Cerita mudik tahun ini sangat berkesan untuk saya. Kenapa berkesan? Karena mudik kali ini adalah mudik pertama saya, suami, dan Naqiya, putri kami. Lalu, mudik lebaran ini juga merupakan mudik terjauh kami sekeluarga. Yup, awal tahun lalu saya ditugaskan ke Aceh Barat Daya yang waktu tempuh ke kabupaten ini adalah 7 jam dari Banda Aceh. Dan, pada mudik tahun ini, kesabaran kami selama menunaikan ibadah puasa diuji oleh sang Pencipta, banjir setinggi pinggang orang dewasa di Teunom, Aceh Jaya membuat mudik yang sudah setengah perjalanan terpaksa ditunda sampai air di badan jalan surut.
Pagi Rabu itu, sekitar pukul sembilan, setelah upacara peringatan ulang tahun kantor tempat saya bertugas usai dilaksanakan, saya, dua orang rekan kerja, Pak Adi dan Pak Rustam, langsung bergegas menuju Losmen Aifa Aceh Barat. Kebetulan kami telah dari Abdya sehari sebelumnya. Saya menumpang mobil teman yang pulang ke Lhokseumawe. Rencananya, sesampai di rumah Bang Tunis di Seulimum, kami istirahat semalam di sana dan baru keesokan hari pulang ke Tangse. Kalau pukul sembilan berangkat dari Meulaboh, InsyaAllah, pukul satu siang kami telah tiba di rumah.
Perjalanan pulang lumayan lenggang. Para pemudik dari wilayah ini baru melakukan mudik pada siang hari setelah pulang dari kantor. Sedangkan kami mendapatkan dispensasi untuk pulang lebih dulu dari Kepala Kantor. Sepanjang perjalanan hujan terus mengguyur, sungai-sungai yang kami lalui hampir meluap.
Pukul sepuluh kami tiba di Teunom. Di pinggir jalan, deretan mobil terlihat terparkir di sana. Ada apa gerangan?
“Enggak mungkin ada pesta kawinan,” celutuk Pak Adi temanku.
Iya. Mana mungkin ada pesta pernikahan di bulan puasa. Karena penasaran, suami dan Pak Adi turun dai mobil dan mencari tahu kejadian sebenarnya.
“Banjir! Semua mobil enggak bisa lewat kecuali mobil truck. Airnya sepinggang.” Ujar Bang Tunis.
“Kita tunggu aja sampai airnya surut,” saran Pak Adi.
Dari arah Banda Aceh, hanya mobil truk yang bisa terus berjalan dan beberapa motor yang diangkat ramai-ramai oleh warga kampung. Rumah-rumah di tempat kami berhenti juga telah digenangi banjir. Syukurnya, arsitektur perumahan di kawasan yang pernah diluluhlantakkan oleh tsunami itu seperti rumoh Aceh, yaitu berbentuk panggung sehingga saat banjir seperti saat ini, air tidak masuk ke dalam rumah.
Satu jam, dua jam kami menunggu tetapi air tidak kunjung surut. Mobil-mobil yang sedari tadi berderetan di pinggir jalan mulai berputar haluan. Kami pun demikian, memutuskan untuk menunggu di mesjid yang tidak jauh dari lokasi kejadian.
Pagi telah berganti menjadi siang tetapi banjir belum juga surut. Kabarnya, banjir tersebut adalah kiriman dari sungai Tangse. Ya, sungai di kampung saya dan Teunom itu masih satu jalur dan muaranya terletak di Teunom. Jadi, tidak heran ketika musibah banjir melanda kampung saya beberapa tahun silam dan menghanyutkan korban, jenazahnya didapatkan di Teunom.
Setelah menyelesaikan shalat dhuhur, air masih saja tinggi. Puluhan mobil kini terparkir di depan mesjid. Mereka semua senasib dengan kami, tidak bisa mudik karena kebanjiran. Beberapa saat kemudian, seorang rekan kantor yang berhasil melewati Teunom setelah menempuh jalur alternatif mengabarkan bahwa jembatan Krueng Sabee, Calang juga putus akibat terjangan banjir dan mereka tidak bisa lewat. Pupus sudah harapan untuk mudik. Kalau saya dan Bang Tunis sudah pasrah kalau memang tidak bisa pulang ke kampung halaman saya. Namun, Pak Adi dan Pak Rustam terlihat sedih. Istri dan anak-anak mereka tinggal jauh. Kalau Pak Adi di Banda Aceh sedangkan Pak Rustam di Lhokseumawe. Mereka terlihat masih menyimpan harapan untuk bisa mudik pada hari itu.
Ashar pun telah berlalu tetapi tidak ada tanda-tanda air akan surut. Jembatan di Krueng Sabe juga tidak ada kabar berhasil diperbaiki. Namun kami masih menunggu hingga malam tiba. Menanti apakag air surut atau tidak. Dan, banjir tetap seperti sedia kala sampai waktu berbuka puasa tiba sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke losmen di Meulaboh dan menginap semalam lagi sambil menunggu kabar baik di esok hari.[]
Christy says
Waduh, emang musibah gak tau kapan datengnya ya..
Semoga banjirnya cepat surut ><
Regards,
a-cupofrain.blogspot.com
Liza Fathia says
Makasih doanya dek
Cut Inong Mutia says
Waduh, baru tahu ada kejadian banjir ini 🙁 Terus jadi gmn Lebarannya?
Liza Fathia says
Alhamdulillah bisa pulang ke Tangse dan Seulimum kak
mwahyunz says
rerata akhir² ini jelang lebaran sudah memasuki kemarau, apakah itu bajir kiriman karena ada hujan super deras di daerah hulu?
Liza Fathia says
Yup, banjir super deras di daerah hulu
Lusi says
Masya Allah, cobaan lebaran yg memprihatinkan 🙁
Liza Fathia says
Iya mak, bisa lolos dari banjir sungguh kemenangan yang luar biasa