Saat menapaki jejak kaki di seputaran jalan Peunayong, Banda Aceh, saya merasakan nuansa yang berbeda di sana. Deretan bangunan toko dan rumah membuat alam bawah sadar seakan-akan berada di negara Cina. Bangunan tua perpaduan antara arsitektur Cina dan Belanda dari abad ke 19 menjadi penanda bahwa Peunayong telah lama ada. Gampong Cina (Pecinan, red), masyarakat kota Banda Aceh melabelkannya. Kota tua yang terletak empat kilometer dari utara Mesjid Raya Baiturrahman menyimpan mutiara pemikat hati, mutiara yang akan menjadi magnet bagi wisatawan lokal, nasional, dan manca negara.
Selain sebagai tempat pemukiman etnis Tiong Hoa, Peunayong juga merupakan salah satu pasar utama yang menjual kebutuhan primer warga Banda Aceh seperti sayur mayur, buah-buahan, ikan, dan daging.Letaknya sangat strategis yaitu di tepi Krueng Aceh dan empat kilometer dari Selat Malaka. Jaraknya dari pusat kota Banda Aceh pun tidak jauh. Hanya dua kilo meter dari Mesjid Raya Baiturrahman. Mungkin inilah penyebab Pasar Peunayong ini selalu padat dengan pedagang dan pembeli.
Di pasar itu, keharmonisan antara etnis Cina dan masyarakat Aceh dalam mencari sesuap nasi terjalin dengan baik. Tak jarang, orang Aceh yang menjadi karyawan di toko sembako milik keturunan Tionghoa (sebutan lain untuk etnis Cina). Begitu pula sebaliknya, tidak sedikit warga Tionghoa yang mengangkut dagangan masyarakat Aceh, lalu dengan becak barangnya dagangan itu di antar ke tempat tujuan.
Jika menilik sejarah, hubungan Aceh dan Cina telah terjalin sejak abad ke 17 M. Saat itu para pedagang termasuk pedagang dari Cina selain datang dan berdagang secara musiman pada bulan-bulan tertentu ke ibu kota Aceh, ada juga yang tinggal dan berdagang secara permanen. Mereka yang menetap, tinggal di perkampungan Cina yang terletak di ujung pelabuhan. Dan Peunayong merupakan salah satu lokasi tempat yang digunakan pedagang Cina untuk menurunkan barang dan tempat tinggal.
Asal muasal kata Peunayong tidak ada yang tahu begitu pula dengan artinya. Apa mungkin Peunayong itu diambil dari kata payong yang artinya pelindung?
“Peunayong ini sudah ada sejak jaman kerajaan Iskandar Muda. Saya tidak tahu dari mana kata Peunayong itu diambil. Dalam bahasa saya tidak ada kata Peunayong, ” jelas Tek Lie (50), lelaki etnis Cina suku Khe yang saya jumpai di depan tokonya yang terletak di Lorong Jambi tak jauh dari Pasar Peunayong. Saat itu, lelaki paro baya itu sedang mengupas bawang putih yang nantinya akan dihaluskan dan dijual ke pasar.
Tak hanya hanya pertokoan yang ada di lorong itu, tetapi deretan perumahan petak yang jarak antara setiap rumah hanya dibatasi tembok yang langsung dijadikan sebagai dinding menjadi tempat hunian penduduk bermata sipit dan berkulit putih itu. Rumah yang sangat sederhana dengan ruang tamu kecil yang terdapat dupa di dalamnya, sebuah kamar yang disekat dengan triplek, dan dapur.
Selain Tek Lie, beberapa warga Cina suku Khe itu juga sibuk melakukan aktivitasnya. Ada yang mengupas bawang putih, memasukkan rempah-rempah yang telah digiling ke dalam plastik kecil untuk dijual di Pasar Peunayong, ada juga yang duduk-duduk bercengkrama sesama mereka.
Senyum ramah terlempar dari sudut bibir mereka. Namun tidak sedikit di antara warga Cina yang terdiri dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian, dan subetnis lainnya menarik diri dari orang asing seperti saya. Pak Salam contohnya, lelaki tua yang juga tinggal di deretan perumahan itu langsung masuk ke rumahnya ketika saya hampiri. Namun, ketika melihat perlakuan ramah warga lain lelaki itupun akhirnya luluh juga.
“Saya olang miskin. Tidak punya usaha sepelti orang Cina lain,” ucapnya dengan suara pelo. Bibirnya yang merot ke samping dan cara berjalannya yang pincang membuat saya berkesimpulan bahwa dia pernah mengalami penyakit stroke.
Dulu saya mengira bahwa warga Cina yang tinggal di Peunayong adalah warga yang kondisi perekonomiannya menengah ke atas. Lihat saja deretan pertokoan yang menjual sembako, kelontong, obat-obatan, kain, pakaian, dan juga alat tulis serta pelbagai komoditas lainnya. Hampir semuanya adalah milik mereka. Tetapi kenyataannya kondisi kehidupan warga Cina sama saja dengan penduduk pribumi. Ada yang hidup dengan ekonomi berkecukupan, ada pula yang berada di bawah garis kemiskinan. [] Liza Fathia
sundhe says
Kangen peunayong T_T
Klo di Meulaboh dl ada pasarbaru, pecinannya Aceh Barat
Liza Fathia says
Ohya? Harus ditulis NIH kalo sempat kesanA
kutukamus says
He..he.. waktu baru baca setengah judul, tadinya sempat saya kira Peunayong itu nama tempat di Korea. Bagus ya harmoni antar warganya. Salam Nusantara! 🙂
Liza Fathia says
Hehehe…salam
Eddy Mahfud says
Nice share, kota pecinan dgn sejarah panjang, btw, ini postingan saya ttg pnayong
Liza Fathia says
Terima kasih
Liza Fathia says
Masih simpang siur ttg artinya mbk
konveksi seragam jaket kaos says
artikelnya seru juga, thanks