Ketika duduk sendiri di keramaian, saya suka memperhatikan orang yang lalu lalang. Melihat cara berpakaian mereka, gaya berjalan, berbicara, dan lain-lain. Seru aja rasanya melihat beragam tingkah laku manusia. Eits, tapi itu saya lakukan kalau lagi duduk sendiri, tidak ada kerjaan, dan tidak ada teman yang bisa diajak mengobrol.
Siang itu, perasaan saya bercampur baur, antara sedih, mengantuk, dan suntuk. Sedih karena harus berpisah lagi dengan Bang Thunis yang harus kembali lagi ke Berlin. Mengantuk karena malamnya saya tidak dapat tidur. Suntuk karena sudah berjam-jam saya menunggu pesawat yang akan membawa saya pulang ke Aceh di bandara LCCT. Pesawatnya nggak delay sih, tapi sayanya yang terlalu cepat tiba. Ponsel di tangan saat itu juga tidak dapat diajak kompromi. Baterai yang sudah sekarat mengurungkan niatku untuk membukanya. Kalau sampai ia mati, alamat tidak akan ada jemputan ketika tiba di bandara Sultan Iskandar Muda nanti.
Jam masih menunjukkan pukul tiga siang, itu artinya masih ada satu jam lagi waktu yang harus saya lalui. Kantuk makin gencar menyerang, tapi saya tidak boleh tertidur.
Walhasil, agar si Mr. Ngantuk lenyap dari muka bumi, saya pun berjalan-jalan sambil melihat berbagai etnis manusia yang sedang menunggu keberangkatan juga. Kebanyakan mereka hendak ke Indonesia. Itu kuketahui dari pengeras suara yang mengumumkan keberangkatan ke berbagai daerah seperti Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Palembang, tetapi saya belum mendengar nama Aceh disebutkan.
Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada wanita yang usianya sekitar 40 tahunan. Ia terlihat unik dibandingkan dengan wanita lain di bandara ini. Wajahnya tampak begitu sendu. Dandanannya terlihat aneh dibandingkan dengan penumpang lainnya. Saat itu ia mengenakan gaun biru selutut dengan bagian atas dibiarkan terbuka. Rambutnya yang pirang dan keriting iya ikat dengan karet. Dua bunga kamboja terselip di ikatan rambutnya. Ia terlihat linglung dan akhirnya memilih duduk.
Saya terus berkeliling, sesekali saya mendengar ada orang yang berbicara dalam bahasa Aceh. Mungkin mereka hendak pulang ke nangroe juga, pikirku. Setelah lelah berjalan, saya pun mencari tempat duduk. Ada beberapa bangku yang kosong tapi di sebelahnya adalah laki-laki. Saya lalu mencari tempat duduk lain dan ternyata di samping wanita unik itu ada sebuah bangku yang kosong.
Ketika mengetahui saya duduk di sampingnya, wanita itu menoleh. Saya melemparkan senyum dan ia pun membalasnya.
“Where do you wanna go?” tanyaku. Lalu ia membalas dengan bahasa yang sama sekali tidak kupahami. Suaranya terdengar begitu lembut dan berirama.
“Do you speak English?”
“Oh… Yes, Ido…” Dia pun menjelaskan kalau ia baru dari Kamboja dan hendak ke Bali.
Mungkin bunga yang di rambutnya itu adalah souvenir dari Kamboja, ya? Percakapan kami pun berlanjut mulai dari saling bertanya hendak pergi kemana, berasal dari mana, pergi dengan siapa, dan berbagai pertanyaan orang yang baru kenal lainnya. Sayangnya ketika saya mengatakan kalau saya berasal dari Aceh, wanita itu tidak tahu dimana kampung saya berada. Baru ketika saya mengucapkan kata tsunami, ia langsung membulatkan mulut dan ber-ooo panjang.
“I am sorry to hear that,” perempuan itu menunjukkan wajah belasungkawanya.
Kami pun saling bercerita. Ia bertanya banyak hal tentang Aceh dan saya pun menjelaskan panjang lebar padanya dengan bahasa Inggris saya yang sangat berlepotan. Begitupun dengannya, ia bercerita bahwa ia berasal dari Spanyol dan hendak ke Bali untuk mengurusi pekerjaannya.
“Spain and football!”
Ia tertawa lebar mendengar ucapanku.
“Ratilla,” begitu ia menyebutkan namanya lalu menanyakan namaku.
“Liza,” ucapku kemudian. Wanita itu mengatakan kalau ia suka namaku, ia menyukai nama yang pendek. Dalam hati saya hanya tersenyum, dia tidak tahu kalau itu hanya nama depan saya.
