Biasanya setiap pulang lebaran ke Tangse, Pidie, saya tidak pernah absen meminta mamak untuk memasak asam keueng ikan kerling. Ikan yang menjadi primadona kampung halaman saya itu memang sangat lezat. Dagingnya yang lembut dan disajikan dengan beras tangse yang pulen membuat selera makan semakin meningkat. Tetapi itu dulu, sejak lebaran pada tahun 2014 sampai sekarang asam keueng kerling telah terhapus dari daftar makanan yang ingin saya konsumsi ketika pulang kampung.
Hari itu, pertengahan Juli 2014, di tengah-tengah sukacita merayakan hari raya Idul Fitri, masyarakat Tangse heboh dengan banyaknya ikan kerling (jurung) yang mati dan mengapung di sungai Krueng Meuriam. Menurut warga sekitar, ikan tersebut mati pasca seorang penambang emas tradisional yang mencuci perlatan tambangnya di hulu sungai. Konon, alat tersebut adalah tempat air raksa yang digunakan untuk memisahkan emas dari unsur-unsur lainnya.
Keesokan harinya, sanak famili yang berdomisili di Teunom pun menghubungi kami dan mengabari bahwa banyak sekali ikan kerling yang berasal dari sungai Tangse dan Geumpang yang mati dan terdampar di Krueng Teunom. Memang, Krueng Teunom merupakan muara dari sungai yang ada di Tangse dan Geumpang sehingga apapun kejadian alam yang berhubungan dengan sungai tersebut pasti diketahui oleh masyarakat Kabupaten Aceh Jaya ini.
Sejak saat itu saya dan keluarga tidak berani menyantap kerling yang berasal dari tanah kelahiran kami. Bayangan akan tragedi Minamata mulai menghantui. Jika benar ikan jurung tersebut tercemar merkuri, lantas bagaimana dengan air sungai yang menjadi tumpuan hidup kami? Apa yang akan terjadi pada kami dan keturunan kami beberapa tahun kemudian?
Bahaya Air Raksa
Paman saya, abuwa Tar pernah bercerita kalau ia diajak oleh temannya untuk membuka “lubang” di Geumpang. Membuka Lubang yang ia maksud adalah membuat terowongan untuk menambang emas. Ya, Geumpang, Mane, dan Tangse (Geumata) saat ini tidak hanya memesona karena keindahan alam dan beras yang dihasilkan tetapi juga semakin menarik dengan ditemukannya bulir-bulir berwarna kuning yang memiliki nilai jual yang tinggi. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk menmabang emas dengan cara tradisional ini. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah harus disiapkan untuk membeli beragam peralatan dan membayar pekerja. Syukur jika lubang yang dibuka langsung membuahkan hasil. Jika tidak? Si pemilik lobang harus siap-siap mengalami kerugian.
Paman menolak keras tawaran temannya yang kini menjadi jutawan dari hasil tambang emas yang ia miliki. “Rata-rata penambang di Geumpang adalah penambang emas tanpa izin. Kamu tahu dengan apa mereka memisahkan emas dari bebatuan? Air raksa! Tahu sendiri kan bagaimana efek logam berat ini? Tidak hanya bagi lingkungan tapi juga untuk kesehatan.” jelas abuwa.
Saya paham betul apa yang dijelaskan lelaki 58 tahun itu. Saya pernah membaca berbagai referensi akan bahaya merkuri bagi tubuh dan lingkungan. Merkuri merupakan logam berat berwarna perak, berbentuk cair dalam suhu ruangan, mudah menguap dan tidak mudah terurai. Bagi penambang, dari proses penguapan atau pembakaran merkuri, biasanya menghasilkan uap dan uap itu apabila terhirup maka sangat berbahaya untuk jangka panjang. Dampaknya adalah merusak sistem saraf dan kelumpuhan serta dapat menyebabkan kematian. Salah satu bahaya merkuri adalah penyakit Minamata atau Sindrom Minamata.
Sindrom Minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut air raksa. Gejala-gejala sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan tangan, lemas-lemas, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran. Pada tingkatan akut, gejala ini biasanya memburuk disertai dengan kelumpuhan, gangguan jiwa, koma dan berakhir pada kematian.
Merkuri dapat menyebabkan gangguan tidur, nyeri dada, iritasi, kulit terbakar, gusi bengkak dan berdarah, serta air liur berlebihan. Pada paparan lebih tinggi dapat memunculkan gejala mati rasa dan kesemutan, tremor dan gangguan koordinasi anggota gerak, penglihatan dan pendengaran berkurang, pikun, dan perubahan kepribadian.
Raksa juga dapat mengakibatkan cacat mental dan kesulitan belajar, kelumpuhan otak, kejang-kejang, lumpuh kayu, tremor (gemetar), dan kurang koordinasi tubuh, juga kerusakan penglihatan dan pendengaran pada bayi yang belum lahir jika sang ibu terpapar. Selain itu, air mercuri bisa terkandung dalam air susu ibu, yang mengakibatkan bayi baru lahir makin terpapar.
