekolah Alam Palembang.
Kemana sajakah saya dan Kak Mita? Tunggu postingan berikutnya.
mysukmana says
Flying with the wing palembang kota mpek mpek..barusan kmrn makan mpek mpek raja di Solo
Liza Fathia says
Iya, pempek emang maknyus mas. Bikin ketagihan. Apalagi kuah cukonya
Anis Hidayah says
Kota pempek, Kota Pempek,,,,
Hebat ya mbak kota ini. dahulu seagame, akan datang Asian Games,,, semoga kedepannya bisa olympic Games,,,
Weh seger nuw mbak, baru datang sorenya di guyur hujan,,, ketemu sahabat lama lagi, begitu menyenangkan 🙂
Liza Fathia says
iya mas, Palembang memang wow!
Lidya says
asyiiik mau diajak jalan-jalan ke Palembang sama Mbak Liza, aku tunggu postingannya ya mbak. Lagi senggang baru bisa bw lagi 🙂
Liza Fathia says
SIIP… ditunggu ya mbak lyd
Rifqy Faiza Rahman says
Baru tahu kalau penerbangan dari Aceh ke Palembang kudu ke Jakarta dulu. Mudah-mudahan bisa langsung ya kapan-kapan 🙂
Saya juga ngidam ke Sumatera Selatan 😀
Liza Fathia says
Iya kak rifqy, harus mutar dulu. atau bisa juga dari banda aceh- medan – palembang
winnymarlina says
kak aku fans ama palembang
Dewi says
Wuih.. Pengen rasanya makan pmepek di palembang langsung 😮
Liza Fathia says
Pempeknya enak
Agenset says
adeeuuhhh pempek… yummy tuh…
Dedandes Dani says
Kangen palembang, terakhir kesana 5 taon yang lalu T_T
omnduut says
Daerah Cindai itu apa maksudnya Cinde ya mbak? Hihi. Btw, berapa tarif semalam di mess ya?
Liza Fathia says
oh, cinde ya omm, hahaha edit segera. sekitar 300-500 ribu kalo ga salah. aku acara kantor sih
rita asmaraningsih says
Wah…aku gak tahu kalo Mba Liza berkunjung ke Palembang.. bisa ketemuan dan jalan2 bareng.. Kapan nih ke Palembang lagi? Beri kabar ya..