Di usianya yang sudah tidak lagi muda, perempuan Spanyol itu belum memiliki anak. Kemana-mana ia selalu bersama suaminya. Ketika saya menjelaskan kalau saya dan suami tinggal di benua yang berbeda, dengan wajah sedih ia mengatakan, “oh Liza, I am sure, it’s very hard for both of you. But, I believe you will be together soon. Don’t give up darling.”
Dari cara ia berbicara, kami bagaikan dua orang teman yang sudah saling kenal sejak lama. Namun, setiap pembicaraan kami, selalu ada jeda beberapa detik. Dengan jujur Ratilla mengakui bahwa bahasa Inggrisnya tidak bagus, padahal banyak yang ingin ia tanyakan dan ceritakan. Saya pun demikian. Jadinya klop, kami berbicara dalam bahasa Inggris yang hancur dan sepertinya hanya kami berdua yang memahaminya.
Selama hampir satu jam mengobrol dengan Ratilla, ada bagian dirinya yang unik dan tidak luput dari perhatian saya. Kali ini bukan karena style-nya yang unik, tapi body language-nya. Wanita itu sangat expressive. Wajah dan gerakan tubuhnya menyatu dengan tutur katanya. Saya jadi teringat serial telenovela yang kerap saya saksikan saat SD dan SMP dulu. Gaya Ratilla persis seperti wanita-wanita di dalam drama seri itu.
Saking asyiknya berbagi kisah dengan Ratilla, saya hampir saja ketinggalan pesawat. Untungnya antrian penumpang yang hendak ke Banda Aceh cukup panjang sehingga saya masih bisa mengejar ketinggalan.
“Ratilla, I have to go. Nice to meet you,” saya pun berpamitan. Ratilla dengan mimik sedihnya memelukku dan menciup kedua pipiku.
“Take care, Liza.” Bisiknya sambil melepaskan pelukan hangatnya.
Kok rasanya sedih ya ketika berpisah dengan perempuan berwajah sendu itu. Padahal ia hanya orang asing yang baru satu jam yang lalu saya kenal. Benarlah jika orang mengatakan bahwa perjalanan akan mengajari kita banyak hal. Dan hari itu saya belajar (lagi) untuk tidak menilai seseorang dari kulit luarnya saja karena tanpa saya sadari dialah yang akhirnya menjadi teman yang mampu menghilangkan suntuk dan ngantuk saya. Hm… Don’t judge Ratilla by her cover.
cutisyana says
Gak tukeran fb kak sama mbak ratilla?
Liza Fathia says
ngga sempat cut, soalnya liza hampir ketinggalan pesawat karena keasyikan ngobrol
Tinanic says
wahh bener juga mba,,, terkadang saya suka parno duluan deh kalau diajak ngobrol sama orang yang g dikenal… *parno berlebihan…. Jadi nyesal kadang2 “Tadi kenapa saya g jawab ya, tadi kenapa saya cuekin ya, atau jangan2 orang yang tadi sedang butuh bantuan” begitulah kadang2 yang tersisa dihati saya, setelah habis bertemu seseorang yang tidak saya kenal dan ngajakin saya ngobrol tapi saya cuekin 🙁
azhariscm says
Memang kalo bepergian mempunyai keasyikan sendiri, ya salah satunya yang dialami oleh Kak Liza. Dapat berbicara dengan orang asing dan saling bertukar informasi walaupun terdapat kendala di dalamnya…
beumeutuah says
don’t judge others by what they read. aha, saya pun jadi teringat pada tulisan seorang kolumnis di republika beberapa tahun silam. barangkali idenya menarik juga untuk ditulis, kisahnya adalah tentang sang kolumnis yang sedang duduk di bis, dan ditanyai oleh orang di sebelahnya, “kamu anak jurusan bla, bla, bla” ya? Lalu si kolumnis bingung. Ternyata ia dikira anak fakultas X lantaran membaca buku literatur kuliah anak fakultas X. Jadi dalam ulasannya ia bertanya: “apa mesti anak fakultas X saja yang membaca buku-buku literatur fakultas X tersebut … menarik membaca pengalaman bergaul dengan bahasa “isyarat”. wartawan olahraga republika beberapa kali menceritakan pengalaman tersebut ketika bergaul dengan wartawan asing di sela-sela event olahraga akbar seperti SEA Games. pengalaman yang unik dan sekaligus lucu juga ,..
Ceritaeka says
That’s the art of traveling 😉
Liza Fathia says
That’s right kak eka
Makmur Dimila says
Seru ya… Saya juga sedang baca novel tentang travelling, seorang cewak bertemu dengan cowok nyentrik dalam perjalanan pertamanya ke luar negeri. Awalnya dia menganggap cowok itu menjengkelkan, tapi kemudian justru teman perjalanannya hingga bersama2 ke beberapa tempat. Hikmahtreveling 😀
ari keren says
maunya ada foto ratilla nya biar lebih seru…
Liza Fathia says
Itulah, hari itu baterai kamera udah habis, jadi ga sempat foto2