Kematian ikan kerling secara mendadak tempo hari memang membuat para penguasa di Aceh terfokus akan pertambangan emas ilegal di Geumpang, Mane, dan Tangse. Bahkan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengeluarkan Instruksi Gubernur, 16 Agustus 2014, yang menegaskan pertambangan emas di Aceh tidak boleh menggunakan merkuri, sianida, atau logam berat lainnya. Bahan berbahaya ini dapat mencemari sungai dan mengganggu kesehatan masyarakat. Gubernur menghimbau agar masyarakat di Aceh menghentikan kegiatan tambang emas tanpa izin, termasuk Geumpang.
Penambang emas yang tergabung dalam Forum Geumata (Geumpang, Mane, Tangse) menolak dengan tegas bahwa kematian kerling akibat limbah raksa. Karena menurut mereka kerling yang mati itu sangat jauh tempatnya dari lokasi pertambangan tradisional tersebut. Selain itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, Raihannah, mengemukakan bahwa setelah sampel ikan-ikan itu diuji di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), ribuan ikan yang mati di sepanjang sungai (Krueng) Mariam, Kabupaten Pidie hingga Krueng Teunom, Aceh Jaya, positif karena keracunan.
Namun demikian, bagaimana dengan para penambang sendiri yang setiap hari menghirup uap air raksa? Lantas solusi apa yang bisa ditawarkan agar para penambang emas dalam skala kecil itu tetap dapat mencari rezeki tanpa harus merusak lingkungan?
Ijuk dan Borak sebagai pengganti Air Raksa
Negara kita Indonesia lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) berkomitmen menghapus penggunaan merkuri oleh penambang emas skala kecil (PESK) pada 2018. Salah satunya adalah dengan metode manado.
Metode manado adalah cara pengolahan biji emas dengan menggunakan ijuk. Untuk penerapan metode ini pemerintah bekerja sama dengan Yayasan Tambuhak Sinta (YTS) , Kalimantan Tengah. Seperti yang dilaporkan oleh situs mongabay.co.id, pengolahan emas tanpa merkuri ini menggunakan peralatan yang sama seperti penambang biasa. Bedanya, air raksa diganji dengan ijuk. Emas yang dihasilkan dari metode ini juga dua kali lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan merkuri. Hal ini dikarenakan emas debu yang tidak bisa tertangkap bila menggunakan mercuri dapat tertangkap oleh ijuk. Untuk peleburan, penggunaan sianida dapat diganti dengan menggunakan borax sehingga bahaya keracunan lebih bisa diminimalisir.
Penutup
Menutup pertambangan emas tanpa izin di wilayah Aceh sangatlah mustahil dilakukan. Banyak sekali jalan yang bisa ditempuh masyarakat agar asap di dapur rumahnya tetap menggepul. Yang harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan adalah mendampingi masyarakat, ajari mereka cara menambang dengan benar tanpa menggunakan merkuri dan logam berat lainnya yang dapat merusak kesehatan dan lingkungan. Masalah pertambangan ilegal dan pemakaian air raksa bukanlah isapan jempol belaka, butuh perhatian khusus dari semua pihak karena dampak yang ditimbulkan tidaklah jangka pendek, tetapi akan terus berlanjut pada masa yang akan datang.
Referensi
-
Fokus Liputan: Geumpang Heboh karena Merkuri (bagian-2) | mongabay.co.id
-
Pemerintah Targetkan Penambang Emas Kecil Bebas Mercuri 2018, Mungkinkah? | mongabay.co.id
-
Nambang Emas Pakai Ijuk Hasilkan Lebih Banyak dan Bebas Merkuri, Seperti Apa? | mongabay.co.id
lon tuan says
bahaya ya ternyata…
Liza Fathia says
iya pak, sangat berbahaya
Lidya says
merusak lingkungan ya mbak jadinya
Liza Fathia says
iya mbak lia, lingkungan dan kesehatan
Yansyah Putra says
Laporkan saja pelakunya kepada pihak yang berwajib. Pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai undang undang No. 23 tahun 1997
Bapedal Aceh says
Congrats….Artikel ini sebagai Juara II Lomba Menulis Artikel Lingkungan bagi Blogger…dalam rangka HLHS 2016 #AyoMenulisBlog #SemangatMenulis #PeduliLingkungan
Lina W. Sasmita says
Serem banget ya bahaya air raksa dan merkuri itu.
Siti Wahidah says
My research is about mercury in Aceh Jaya,,at 2019 there are still have concentration of Hg in Sabee river….The form sediment, we get concentration of Hg are 6,2230 ppb.
Siti Wahidah says
Mercuri tangse juga penuh Misteri