Seminggu sebelum lebaran, curah hujan di Aceh khususnya bagian pantai barat selatan sangat tinggi. Hampir setiap hari hujan turun. Padahal, sejak menjelang bulan Ramadhan, cuaca di sana sangat panas. Bahkan pernah mencapai 36 derajat Celcius. Begitu juga saat kami mudik ke Tangse, dua hari sebelum lebaran (14/07/2015), hujan masih turun dengan derasnya.
Akibat hujan yang tidak kunjung reda,debit air di sungai pun meluap. Lebih-lebih di wilayah Teunom, yang merupakan muara dari sungai Tangse. Karena hujan yang terus menerus, air dari Tangse membuat sungai Teunom penuh dan meluap ke perkampungan termasuk badan jalan. Hasilnya, saya dan keluarga kembali lagi ke Meulaboh setelah delapan jam menunggu banjir yang tidak kunjung surut.
Sudah jatuh tertimpa tangga, pepatah ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi kami kala itu khususnya para pemudik yang nekad menerobos banjir di Teunom itu. Pasalnya, air yang meluap itu setinggi dada orang dewasa dan bisa dibayangkan kalau mobil pribadi sejenis Avanza atau Innova melewatinya. Sudah pasti air akan masuk ke dalam mobil dan membasahi bagian dalam. Nah, mirisnya lagi, beberapa kilometer di depan, tepatnya di Krueng Sabee, Calang, jembatan sepanjang sepuluh meter ambruk akibat terjangan banjir. Hari itu, arus mudik yang menggunakan kendaraan berroda empat lumpuh total sedangkan sepeda motor bisa lewat dengan menggunakan becak barang.
Karena sudah pasti tidak bisa mudik hari itu, kami pun menunggu hingga esok tiba. Alhamdulillah, pukul lima subuh kami mendapatkan informasi bahwa banjir di Teunom sudah surut dan bisa dilalui mobil. Sedangkan jembatan di Calang belum bisa diperbaiki tapi ada jalan alternatif lewat perkampungan warga yang bisa ditempuh.
Pukul enam pagi kami langsung meninggalkan penginapan dan menuju Calang. Jika ditunda lagi, kami bisa kemalaman di sana karena menurut cerita dari teman yang telah lebih dulu tiba, antrian mobil sudah sangat panjang. Baik itu mobil yang hendak menuju ke arah Banda Aceh ataupun mobil yang menuju ke arah Meulaboh. Antriannya pun semraut karena tidak ada yang mengatur antrian.
Pukul 07.30 pagi kami tiba di Krueng Sabee. Benar saja, antrian sudah sangat panjang dan sangat semraut. Mobil yang kami tumpangi berjarak lebih kurang tiga kilo meter dari jembatan yang putus. Walhasil, kami harus mengantri lima jam lebih sampai akhirnya berhasil melewati Calang.
Syukur, pukul sembilan, polisi datang dan mengatur antrian mobil sampai tertib. Meskipun tetap saja yang nakal dan tidak mematuhi aturan, tapi yang nakal itu akhirnya dipermalukan oleh para pemudik yang sedari subuh antri dengan tertib. Sambil mengantri, saya melihat wajah-wajah sumringah para pemudik yang telah berhasil lolos dari kepungan banjir. Mereka pasti bahagia karena akhirnya bisa pulang ke kampung halaman walau harus menunggu sampai air surut.
Jalan alternatif yang kami lalui ternyata hanya muat satu mobil dan masih tergenang banjir. Karena hari itu hujan tidak lagi turun dan cuaca mulai cerah, air pun berangsur-angsur surut. Di perjalanan melewati jalan alternatif itu, saya melihat para pemudik yang tetap antusias pulang kampung meski berpanas-panasan, atau kotor karena cipratan air.
Bisa berlebaran bersama keluarga adalah idaman setiap para pemudik tersebut. Tidak masalah banjir atau badai menerpa, tidak menjadi persoalan tubuh yang mulai lelah karena harus bermalaman di lokasi banjir, bisa sampai ke kampung halaman dan shalat id bersama keluarga besar ternyata mampu menghapus rasa lelah tersebut.
Hal itu juga kami rasakan. Pukul empat sore, kami tiba di rumah suami di Seulimum. Hanya sebentar kami singgah di sana untuk shalat ashar dan memasak bubur untuk Naqiya. Pukul lima kami berangkat lagi menuju Tangse dan jam sepuluh malam kami tiba di sana. Rasa lelah benar-benar sirna ketika bisa berkumpul dengan seluruh keluarga besar. Bisa bersilaturrahmi, bersalam-salaman, dan bermaaf-maafan mampu membuat tubuh kembali prima. Meski hanya empat hari berkumpul bersama, tetapi bisa menjadi pematik semangat baru untuk kembali beraktivitas di tanah perantauan.[]
Wasiun Mika says
Subhanallah… mudik yang penuh perjuangan dan pengorbanan, semoga niatnya bersilaturahim bersama keluarga dibalas Allah dengan pahala berlimpah, amin.
Taqabbalallaahu minnaa wa minkum, selamat Hari Raya Idul FItri 1436 H. Salam blogger.
Liza Fathia says
Amiin. Terima kasih. Minal aidin walfaizin mohon maaf lahir dan batin
khairiah says
kayanya nggak banyak berubah yaa krueng sabee Calang sejak terakhir 2006 masih juga ada jembatan putus kalo jamanku kesana 2006 putusnya gara-gara mobil yang kelewatan beban nekad lewat jembatan dan kami harus ngantri berjam2 juga di jalan yang belum diaspal alias tanah, becek, gerimis lagi
Moersalin says
serunya…. 🙂