Sebelumnya saya pernah bercerita tentang beratnya perjuangan untuk merayakan lebaran Idul Fitri 1436 H yang jatuh pada bulan Juli 2015 kemarin. Dua hari sebelum lebaran sebenarnya kami sudah dinyatakan libur dari kantor. Oleh karena itu, saya dan keluarga pun pulang dengan menumpang mobil kepala kantor ke Banda Aceh. Selain kepala kantor, saya dan suami serta si kecil Naqiya, ada juga seorang staf lain yang juga ikut numpang dengan mobil tersebut.
Pagi-pagi sekali kami sudah berangkat dari Meulaboh dan berharap bisa tiba di Banda Aceh lebih awal. Sejam pertama perjalanan lancar, meski sisa hujan kemarin masih terlihat dengan genangan air dipinggir jalan. Namun begitu tiba di daerah Teunom, Aceh Jaya, kami dihadang oleh banjir yang menggenangi jalan raya. Beberapa mobil pemudik yang mencoba menerobos banjir ternyata tidak berhasil. Sadar dengan keadaan ini, kami pun bersabar, menunggu, berharap airnya bisa surut. Lama menunggu, tak ada tanda-tanda air surut, kami pun menunggu di mesjid desa tersebut. Pemudik lain juga mulai memarkirkan mobilnya ke halaman mesjid, sambil mencoba menelpon kawan, kenalan atau keluarga tentang keadaan banjir di sepanjang jalan lintas barat Aceh.
Awalnya kami berharap, setelah zuhur airnya bisa surut, namun hingga masuk waktu shalat asar, belum ada tanda genangan air akan berkurang. Setelah shalat asar berjamaah di mesjid tersebut, kami sempat mendengar imam mesjid membuat pengumuman lewat pengeras suara ke seluruh warga desanya untuk membawa makanan ala kadarnya ke mesjid untuk berbuka puasa. Awalnya saya kira itu hal yang lazim, karena di kampung saya, atau di kampung-kampung lain di Aceh, setiap warga atau setiap rumah punya giliran untuk membawa makanan berbuka puasa ke mesjid atau meunasah sepanjang Ramadhan. Tapi saat waktu berbuka mulai mendekat, saya kaget dengan banyaknya warga yang membawa makanan, dan ternyata makanan tersebut untuk kami para pemudik yang masih bertahan di mesjid, menunggu genangan air dijalan surut sehingga bisa dilewati dengan mobil.
Makanan yang dibawa juga benar-benar ala kadaranya, atau tepatnya, apa yang dimakan oleh warga tersebut untuk berbuka puasa, tidak lebih dan tidak pula kurang. Setiap warga membungkus sendiri makanannya dalam plastik atau daun pisang. Tiap bungkus biasanya terdiri dari nasi dan sayur. Ada yang membawa kuah sayur, telur ayam rebus, kuah leumak, ikan goreng, dan sebagainya, sungguh sangat sederhana. Makanan yang dibawa warga kemudian diserahkan ke panitia di mesjid. Oleh panitia makanan, atau nasi bungkus ala kadar tersebut kemudian disusun berjejer, seperti orang mau makan saat kenduri di kampung. Selain itu para panitia juga menyiapkan air sirup yang dicampur es dan timun.
Setelah waktu berbuka mendekat, lewat pengeras suara panitia memanggil kami, para pemudik, untuk masuk dan berbuka didalam mesjid. Kaum lelaki berbuka didalam mesjid, sedangkan kaum ibu dipersilakan naik ke balai yang letaknya juga di depan mesjid. Saat waktu berbuka tiba, kami pun semuanya sudah berkumpul dan duduk didepan makanan. Kamipun menyantap makanan berbuka pemberian warga ini dengan penuh kenikmatan dan suka cita.
Harus diakui, saya sangat salut dengan cara warga ini bergotong royong membantu kami pemudik yang sedang ditimpa kemalangan, padahal beberapa dari warga ini juga sedang mengalami musibah seperti kami, bahkan lebih parah, karena beberapa rumah mereka memang tergenang banjir yang membuat mudik kami tertunda.
Saya salut dengan hanya sekali pengumuman, mereka tahu harus melakukan apa- memberikan sebagian makanan yang mereka punya untuk kami yang memang tidak punya makanan berbuka sama sekali. Apalagi saat itu kami berada di pedesaan yang tidak ada seorang pun yang berjualan. Saya percaya, mereka sangat iklas memberikan makanan kepada kami, dan sebagai terima kasih, kami hanya bisa berdoa semoga musibah seperti ini tidak lagi terjadi, dan tentunya mereka diberikan kemudahan rezeki oleh Allah SWT. Amin.
Lusi says
OOT tapi masih ada hubungannya. Waktu arisan ibu2 kemarin, gara2 nggak kompak, tiba2 pada merasa kangen dg suasana dulu sewaktu ada gempa. Kadang persaudaraan, gotong royong, lebih terasa jika sama2 sedang kesusahan.
Liza Fathia says
Iya juga sih mak lusi, kalo ga ada musibah orang jadi serba nafsi-nafsi ya
Lidya says
Allhadulillah masih ada yang mau berbagi ditengah musibah ya mbak. Mudha-mudahan banjir gak datang lagi
Liza Fathia says
Amiiin… Betul mak, terharu banget saya waktu itu
Vhoy Syazwana says
Subhanallah,luar biasa. Patut ditiru rasa persaudaraan mereka ya Mak. Inspiratif.
Liza Fathia says
iya mbak vhoy, salut banget sama mereka